"Efryan kenapa ma?" kejar Edgar.
"Alila, tolong bawa Danisa keluar ya? Tante mau bicara dengan Edgar."
"Baik tante, ayo Nisa, kita makan malam di resto depan rumah sakit."
"Iya tante, kebetulan Nisa juga lapar."
Alila dan Danisa meninggalkan ruang rawat Edgar dengan tatapan bingung Edgar kenapa mamanya meminta Alila dan Danisa keluar.
"Sebenarnya ada apa ma? Kenapa Alila dan Nisa harus keluar?"
"Efryan.....ditangkap polisi."
"Apa! mama jangan bercanda, apa yang dia lakukan?"
Bu Aisyah terlihat sedih, ia mulai berkaca kaca.
"Dia bandar besar narkoba."
"Ya Tuhan...., bagaimana bisa ma?"
"Mama nggak tahu Gar, saat kamu ditemukan, esoknya polisi menggerebek hotel kita dan menemukan puluhan ton n*****a di kamar lantai 12 dengan Efryan yang akan bertransaksi. Mama shock dan bingung, di sisi lain kamu tidak sadar disisi lain Efryan ditangkap polisi."
"Berapa lama Edgar tidak sadar ma?"
"Sekitar 2 hari."
"Berarti Efryan sekarang di kantor polisi?"
"Iya, mama bingung, apa yang membuat Efryan melakukan itu."
"Nanti kalau Edgar sudah keluar, kita jenguk dia ma. Edgar tidak percaya jika dia melakukan itu, mungkin itu fitnah atau jebakan dari pesaing bisnis kita."
"Semoga saja." ucap bu Aisyah sendu.
"Mama harus yakin ma jika Efryan tidak melakukan itu."
"Tapi nyatanya mama tidak yakin Gar, kamu tahu kan adik kamu itu seperti apa? dia itu suka memberontak dan tidak menurut. Suka melakukan sesuatu yang dia inginkan tanpa mendengarkan nasehat orang lain."
"Mama jangan terlalu memikirkan hal ini, nanti mama sakit."
Beberapa hari kemudian Edgar sudah diperbolehkan pulang, tapi bu Aisyah melarangnya pergi ke hotel dulu, setelah keadaan Edgar membaik, Edgar mengajak bu Aisyah menjenguk Efryan di kantor polisi. Edgar hanya berdua dengan bu Aisyah, ia meminta Alila untuk mengajak Danisa jalan jalan, ia tak ingin putrinya itu tahu apa yang terjadi pada omnya.
Bu Aisyah dan Edgar duduk di ruang tunggu tempat menjenguk tersangka, karena Efryan belum diproses secara hukum jadi ia belum dipindahkan ke rutan.
Edgar melihat Efryan keluar dari pintu sebelah kanan, ia melihat tatapan kebencian disana.
"Untuk apa kalian kesini? puas kalian melihat keadaanku?"
"Iyan...!! Apa yang kamu bicarakan! kami menghawatirkan kamu."
"Khawatir mas Edgar bilang? Jangan membuatku tertawa."
"Iyan...apa yang kamu katakan, mas benar benar menghawatirkan kamu, apalagi mama."
"Kalian tidak pernah perduli padaku, terutama mama."
"Jaga bicaramu Iyan!!" bentak Edgar emosi.
"Kata kataku benar kan. Mama hanya sayang sama mas Edgar, semuanya hanya mas Edgar, kepemimpinan hotel mama percayakan pada mas Edgar, sedangkan aku hanya sebagai wakilnya, itu tidak adil"
"Kenapa kamu tidak pernah bilang Yan?"
"Percuma mas, mama tidak pernah percaya dengan kemampuanku."
"Maafkan mama, mama tidak bermaksud membuat kamu seperti ini, mama yang salah," ucap bu Aisyah sedih air matanya mulai mengalir. Edgar menggenggam tangan mamanya, ia menatap Efryan, ia tak menyangka semua itu benar, jika Efryan adalah bandar besar n*****a dan parahnya ia menyimpan semuanya di hotel tanpa sepengetahuan siapapun.
"Mas kecewa sama kamu Yan, kamu bisa bicarakan ini dengan mas, mas pasti akan membantu kamu."
"Bullshit mas, lebih baik kalian pulang, aku tak ingin bertemu kalian lagi," Efryan berdiri dan meninggalkan Edgar yang masih menggenggam tangan mamanya, kesedihan memenuhi raut wajah mereka.
Keduanya kemudian keluar dari ruang jenguk kantor polisi.
Oooo----oooO
Edgar mulai bekerja setelah 2 Minggu absen untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ia juga masih merasakan Sedikit nyeri di bahunya, ia sudah duduk menghadap pada laptopnya saat tak sengaja video cctv Ara yang berkelahi di basement hotel terputar otomatis.
"Ya Tuhan....!! Ara, bagaimana keadaannya?" Edgar mengambil telepon paralel di mejanya dan meminta bu Nina datang ke ruangannya, 5 menit kemudian bu Nina sudah duduk dihadapannya.
"Ara tidak masuk hari ini bu? saya tidak melihatnya membersihkan ruangan saya, apakah ia membersihkan ruangan lain?"
"Maaf pak Edgar, saya juga tidak tahu Ara kemana, sejak 2 minggu yang lalu ia tidak masuk dan tidak ada kabar sama sekali, saya hubungi ponselnya juga tidak aktif," jawab bu Nina.
"Apa?! dua minggu?" tanya Edgar, itu berarti ia tidak masuk setelah insiden penculikan itu, Edgar menjadi khawatir, apakah itu berarti Ara....., ia menepis fikiran buruknya, ia ingat jika Ara tinggal bersama temannya yaitu Cantika. Ia berniat mendatangi rumah Cantika tapi hari ini pekerjaannya menumpuk hingga tak bisa ia tinggalkan. Namun walaupun begitu ia tidak bisa konsentrasi karena memikirkan keadaan Ara, ia khawatir terjadi sesuatu pada Ara, ia akan merasa sangat bersalah jika Ara celaka, karena ia yang menyebabkan hal itu terjadi, Edgar pegang dadanya, terasa sakit di dan tapi bukan sakit secara fisik, ia bingung kenapa ia sangat menghawatirkan Ara. Bukan karena Ara membantunya tapi ada faktor lain dan ia tak tahu apa itu.
Seharian ini ia merasa waktu terasa sangat lama, tidak seperti biasanya dimana waktu akan cepat berlalu saat ia tenggelam dalam pekerjaannya, tepat jam 5 sore ia menyelesaikan pekerjaannya dan segera menghubungi Wanto untuk menyiapkan mobil di depan lobby, Edgar bergegas menuju lift dan turun menuju lobby, setengah berlari ia keluar dari lobby dan masuk dalam mobilnya yang sudah terparkir di luar hotel.
"Ke rumah kost Ara To."
"Jalan pelangi itu bos?"
"Iya."
Wanto segera melajukan mobil menuju rumah Cantika, dalam waktu 1 jam mereka sampai tepat saat Cantika juga baru keluar dari taksi. Cantika terkejut saat tahu siapa yang keluar dari mobil di depan pagar rumahnya, tapi ia bisa menguasai dirinya. Cantika berjalan mendekati Edgar yang berdiri di samping mobilnya.
"Selamat sore pak Edgar, ada angin apa hingga pak Edgar datang ke rumah saya?" tanya Cantika.
"Ara ada? dia baik baik saja kan? dia tidak terluka kan?" cecar Edgar pada Cantika membuat Cantika mengernyitkan dahinya heran.
"Lebih baik kita bicara di dalam pak," ajak Cantika pada Edgar. Cantika kemudian membuka kunci pagar dan masuk, ia membuka pintu rumah dan mempersilahkannya Edgar masuk dan duduk di ruang tamu, ia masuk sebentar dan keluar membawa minuman untuk Edgar.
"Silahkan pak."
"Terima kasih, tapi tolong jawab pertanyaan saya tadi."
Cantika terdiam, ia bingung harus menjelaskan seperti apa pada Edgar, ia menghela nafas.
"Ara tidak apa apa pak, pak Edgar jangan khawatir."
"Syukurlah, tapi kemana dia? kenapa tidak masuk 2 minggu ini? dihubungi juga tidak aktif ponselnya."
Cantika mengulum senyumnya.
"Kenapa pak Edgar khawatir sedemikian rupa? apa kalian ada hubungan khusus?" tanya Cantika frontal membuat Edgar tersentak.
Edgar terdiam, ucapan gadis didepannya ini sungguh tak ia sangka. Memang benar ia dan Ara tidak ada hubungan khusus tapi kenapa dia begitu khawatir pada gadis itu.
"Tidak...kami tidak ada hubungan khusus, hanya saja ia beberapa kali membantu saya," jawab Edgar sedikit ragu.
"So tak ada masalah kan, yang terpenting dia baik baik saja, saya jamin ia sehat walafiat tapi ia memutuskan resign dari hotel Akasia Internasional dan bekerja ditempat lain."
"Bekerja ditempat lain? kenapa? boleh saya tahu dimana itu?"
"Maaf pak, bukan kapasitas saya memberitahu pak Edgar, bapak tidak usah khawatir, dia baik baik saja."
Edgar menghela nafas panjang, ia tak bisa memaksa gadis didepannya untuk memberitahu keberadaan Ara, ia lega Ara baik baik saja tapi kenapa hatinya terasa sedih? apa karena ia tak bisa lagi bertemu dengan Ara? Ia tak tahu tapi ada yang mengganjal dihatinya.
Ia pun pamit pada Cantika.
Sepeninggal Edgar, Cantika menaiki tangga menuju kamarnya, ia segera membersihkan diri setelah itu ia duduk di tepi ranjang, ia tersenyum penuh arti dan mengambil ponselnya, ia mendial nomor Ara.
"Halo Ara, sahabatku tersayang..."
"Ada angin apa nih kamu telepon aku? pasti ada sesuatu deh?"
"Tau aja deh, pak Edgar baru saja dari sini loh cariin kamu."
"Masa? nggak usah bohong deh."
"Ish beneran...."
"Ngapain dia cariin aku?"
"Kangen tau sama kamu."
"Udah deh Can, nggak usah mulai, kalau nggak ada yang penting tutup teleponnya aku sedang sibuk," omel Ara di ujung telepon.
"Iya iya, weekend kamu jadi menginap kan disini? aku kesepian tau sendirian."
"Iya iya...."
"Oke bye," Cantika mengakhiri sambungan teleponnya. Sangat terlihat sikap Edgar itu bukan sikap khawatir bos pada bawahannya tapi sikap khawatir pada seseorang yang ia sukai.
Oooo----oooO
Ara berjalan memasuki rumah Cantika, ia memang memegang kunci cadangan pagar dan pintu rumah Cantika.
"Can...Cantika..." Ara memasuki ruang tamu rumah Cantika.
"Aku di dapur Ra...."
Ara melangkah menuju dapur dan melihat Cantika berkutat dengan kompor dan panci.
"Wisssshhh....ada angin apa nih nyonya Alan Wijaya Kusuma masak? suami lagi dinas luar kota kan?"
"Di pulang dong semalam," jawab Cantika tersenyum.
"Ck....kenapa nggak bilang. Aku kan nggak usah datang kalau gitu," omel Ara.
"Enak aja nggak datang. Aku mau menginterogasi kamu tau."
"Interogasi apaan?"
"Nanti dulu. Biar aku selesaikan masakku, lalu kita sarapan bersama."
"Ya ya ya, perlu bantuan nggak?"
"Nggak usah, malah berantakan nanti rasanya."
Ara tergelak mendengar jawaban Cantika. Ia kemudian keluar dari dapur menuju ruang makan dan duduk disana.
Lynagabrielangga