Part 8 : Kecewa (1)

1154 Kata
Suasana di dalam mobil begitu hening, baik Cakra maupun Ellia memilih untuk diam, bergelut dengan pikiran masing-masing Ellia melirik Cakra diam-diam, dalam dirinya masih terbesit rasa takut mengingat kemarahan Cakra tadi, kemarahan yang menurut Ellia tidak wajar. Namun berulang kali Ellia meyakinkan hatinya, bahwa yang Cakra lakukan semata-mata demi kebaikannya. "Nanti pulang jam berapa?" Tanya Cakra memecah keheningan, ia benar-benar merasa bersalah pada Ellia. "Empat" jawab Ellia singkat sambil mengalihkan pandangannya keluar, rasanya tak sanggup untuk menatap Cakra. "Aku nanti nggak bisa jemput, jam kuliah aku selesai jam 7." ucap Cakra. Ellia hanya diam tak menanggapi. "Masih marah?" Tanya Cakra sambil menghentikan laju mobilnya di pinggir jalanan yang cukup sepi. "Enggak." Ellia mendesah ringan "El kapan sih bisa marah sama abang? El terlalu cinta dan sayang sama abang." Ellia menyunggingkan senyum di bibir pucatnya. Tangan Cakra terulur mengusap pipi Ellia, dengan pandangan mata begitu sendu dan meneduhkan. "I love you sayang." ucap Cakra tulus dari hatinya. Dalam batinnya Cakra bersumpah akan selalu membahagiakan Ellia, meskipun ia sadar semuanya tak akan semudah apa yang ia bayangkan. "Come." Cakra memundurkan jok-nya, lalu menepuk pahanya, mengkomando El untuk duduk di pangkuannya. Dengan senyum manis tersungging dibibirnya, El langsung melesat duduk di pangkuan Cakra. Ellia merebahkan kepalanya di d**a bidang berotot milik suaminya, matanya sedikit terpejam merasakan lembut belaian tangan Cakra di rambutnya, begitu hangat dan menenangkan. Dalam dekapan ini Ellia merasa benar-benar aman, dalam dekap hangat ini Ellia yakin akan bisa melalui setiap ujian kehidupan dan kerasnya dunia. Dan dalam pelukan ini, Ellia merasakan kenyamanan tiada tara, inilah rumahnya. Jam istirahat tiba, namun tak seperti biasanya dimana Ellia biasa menghabiskan waktunya di kantin kini justru Ellia terjebak di kamar mandi dikarenakan mual hebat yang melandanya. Ellia menatap pantulan dirinya di wastafel kamar mandi tempatnya menuntut ilmu desain sekarang, "Gila sih ini, pucet banget gue.” Ellia bermonolog. "Napa lu El?" tanya Freya, teman Ellia yang baru saja masuk ke toilet. "Gue pusing banget dari kemarin, udah 3 minggu ini, mual juga gitu. Tapi pas gue test masih negatif." curhat Ellia pada Freya dengan wajah muram yang tak dapat ia sembunyikan. Freya mengangguk paham, meski gadis itu belum menikah namun Freya cukup mengerti "Mending lu langsung ke rumah sakit aja, lagian test pack mah belom tentu bener." Saran Freya. Ellia nampak ragu, namun tak ada salahnya juga, mencoba saran dari Freya. "Btw laki lu gercep juga ya, baru sebulan kewong udah mlendung aje lu." goda Freya, membuat pipi El bersemu merah, bisa malu juga rupanya ia. "Yaudah, gue izin sama madam Marinka dulu deh." Ujar Ellia. "Good luck El, semoga beneran isi." teriak Freya pada El yang sudah berada di ambang pintu kamar mandi. "Aamiin!” Selepas mendapat izin dari pembimbingnya, Ellia kini berada di dalam sebuah taksi dengan tujuan rumah sakit terdekat dari kampusnya. Lama menunggu nomor antriannya dipanggil, Ellia berinisiatif untuk mengajak perempuan muda yang duduk tepat disamping kirinya untuk mengobrol. “Mau chek up mbak?” Tanya Ellia basa basi, perempuan itu awalnya hanya diam membisu akhirnya angkat suara setelah melihat Ellia mengalihkan pandangannya. “Aborsi.” Jawab perempuan itu dengan suara rendah. Ellia melongo seketika, beginilah dunia. Disaat banyak wanita yang mati-matian menunggu hadirya seorag buah hati, bahkan tak sedikit yang menggelontorkan banyak uang  untuk program hamil maupun bayi tabung, saat itu pula banyak wanita yang dengan gampangnya melakukan aborsi, bahkan membuang anak kandung mereka sendiri ke jalanan. Memikirkan hal ini membuat kepala Ellia berdenyut nyeri. Ellia tak melanjutkan obrolannya dengan perempuan itu, Ellia lebih memilih diam hingga akhirnya, nomor antriannya dipanggil. "jadi gimana dok?" tanya Ellia dengan wajah berbinar setelah melakukan pemeriksaan. Sang Dokter tersenyum, wanita paruh baya itu mengusap tangan El, "Jangan patah semangat ya, mungkin belum rejeki Mbak, maaf hasilnya masih negatif" ujar Sang dokter menenangkan. Wajah Ellia muram seketika, "Tapi saya udah telat haid 2 minggu dok, setiap pagi saya juga mengalami morning sick, coba dokter periksa lagi." ucap Elli ngotot, terbeesit rasa tak terima yang begitu melukai batinnya. "Maaf sebelumnya mbak, apa mbak mengkonsumsi obat-obatan tertentu? Karena hasil pemeriksaan tadi menunjukan adanya iritasi pada kulit rahim milik mbak, tentunya ini kondisi yang menyulitkan mbak memiliki keturunan bahkan dalam jangka waktu yang panjang." jelas sang dokter panjang lebar, Ellia menggeleng kuat, ia tak bisa menerima kenyataan ini, air matanya tak tertahankan lagi. "Saya cuma minum vitamin ini" ucap Ellia menahan isak tangsinya sambil mengeluarkan pot obat yang Cakra berikan, ia bodoh namun feelingnya seolah sudah menebak apa yang akan terjadi kedepan. Ellia hanya benar-benar memantapkan batinnya. Mata sang dokter membola seketika setelah mengechek obat itu. "Mbak tau ini obat apa?!" Ellia menggeleng ragu. "Ini pill pencegah kehamilan, efeknya memang membuat wanita yang mengkonsumsinya seperti gejala wanita hamil, seperti pusing, lemas bahkan morning sickness"jelas wanita tua bersneli putih dengan stetoskop mengalungi lehernya itu. Tangis Ellia pecah, tubuhnya luruh seketika, batinnya berteriak tak terima. Hatinya hancur hingga ke kepingan paling kecil, dadanya terasa sangat ngilu bagai dihujam ribuan jarum tak kasat mata, ia benar-benar merasa linglung bagaikan manusia yang tak berotak. Sang dokter itu pun menghampiri dan memeluk Ellia, "apa salah El?" lirih Ellia yang terdengar amat memilukan, hingga membuat sang dokter ikut merasakan kesedihan yang Ellia alami. Malam menjelang Cakra memasuki rumahnya dengan tergesa-gesa, perasaannya mendadak tak enak sejak tadi. Suasana rumah nampak begitu sepi, lampu-lampu pun belum dinyalakan. "Ellia?!!"  Panggil Cakra menggelgar, namun tak ada sahutan. Cakra segera naik ke lantai 2 rumahnya, dengan perasaan tak karuan ia membuka pintu kamarnya. Mata hijaunya terbelalak kaget kala melihat kamar yang biasanya rapih menjadi berantakan, semua botol-botol parfum dan make-up hancur berkeping, vas bunga besar yang ada di ujung kamar pun pecah tak bersisa. Pandangannya jatuh pada seorang wanita yang nampak kacau duduk bersandar di kaki sofa yang kini memandangnya kosong. "Sayang!" pekik Cakra menghampiri Ellia, "Mana penjahatnya?! Apa yang luka?! Mana yang sakit?! Jawab Ell!!" Tanya Cakra histeris, lelaki itu meneliti wajah istrinya yang nampak benar-benar syok. Ellia tak bergeming, hatinya sangat sakit. Bibirnya seolah bisu untuk menjawab pertanyaan laki-laki berstatus suami di depannya ini, laki-laki yang sangat amat ia cintai namun laki-laki ini juga yang mematahkan hatinya, mematahkan harapannya untuk menjadi seorang ibu. Cakra membawa Ellia dalam pelukannya, tak ada penolakan namun juga tak ada balasan. "Jawab aku El.. Jangan seperti ini." lirih Cakra, hatinya terasa ngilu melihat istrinya nampak kacau seperti ini. "Kamu Penjahat.”lirih Ellia. Sangat lirih. Namun Cakra masih dapat mendengarnya. Tubuh Cakra menegang, kala mendengar ucapan El dan tak la setelah itu matanya menangkap puluhan pill yang ia berikan pada El berceceran di atas sofa. Cakra bungkam, tubuhnya seolah tak mmilik daya sekarang "Kenapa kamu tega banget sih bang?" lirih Ellia yang masih ada di dalam dekapan Cakra. Laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya pada sang istri yang nampak rapuh. "Disini sakit bang. Sakitt bangett." rintih Ellia meraba d**a kirinya, seolah mewakili hatinya yang hancur. "Maaff.." bisik Cakra dengan suara serak. “Aku harusnya sadar kalau dari awal kamu memang nggak bener-bener cinta sama aku.” Lirih Ellia terdengar begitu menyakitkan, air matanya sudah tak terkontrol.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN