Part 8

1335 Kata
"Bagaimana pekerjaanmu Ra?" "Biasa aja bang..." "Nggak biasa kali Yang, dia terlibat cinlok." "Bisa diam nggak kamu Can? cinlok apaan?" omel Ara pada Cantika dan menatap tajam pada sahabat sekaligus kakak iparnya itu. "Ra...! Bisa nggak lebih sopan sama istri abang, dia itu kakak iparmu." "Salah bang Alan sendiri, ngapain menikahi sahabat aku. Aku udah biasa panggil dia seperti itu, dan tidak akan bisa mengubahnya," gerutu Ara. "Udah Yang, masalah kecil jangan dibesarkan," lerai Cantika. Mereka sedang sarapan setelah Cantika selesai memasak. "Cinlok gimana maksudmu Yang?" tanya Alan pada Cantika. "Kan dia tugas penyamaran kemarin jadi office girl, eh cinlok dia." "Sama office boy?" goda Alan. "Eits jangan salah, sama direktur utama hotel Akasia Internasional." "Jangan didengarkan bang, Cantika bicara omong kosong tau," jawab Ara memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Aku nggak omong kosong tahu, coba sayang fikir mana ada direktur utama bela belain jenguk office girl hotel yang sakit? Apalagi hotel Akasia Internasional itu pegawainya ribuan, pasti ada sesuatu yang spesial diantara mereka." Alan menatap Ara. "Benar Ra?" Ara mengendikkan bahunya. "Tapi bukannya direktur Akasia Internasional itu sudah 60 tahun ke atas?" tanya Alan. "Sayang salah, masih muda kok, duda keren, under fourty mungkin." "Kamu tahu dari mana sayang?" "Kan jenguknya kesini, bahkan beberapa hari lalu pak Edgar datang dengan wajah khawatir menanyakan keberadaan Ara, kelihatan kali Yang kalau pak Edgar itu suka sama Ara." "Kamu suka sama pak Edgar itu Ra?" Akan kembali bertanya pada Ara. "Aah....kalian berisik. Suka apa? aku hanya melakukan penyamaran untuk menangkap bandar n*****a itu, tidak ada cinlok. Adanya juga cilok enak. Udah ah aku mau tidur ke kamar," ucap Ara dan beranjak menuju kamar yang biasa ia tempati jika menginap dirumah Cantika dan Alan. "Eh masih pagi non, jangan tidur." "Semalam aku baru melakukan misi Can, udah nggak usah bahas pak Edgar lagi, biarkan aku tidur dengan tenang," ucap Ara menutup pintu kamar yang tak jauh dari ruang makan. "Apa kamu fikir Ara juga ada rasa dengan pria itu?" "Entahlah Yang, aku paling tidak bisa menebak expressi adik kamu itu jika ia tak bercerita sendiri." "Sudah sayang, kamu jangan menggoda dia dengan hal cinlok ini, tugasnya sebagai polwan sudah menyita tenaga dan fikiran." "Iya aku tahu sayang, tapi selama ini Ara tidak pernah mau jika ada pria yang mendekatinya, apa kamu mau adik kamu seperti ini selamanya. Aku ingin ia merasakan cinta dan bahagia dengan cintanya itu. Sebenarnya kenapa Ara tidak mau dekat dengan pria manapun? sejak menjadi sahabatnya saat SMP, dan dari puluhan pria yang ingin mendekatiny ia selalu menjauh." Alan menghela nafas panjang. "Mungkin ia trauma, saat kecil, kira kira usia 10 tahun ia melihat papa meninggalkan mama hingga mama jatuh sakit dan meninggal." "Apa mungkin ia takut jika ia bernasib seperti mama?" tanya Cantika. "Sepertinya begitu." ~~~ ~~~ Ara keluar dari kamar dengan membawa tas ransel. "Kamu mau kemana Ra?" "Aku ada misi penting bang." "Kemana?" "Sorry aku nggak bisa bilang." "Kenapa kamu nggak tinggal di sini sama Cantika Ra, biar dia tidak kesepian, dari pada kamu tinggal di asrama." "Aku kan pulang dinas nggak tentu waktunya bang, kasihan Cantika nanti tengah malam harus bukain pintu buat aku." "Itu hanya alasan kamu saja, kamu kan pegang kunci cadangan." Ara menghela nafas. "Iya nanti aku fikirkan lagi." "Kamu adik perempuan abang satu satunya Ra, disini kamu tanggung jawab abang. Bang Rindra kan jauh di Holland jadi tanggung jawab menjaga kamu itu tanggung jawab bang Alan." "Bang. Aku sudah dewasa, aku bisa jaga diri." "Ra...abang tahu kamu polwan yang terlatih, tapi bagi abang kamu tetap adik kecil abang." "Iya bang, Ara ngerti kok. Ara pergi ya Bang, Can." "Hati hati Ra." Ara melangkah keluar dari rumah Alan, ia memakai pakai hitam favoritnya dengan jaket kulit, ia menghentikan taksi dan meminta sopir taksi melajukan taksi menuju markas dimana ia bertugas. Oooo----oooO Edgar memasuki lobby hotel Akasia Internasional, hari masih pagi tapi ia sudah sampai hotel, itu karena ia juga mengantarkan Danisa ke sekolah, sebelum naik lift Edgar melihat lorong menuju tempat ruangan penyimpanan alat kebersihan, ia seperti melihat sosok yang ia kenal. Ia melangkah cepat menuju lorong itu dan mengejar orang itu. "Ara.....??!" Gadis itu berhenti dan membalikkan badannya. "Pak Edgar cari siapa?" tanya gadis itu yang memang bukan Ara. "Maaf, saya salah orang," jawab Edgar, ia menghela nafas panjang dan kembali ke lobby, Edgar bingung dengan dirinya, kekhawatirannya makin menjadi walau Cantika sudah mengatakan Ara tidak apa apa, tapi ia tetap tidak tenang jika tak melihat Ara dengan mata kepalanya sendiri. Edgar menghempaskan punggungnya di kursi kebesarannya, masalah Efryan belum selesai, ia harus ke kantor polisi untuk menanyakan berapa tahun hukuman yang akan dijalani adiknya itu, ia tidak bisa tak perduli pada Efryan walau ia tahu Efryan sangat membencinya, ia harus berusaha meringankan hukuman adik kandungnya itu. Tapi masalah keberadaan Ara menyeruak diantara fikirannya itu, ia putuskan datang ke kantor polisi dan janji bertemu pengacara keluarganya di kantor polisi, ia menghubungi Wanto dan memintanya bersiap, ia juga meminta salah satu pegawai yang ia tunjuk menggantikan Efryan untuk mengerjakan pekerjaannya. ~~~ ~~~ Edgar keluar dari mobilnya dan minta Wanto menunggunya di mobil saja, ia memasuki kantor polisi dan melihat pengacara keluarganya susah menunggu di sana. "Selamat siang pak Rudy" sapa Edgar. "Selamat siang pak Edgar." "Siapa yang harus kita temui sekarang." "Kita harus menemui kasatresnarkoba AKP Rivano Irwandy." "Baiklah, apa dia ada?" "Dia sedang rapat internal dengan stafnya, kita harus menunggu." "Baiklah." "Dia minta kita menunggu di ruangannya." "Oke." Pak Rudy meminta diantar ke ruangan AKP Rivano Irwandy. Mereka menunggu dengan tidak sabar kedatangan kasatresnarkoba itu. 1 jam kemudian akhirnya pintu terbuka dan menampakkan seorang pria paruh baya dengan tubuh masih terlihat kekar. "Selamat siang. Maaf kalian menunggu lama," AKP Rivano menjabat tangan pak Rudy dan Edgar. "Tidak apa apa pak." "Apa yang bisa saya bantu?" "Ini tentang Efryan Dwi Agasthya." "Oh...bandar besar itu." "Apa yang harus kamu lakukan untuk memperingan hukumannya pak?" tanya Edgar. "Pertama saya sampaikan jika sulit untuk meringankan hukumannya karena barang bukti sangat besar dan juga kami menemukan fakta lain." "Fakta lain? maksudnya?" tanya pak Rudy. "Fakta lainnya adalah..." sebelum AKP Rivano melanjutkan kalimatnya ponselnya berbunyi dan ia minta izin menjawab panggilan itu. "Maaf saya harus menemui Kapolrestabes, wakil saya yang akan menjelaskan detailnya." AKP Rivano mendial nomor seseorang. "Halo....IPTU Vanka, tolong ke ruangan saya, terima kasih." Tak lama pintu ruangan AKP Rivano terbuka dan menampakkan seorang gadis berpakaian polisi lengkap, pak Rudy dan Edgar menoleh ke arah pintu, jantung Edgar mencelos seperti akan keluar dari dadanya saat melihat siapa yang ada diambang pintu. "Kenalkan, ini wakil saya IPTU Vanka, jika saya tidak bisa dihubungi, bisa menghubungi beliau, baiklah saya tinggal dulu," tanpa menunggu jawaban Edgar dan Pak Rudy, AKP Rivano berjalan keluar dari ruangannya. Vanka aka Ara juga tampak terkejut melihat Edgar di ruangan komandannya, untuk sesaat ia diam termangu tapi ia bisa menguasai dirinya. Ia melangkah mendekati pak Rudy dan Edgar. "Selamat siang, saya IPTU Vanka, apa yang bisa saya bantu?" tanya Ara menatap Edgar sejenak kemudian beralih pada pak Rudy. "Begini, AKP Rivano mengatakan ada fakta baru yang ditemukan pada kasus Efryan Dwi Agasthya. Kami ingin tahu apakah itu?" "Baiklah akan saya jelaskan, selain bandar besar n*****a, pak Efryan juga terlibat dalam penculikan dan rencana pelenyapan pak Edgar tempo hari." "Tidak mungkin, dia adik saya, tidak mungkin ia ingin membunuh saya!" pekik Edgar tak percaya. "Maaf pak Edgar, tapi itu kenyataannya, kami susah menginterogasi kawanan penjahat yang menculik anda dan mereka sudah mengaku jika pak Efryan yang membayar mereka untuk melenyapkan anda," ucap Ara tenang, ia tahu hati Edgar bergejolak mengetahui fakta ini tapi ia harus mengatakan yang sebenarnya. Ia melihat tatapan kecewa Edgar padanya, ia tahu mantan bosnya itu kecewa dengan kenyataan jika ia adalah seorang polwan dan bekerja di hotel Akasia Internasional hanya sebagai penyamaran. Ia merasa berhutang maaf pada Edgar, tapi ia tak ingin memikirkan itu sekarang, ia harus fokus pada kasus Efryan ini. "Berapa tahun hukuman yang akan dijalani pak Efryan?" "Sayang sekali pak, bukan hukuman penjara tapi hukuman mati karena ia melanggar beberapa pasal" jawab Ara lugas. "Hukuman mati!?" ucap pak Rudy dan Edgar bersamaan. Lynagabrielangga
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN