Part 9

1526 Kata
"Hukuman mati??!!" pekik Edgar dan pak Rudy bersamaan, tak menyangka seberat itu hukuman Efryan. "Bu Vanka, apa tidak bisa tuntutannya tidak hukuman mati?" tanya pak Rudy. "Maaf pak, pak Efryan telah melanggar beberapa pasal satu tentang narkotika ia dijerat dengan primer Pasal 114 ayat 2, subsider Pasal 112 ayat 2 dan pasal 111 ayat 1, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35/2019 Tentang Narkotika dan Pasal 62 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5/1997 tentang Psikotropika. Kedua Pasal 328 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penculikan, Ancaman hukuman yang diberikan adalah pidana penjara paling lama dua belas tahun apalagi dia berencana melakukan pelenyapan, pak Efryan melanggar 2 pasal itu dan hukumannya sangat berat." jelas Ara pada pak Rudy dan Edgar. Edgar menghela nafas, satu sisi ia tak percaya adiknya di dakwa 2 pasal yang berat itu, ia kemudian mengajak pak Rudy pamit pada Ara. Keduanya keluar dari ruangan AKP Rivano, pak Rudy keluar terlebih dahulu, Edgar mengikutinya tapi ia menghentikan langkahnya di ambang pintu, ia menoleh sejenak pada Ara yang juga sedang menatapnya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan tapi sepertinya saat ini waktunya tidak tepat. Edgar kemudian melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan itu, pak Rudy berjanji akan ke rumah Edgar nanti malam untuk membicarakan semua ini dengan ibu Aisyah. Mereka berpisah di depan gedung menuju mobil masing masing. Edgar meminta Wanto melajukan mobilnya kembali ke hotel, dalam perjalanan ke hotel Edgar berfikir tentang Ara, gadis yang ia khawatirkan keadaannya, disisi lain ia lega Ara baik baik saja tapi disisi lain ia tak menyangka jika Ara adalah seorang polisi, itu berarti Ara tidak benar benar bekerja sebagai office girl dan hanya menyamar untuk menangkap Efryan, ada sedikit kekecewaan dihatinya mengetahui kenyataan itu. Walau Efryan bersalah, Edgar akan sekuat tenaga mencoba untuk memperingan hukumannya, ia tak ingin saudaranya dihukum dengan hukuman mati, walau yang paling bisa ia usahakan adalah hukuman seumur hidup paling tidak ia masih bisa bertemu adiknya itu. Fikirannya kembali tertuju pada Ara, sepertinya ada yang mengganjal saat ia memikirkan gadis itu tapi ia tak tahu apa itu. Entah kenapa kesehariannya serasa hampa saat berada di hotel, apa penyebabnya ia belum tahu. Oooo-----ooooO Ara sedang duduk di ruangannya, ia menulis laporan tugas dan misi yang ia lakukan bersama teamnya beberapa waktu lalu, ia harus memberikan laporan pada AKP Rivano yang adalah atasannya. Tak terasa jam makan siang sudah tiba, ia ingin makan siang di resto favoritnya yang berada tak jauh dari markas kepolisian, ia melangkah keluar dari ruangannya melewati kantor pengaduan masyarakat. Namun ia mendengar suara yang ia kenal, ia mengedarkan pandangannya dan melihat bu Nina di meja pengaduan, wajahnya sembab seperti kebanyakan menangis, di sampingnya duduk seorang wanita dewasa yang sama sembabnya, Ara segera melangkah mendekati Bu Nina. "Bu Nina....?" "Ara.....???" bu Nina menatap Ara dengan wajah bingung, apalagi Ara memakai seragam lengkap. "Kamu Ara kan?" tanyanya lagi. "Iya bu Nina, ini aku, ibu mau lapor tentang apa?" "Cucu ibu hilang," ucap bu Nina, air matanya kembali mengalir. Ara terkejut kemudian mendekat dan memeluk bu Nina, walau hanya beberapa minggu saja bersama bu Nina Ara tahu jika wanita itu penuh kasih sayang dan dia merasakan kasih sayang itu yang sudah sangat lama tak ia rasakan. "Ibu yang sabar ya" Ara menepuk punggung bu Nina untuk menguatkannya. Tak lama ia mengurai pelukannya dan memandang petugas yang menerima laporan bu Nina. "Laporannya sudah lengkap?" "Siap sudah." Ara tersenyum kemudian mengajak bu Nina ke ruangannya, ia memberikan minum pada bu Nina dan wanita yang bersamanya agar lebih tenang. "Sudah lebih tenang bu?" Bu Nina mengangguk. "Ara...kamu...maksudku...." bu Nina bingung memposisikan diri. "Ibu panggil saja aku seperti ibu biasa memanggil aku." "Tapi ibu merasa tidak enak." "Tidak apa apa bu, maaf ya bu kemarin saya menghilang begitu saja setelah pak Efryan tertangkap." "Jadi kamu menyamar untuk menyelidiki pak Efryan?" "Iya bu." "Ibu sebenarnya merasa aneh dengan sikap pak Efryan, mencurigakan, oh iya kenalkan ini anak sulung ibu, namanya Nana, anaknya Nana yang diculik." "Bagaimana ceritanya bu sampai cucu bu Nina diculik?" "Ceritakan nduk," ucap bu Nina meminta anaknya bercerita. "Waktu itu saya dan Nanda anak saya sedang diluar rumah, saya duduk di teras Nanda sedang bermain, saya masuk untuk buang air kecil, hanya sebentar tetapi saat saya keluar saya tak menemukan Nanda, saya cari dimanapun tapi tak menemukannya, ada yang melihat ia dibawa seorang wanita membawa motor." "Usia Nanda berapa?" "Sekitar 5 tahun." "Ibu dan mbak percaya sama kami, kami akan secepatnya mencari Nanda, ibu tenang ya." "Kami percaya Ara, walau ibu hanya beberapa minggu bersama kamu tapi ibu yakin kamu orang yang berdedikasi." "Saya akan berusaha sekuat tenaga membantu mencari Nanda." "Terima kasih, oh ya kamu sudah bertemu pak Edgar?" Ara terkejut dengan pertanyaan bu Nina. "Memang kenapa bu?" "Pak Edgar sangat menghawatirkan kamu, dia bertanya pada ibu keberadaan kamu, tentu saja ibu tidak bisa menjawab karena memang ibu tak tahu dimana kamu." "Ara sudah bertemu beberapa hari lalu saat ia membawa pengacara untuk pak Efryan, tapi kami tidak bicara banyak. Hanya tentang kasus pak Efryan saja." "Dia pasti terkejut ya saat melihat kamu, sama seperti ibu." "Iya bu, tapi bagaimana, itu sudah tugas Ara bu, mungkin suatu saat jika bertemu lagi, Ara akan minta maaf soal semuanya." "Baiklah ibu pulang dulu, tolong berikan kabar jika Nanda ditemukan. Masih menyimpan nomor ibu kan?" "Masih bu." Oooo----oooO Ara berjalan menuju area parkir saat ponselnya berbunyi, ia menghentikan langkahnya dan menjawab panggilan teleponnya. "Halo....." "Ra.....kamu dimana?" "Mau pulang ke asrama." "Katanya janji mau tinggal menemani istri abang? abang kan sedang dinas luar kota beberapa bulan." "Nggak sekarang bang, aku akan dikirim ke Jerman selama sebulan." "Untuk apa?" "Biasa lah bang, memperkaya bahasa." "Ya sudah hati hati disana, doa abang selalu bersamamu." "Thanks bang," Ara mengakhiri sambungan teleponnya dan menaiki mobilnya menuju asrama untuk bersiap siap. Ara sudah berada di bandara, ia hanya membawa sebuah tas ransel tanpa koper, ia tidak suka terlalu ribet seperti gadis gadis pada umumnya, ia melangkah cepat memasuki terminal keberangkatan internasional, kakinya tersandung sesuatu hingga ia hampir terjerembab jatuh kedepan tapi untungnya di depannya ada seseorang yang berdiri dan sigap menangkap tubuh Ara hingga ia tidak terjatuh. "Hati hati nona...." "Terimakasih..." Ara coba berdiri tegak tapi ia terkejut saat tahu siapa yang berdiri di depannya. "Pak Edgar??" "Ara...?!" Ara segera melepaskan pegangan tangan Edgar padanya, mereka saling pandang beberapa saat tanpa ada yang bicara. "Permisi..." Ara melangkah meninggalkan Edgar, ia tahu harus berbicara pada Edgar tapi timingnya tidak tepat saat ini, apalagi flightnya sebentar lagi, ia berjalan beberapa langkah dan menoleh sejenak pada Edgar. Edgar menghela nafas, ia sebenarnya ingin berbicara banyak pada Ara, tapi mungkin nanti jika ada waktu karena ia juga harus pergi ke luar negeri untuk inspeksi hotel hotel miliknya. ~~~ ~~~ Ara merebahkan tubuhnya yang penat karena perjalanan 20 jam Jakarta-Berlin dengan transit di Singapore dan Paris. Ia ingin istirahat dulu sebelum mengexplore Berlin, karena disini ia benar benar tidak bertugas, hanya harus belajar bahasa Jerman 3 kali seminggu, hari lain Ara free, ia sudah mendapatkan jadwal kursus bahasanya. Ia juga sudah disediakan apartemen kecil untuk tinggal sementara. Tak lama ia sudah terlelap Ara membuka matanya, ia lihat hari sudah gelap, Ara meregangkan ototnya yang kaku setelah tidur, ia melihat ponsel yang sudah ia set waktu lokal, juga waktu Jakarta, ia terkejut karena jam sudah menunjukkan pukul 10 pm, berarti Ara sudah tidur lebih dari 18 jam, mungkin karena ia jetlag, untungnya ia datang ke Jerman saat musim semi hingga ia tak perlu pakaian tebal. Ia bingung harus melakukan apa karena ia baru bangun tidur dan tidak mungkin akan tidur lagi. Ara memutuskan untuk jalan berkeliling di sekitar tempat tinggalnya untuk mengisi waktu, ia juga ingin tahu lingkungan dimana ia akan tinggal sebulan ini. Ia kemudian keluar dari gedung apartemen yang hanya satu lantai itu, walau apartemen kecil tapi letaknya ditengah kota Berlin. Ia keluar gedung, ia hirup udara malam kota berlin yang segar, ia edarkan pandangannya angin berhembus menerpa wajahnya saat melihat sebuah gedung tinggi beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri, dengan tulisan besar diatas gedungnya, Hotel Akasia Internasional, matanya membola membacanya. "Ya Tuhan, kenapa aku bisa tinggal dekat hotel itu?" gumamnya, Ara melangkah menyusuri trotoar hingga berada tepat di depan hotel itu, sama bagus dan mewahnya dengan hotel yang dulu dimana ia menyamar. Ia melihat hilir mudik keramaian di depan hotel, sebuah mobil limousin berhenti tepat di depan hotel, seorang pria keluar dari jok penumpang dan bergegas masuk. Ara bergegas membalikkan badannya saat pria itu menoleh ke arahnya, ia berfikir dunia ini sangat kecil karena saat di bandara ia bertemu pria itu dan kini di Berlin ia juga melihat Edgar. Kebetulan yang aneh batinnya. Ia segera berlalu dan kembali ke apartemennya berharap Edgar tidak melihat keberadaannya. Ia merasa kikuk dengan tatapan Edgar yang tajam, ia tak pernah takut pada siapapun dan pada apapun kecuali pada Tuhan tapi beda saat Edgar menatapnya, ia seperti insecure saat berada didekat pria yang dulu jadi bosnya saat menyamar, ia merebahkan tubuhnya, dan mencoba istirahat, ia memejamkan matanya tapi segera membukanya kembali, kenapa malah bayangan Edgar melintas di matanya saat ia memejamkan matanya. Ia menggelengkan kepalanya, ia bingung kenapa bisa seperti itu, apa karena ia bertemu Edgar di bandara juga tadi di depan hotel? ia tak ingin memikirkannya, ia hanya ingin melakukan kegiatannya di Berlin dengan tenang. Lynagabrielangga
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN