BAB.8

911 Kata
Bel pulang sekolah berdering nyaring. Aku segera bergegas mengambil tas, menyandangkannya ke bahuku dan keluar kelas dengan semangat. Perutku sudah lapar, ingin segera pulang dan makan siang di rumah. "Na." Aku menoleh dan si cowok BBF alias si Alfa menghampiriku. "Apa?" tanyaku. "Kamu bawa sepeda motor kan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, kenapa?" tanyaku. "Nebeng, dong!" pintanya. "Ogah," tolakku. "Yaelah, rumah kita kan searah," "Ayolah, nebeng ya, dulu kan sering pulang bareng. Aku mohon!" bujuk Alfa. Aku masih diam, enggan. Bingung juga sebenarnya. "Ayolah, aku mohon," bujuk Alfa sekali lagi. Aku menghela napas panjang. "Okelah, tapi kali ini aja ya," kataku mengalah. Alfa mengangguk. "Kalau gitu aku tunggu depan gerbang ya," ujar Alfa. Aku hanya mengangguk. "Oke, sip," kata si Alfa lalu berlari pergi. Aku melanjutkan langkahku, menuju parkiran. "Sial" keluhku saat melihat parkiran masih ramai dengan anak-anak lain yang juga mau mengambil kendaraan mereka. Aku memutuskan untuk mencari keberadaan sepeda motorku. "Busyet," ucapku tanpa sadar saat melihat sepeda motorku yang tadi berada di barisan belakang kini telah berada di depan. "Bakal lama deh," keluhku lagi. "Hei.” Panggilan itu membuat kepalaku tertoleh. "Hm?" Aku mencoba mengingat-ngingat cowok yang sudah berada di depanku dengan senyuman lebar. Bukannya SKSD (Sok Kenal Sok Deket) hanya saja merasa pernah melihatnya. "Kepalamu baik-baik aja?" tanyanya. "Oh!” Aku berhasil mengingatnya. "Iya, aku yang tadi nimpuk kepalamu pake bola basket," katanya mengiyakan dugaan yang bahkan belum aku utarakan. "Oh iya," kataku sambil senyum. Cowok itu tinggi, kurus, atletis dan ganteng. Perfect. "Aku Angga," katanya sembari mengulurkan tangan. "Ina Zakaria," kataku sembari menerima uluran tangannya. "Nama yang bagus," pujinya. "Makasih," ucapku malu-malu. "Aku kelas XII IPA-2," katanya menambahkan. "Kakel," kataku tanpa sadar. Mas Angga tertawa. "Iya, aku kakak kelasmu!" katanya mengiyakan membuatku semakin tersipu malu. "Kamu kelas berapa?" tanyanya. "Kelas XI IPA-5, mas!" jawabku. "Oh, ngomong-ngomong nggak dilepas nih?!" kata mas Angga sembari melihat ke tangannya yang aku genggam erat. "Ah, maaf kak!" kataku lalu reflek melepas tanganku darinya. Mas Angga senyum lagi. Sumpah, adem amat ngeliatnya. “Yaudah, aku temenin sampai kamu bisa ngambil sepedanya ya," kata mas Angga nawarin. Aku mengangguk. "Nggak ngerepotin mas?" tanyaku merasa sedikit tidak enak. Mas Angga menggeleng. "Nggak, kok! Lagian kamu sahabat sepupuku kan?" katanya. "Eh?" kataku kaget. "Kamu sahabatnya Alka kan?" tanya mas Angga. Aku mengangguk. "Alka suka cerita tentang kamu. Aku nggak nyangka bisa kenalan duluan sama kamu sebelum dia ngenalin kita berdua!" kata mas Angga menjelaskan. "Eh?" Mas Angga tersenyum. "Kamu benaran nggak kenal aku? Padahal aku wakil ketua OSIS, walau bentar lagi bakal diganti sih! Udah kelas XII," kata mas Angga. Aku hanya senyum sambil garuk-garuk kepala. Entah kenapa merasa makin tidak enak padanya. "Nggak usah sungkan, aku seneng kamu nggak kenal aku," katanya. "Jadi kamu nggak modus pas kenalan," katanya. Aku mengerutkan keningku. "Modus?" tanyaku belum paham. Mas Angga senyum. "Aku nggak suka cewek yang nggak setia," kata mas Angga sambil menatapku lekat. "Jika pacarku selingkuh, akan aku bunuh dia!" katanya menambahkan. "Hah?" Mas Angga senyum. "Bercanda," katanya lalu ketawa lagi. Aku terdiam, entah kenapa aku merasa ada kesedihan dan kehampaan saat mas Angga mengatakannya. Mungkinkah mantan pacarnya mengkhianatinya? Ah, entahlah. Gue belum pernah pacaran, jadi nggak tahu. "Ah, udah bisa keluar tuh!" tunjuk mas Angga pada sepeda motorku. "Ah iya," "Yaudah, aku pergi ya!" kata mas Angga sambil melambaikan tangan. "Mas!!" panggilku saat mas Angga sudah cukup jauh berjalan. Mas Angga berbalik lalu menoleh padaku. "Ya?" tanyanya. "Aku setia kok, mas!" teriakku. "Hah?" kata mas Angga kaget. Aku hanya nyengir. "Cuma ngasih tahu," kataku ngerasa malu. Mas Angga senyum. "Oke," katanya lalu melanjutkan langkahnya. Aku menghela napas panjang. Kok aku bilang gitu ya? Kesannya aku naksir mas Angga. Padahal yang kusuka itu, si cowok BBF. Aku pun mengambil sepeda motorku dan menemui si cowok BBF yang sudah menungguku. "Lama amat, deh!" gerutu Alfa kesal. "Antri, tauk!" dengusku kesal. "Alasan!" kata si Alfa masih BT. "Terserah, kalau nggak suka ya nggak usah nebeng!" ujarku. Alfa terdiam. "Nggak, tetep mau nebeng!" katanya dengan nada pelan. "Yaudah, naik!" suruhku. Alfa senyum. "Oke," Si Alfa pun naik. Titt.. Titt.. Titt.. Suara klakson mengangetkanku. Secara spontan aku menoleh dan mas Angga lewat dengan temennya. "Duluan, Na!" katanya sembari melambaikan tangan. Aku mengangguk. "Hati-hati, Mas!" teriakku. Mas Angga senyum. "Sip," katanya sembari mengangkat satu jempol tangannya. Aku tersenyum. "Oi," Aku tersadar dari lamunanku dan menatap Alfa yang manyun. "Jalan, aku mendadak demam!" katanya. "Hah? Kamu sakit?" tanyaku. Alfa mengangguk. "Buruan jalan, panas!" katanya. Aku mengangguk. Sepeda motor pun melaju pelan. Sepanjang jalan si Alfa diam saja, padahal dulu dia itu selalu ngoceh, bawel gila waktu aku antar pulang. Dulu pas kelas X, kami selalu jalan berdua, pulang bersama dan lain-lain. Namun mendadak jadi canggung saat aku menyatakan perasaanku dan ditolak. Mungkin, Alfa lebih nyaman mengangapku teman daripada sebagai kekasih. Kalau saja tidak kunyatakan perasaanku waktu itu, mungkin kami masih bisa deket. "Na!!!" "Udah nyampekk!!! Citt... Citt... Aku mengerem mendadak. "Wadow, hati-hati, dong!" tegur Alfa. "Maaf!" "Ngelamunin apa sih sampai kelewatan?" tanya Alfa kesal. Aku nyengir. "Cowok tadi ya?" tanyanya. Aku menggeleng. "Bohong, pasti dia!" sanggah Alfa ngotot. "Ng-nggak, kok!" "Dih, gugup. Yaudah, aku pulang dulu!" katanya lalu balik badan. Aku hanya menghela napas panjang. Dua-tiga langkah si Alfa balik badan. "Na," "Hm?" "Jangan deket-deket dia lagi!" "Kenapa? Karena dia bukan homo?" tanyaku. Alfa menggeleng. "Trus kenapa?" tanyaku heran. "Aku cemburu," "Hah?" "Udah ya, aku demam!" katanya lalu berlari pergi. Hah? Cemburu? Alfa?????!!!!!!!! Nggak mungkin!! Dia pasti  bercanda, cuma BBF!! "Bertahanlah Ina, jangan percaya," kataku mantap. Aku menyalakan sepeda motorku lalu pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN