Edgar menatap layar laptopnya, ia melihat dengan seksama adegan dimana Ara berkelahi dengan pria tak dikenal beberapa waktu lalu, gerakannya lincah dan dinamis, Edgar kagum dengan Ara, sebagai seorang gadis ia tidak seperti kebanyakan gadis pada umumnya, hanya ada sedikit yang mau bersusah payah berlatih ilmu beladiri, tanpa sadar ia tersenyum dan matanya masih fokus pada laptop dimana adegan berkelahi Ara berkali kali diputar berulang.
Ia mengingat saat ia menjenguk Ara kemarin, kenapa ia sangat mengkhawatirkan gadis itu? Apakah karena Ara sudah berjasa besar untuknya dengan menyelamatkan dokumen penting hotel? Tapi jika ia merasa berhutang budi sepertinya kekhawatirannya berlebihan. Ada perasaan seperti tak ingin terjadi sesuatu pada Ara, perasaan yang aneh tapi ia tak tahu itu apa. Tak mungkin itu rasa suka karena ia baru saja mengenal Ara, mereka juga tidak sesering itu berinteraksi hingga menimbulkan rasa suka dihatinya.
Edgar masih menatap adegan di laptopnya dengan seksama, ia kembali tersenyum, hingga ia tak menyadari seseorang sudah masuk dalam ruangannya dan menatapnya heran.
"Mas Edgar....."
"La.....? sejak kapan kamu disana?"
"Sudah lumayan lama dan melihatmu tersenyum hangat saat melihat laptopmu, apa yang kamu lihat?" tanya Alila berjalan mendekat pada Edgar.
"Tidak ada," jawab Edgar dan menutup layar laptopnya.
Alila mengerenyitkan dahinya, ia jadi penasaran apa yang membuat Edgar tersenyum seperti itu, hal yang jarang sekali ia lihat sejak mama Danisa meninggal. Ia kemudian membawa kotak makan yang ada di tangannya menuju sofa set, kebiasaan yang memang sering ia lakukan, tapi ia melihat Edgar tersenyum hangat, senyum yang beda jika Edgar tersenyum padanya.
Alila dan Edgar kemudian makan siang bersama dengan perasaan Alila yang yang campur aduk, senang karena ia bisa melihat senyum hangat Edgar tapi sedih saat senyum itu bukan untuknya.
~~~
~~~
Ara keluar dari lobby hotel, beberapa pegawai menyapanya. Ia menuju tepi jalan dan menghentikan taksi kemudian naik, ia meminta sopir taksi menuju alamat Cantika, hari ini ia ingin menginap di tempat sahabatnya itu. Ia sedang fokus pada ponselnya saat sopir taksi menginjak rem mendadak hingga kepala Ara membentur jok mobil di depannya.
"Aduh....." Ara memegang dahinya.
"Ada apa sih pak? kok rem mendadak?" tanya Ara.
"Jalannya terhalang mbak. Itu...." sopir taksi menunjuk arah yang tak jauh dari taksinya.
Ara melihat sebuah mobil dihadang oleh 3 mobil sehingga memenuhi jalan dan taksi yang ia naiki, untungnya jalanan sepi dan tidak ada mobil lain yang lewat.
"Apa itu pak?"
"Sepertinya konflik antar geng mbak."
"Bapak bisa saja, mana ada geng di Jakarta, bapak kebanyakan nonton film action nih."
"Beneran mbak, tuh pakaian mereka hitam hitam kayak mafia, kita balik arah aja mbak."
"Eh...saya turun disini saja, ini ongkosnya."
"Jangan mbak bahaya."
Ara hanya tersenyum dan membuka pintu taksi, sopir taksi segera berputar arah dan pergi. Ara hanya melihat kejadian yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
6 pria keluar dari 3 mobil itu dan mengepung satu mobil yang mereka hadang, 2 pengendara mobil itu turun, mereka berdialog dan kemudian mulai saling menyerang, ia melihat jam tangannya, sudah malam dan jalanan sepi, di serang oleh 6 orang membuat 2 orang itu kewalahan, apalagi pada pria itu memiliki tubuh tinggi besar, salah 1 pria sudah terkapar tinggal 1 orang yang masih bertahan, Ara berlari mendekat dan coba menolong orang itu tapi baru beberapa jurus merasakan tengkuknya dipukul benda keras, ia merasakan kepalanya pusing dan kemudian ia tersungkur.
Oooo----oooO
Ara membuka matanya, ia merasakan kepalanya terasa sakit, ia akan memegang tengkuknya tapi tangannya tidak bisa digerakkan. Ia sedang terikat di kursi yang berada di tengah ruangan, ia edarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan terkejut saat di sebalahnya juga terikat pria yang ia kenal.
"Pak Edgar?" gumamnya pelan. Ia mengingat kejadian di jalan sepi itu tapi ia tak tahu jika itu adalah mobil Edgar.
"Siapa yang melakukan ini? apa dia?" gumamnya lagi, Ara melihat Edgar bergerak dan membuka matanya dan yang pertama ia lihat adalah wajah Ara.
"Ara?!..."
"Pak....."
"Jadi semalam itu kamu?"
"Iya pak."
"Kenapa malah menolong saya, seharusnya kamu pergi dari sana, kamu kan baru sembuh dari sakit."
Ara hanya tersenyum mendengar ucapan Edgar, ia Mencoba memahami semua yang terjadi.
"Bapak Kenal orang orang itu?"
"Saya tidak mengenal mereka, bisa saja mereka ada yang menyuruh."
"Kenapa pak Edgar tidak menyewa bodyguard saja, pasti banyak yang mengincar bapak kan?"
"Saya tidak suka dengan pengawalan terlalu ketat."
"Apa bapak tahu siapa kita kira yang melakukan ini?"
Edgar menggeleng, ia tidak merasa memiliki musuh yang akan berusaha menculik untuk memuluskan usahanya.
"Sepertinya saya tidak punya pesaing bisnis sepicik itu."
"Bapak akan terkejut saat tahu siapa dia," gumam Ara.
"Apa kamu bilang?"
"Enggak. Saya tidak bilang apa apa," kelit Ara.
"Maaf jikakKamu terjebak dalam situasi ini, semoga saja Wanto sudah lapor polisi," ujar Edgar.
Mereka mendengar suara handle pintu diputar dan terbuka, 2 orang pria bertubuh besar masuk.
"Siapa kalian? siapa yang menyuruh kalian? lepaskan kami?" cecar Edgar pada para pria itu.
"Anda tidak perlu tahu tuan Edgar Rayn Agasthya, nikmatilah jam jam kehidupan anda sebelum anda mati," ucap salah satu dari mereka.
Edgar terbelalak mendengar ucapan pria itu, apa benar ia akan berakhir ditangan mereka? terlintas bayangan Danisa dan bu Aisyah, mamanya, siapa yang akan menjaga mereka saat ia pergi? Efryan? sepertinya ia tidak bisa mengandalkan adiknya itu.
Pria pria itu kemudian meninggalkan Edgar dan Ara, Ara mencari cari sesuatu di ruangan itu.
"Kamu mencari apa?"
"Nggak ada pak, cari sesuatu untuk melepaskan ikatan," jawab Ara, Edgar pun ikut mencari sesuatu tapi mereka tak menemukan apapun.
Edgar berdoa semoga polisi segera menemukannya, ia belum siap meninggalkan orang yang disayanginya.
2 jam kemudian dua pria tadi kembali dan melepaskan ikatan Edgar lalu membawanya keluar dari ruangan itu, dan meninggalkan Ara, paling tidak Edgar lega mereka tidak akan melakukan apapun pada Ara, semoga saja, doanya dalam hati. Ia masih berpikir keras siapa yang menculiknya dan akan menghabisinya.
Edgar dibawa keluar dari rumah, sepertinya ini adalah sebuah villa melihat halamannya yang luas, walau malam hari, Edgar bisa melihat dengan jelas dimana mereka. Edgar dibawa ke halaman belakang dimana banyak pepohonan, ia diikat disalah satu pohon itu.
Salah seorang pria itu mengeluarkan pistol dan mundur beberapa langkah.
"Bersiaplah pak Edgar."
"Tunggu....!! paling tidak beritahu aku siapa pimpinan kalian agar aku bisa pergi dengan tenang," ucap Edgar.
"Anda tidak perlu tahu....itu akan menyakiti perasaan anda."
"Apa? apa maksud kalian?"
Pria itu hanya tersenyum, ia mempersiapkan senjata ditangannya dan siap ia tarik pelatuknya.
Edgar pasrah, ia memejamkan matanya dan ikhlas apa yang akan terjadi, ia mendengar suara letusan senjata tapi ia tak merasakan apapun. Ia membuka matanya dan ia merasakan bahunya terasa sakit, ia melihat darah mengalir dari bahunya, matanya mulai kabur, kepalanya pusing. Ia melihat seseorang seperti Ara berlari ke arahnya dan kemudian ia tak ingat apa apa lagi.
Oooo----oooO
"Apa kalian siap?"
"Siap komandan."
"Baik kita bergerak sekarang."
"Siap komandan."
Satu peleton satuan polisi bersiap dengan pakaian hitam lengkap rompi anti peluru, mereka bergerak menuju lokasi yang sudah menjadi target operasi.
Mereka kemudian menaiki truk khusus menuju lokasi dan segera memasuki tempat target dan melakukan operasi penangkapan dimana sedang terjadi transaksi besar besaran.
~~~
~~~
Edgar membuka matanya, bau obat obatan menyeruak dihidungnya, ia melihat ia berada di ruangan serba putih, ia akan bangun namun bahunya terasa sakit, perlahan ia duduk dan bersandar di ujung brankar, kepalanya masih terasa pusing, ia tak melihat siapapun disana. Edgar mengingat apa yang terjadi hingga ia berada di sini, ia ingat jika ia akan dihabisi oleh pria yang menculiknya, Edgar fikir ia takkan selamat, ia kemudian teringat jika Ara juga ada disana bersamanya, ia berharap gadis itu selamat.
Pintu ruangan terbuka dan memperlihatkan seorang dokter dan perawat, dibelakang mereka bu Aisyah, Danisa dan Alila.
"Papa.....!! Papa sudah sadar!" pekik Danisa dengan wajah gembir, Danisa melangkah cepat menuju brankar.
"Iya sayang."
"Nisa khawatir banget sama papa."
"Bagaimana perasaan pak Edgar?" tanya dokter.
"Kepala saya sedikit pusing, juga bahu saya nyeri."
"Tentu saja, pak Edgar kan tertembak, untung tidak mengenai organ vital. Biar saya periksa," dokter itu memeriksa keadaan Edgar dan cek tanda vitalnya.
"Keadaan pak Edgar sudah stabil, mungkin beberapa hari sudah diperbolehkan pulang."
"Terima kasih dokter."
"Saya tinggal dulu," pamit dokter itu, kemudian berjalan keluar dari ruang VVIP di mana Edgar dirawat diikuti perawat.
"Syukurlah kamu tidak apa apa Gar, mama khawatir saat Wanto pulang tanpa kamu dan mengatakan jika kamu diculik."
"Aku juga sangat menghawatirkan kamu mas, untungnya polisi segera bisa menemukan kamu."
"Ma....Bagaimana keadaan Ara?"
"Ara? Ara siapa?"
"Gadis yang diculik sama aku, kebetulan dia ada di tempat kejadian itu dan diculik juga."
"Tidak ada orang lain Edgar, hanya kamu yang ditemukan disana."
"Tidak ada? ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa apa padanya," ucap Edgar khawatir.
Bu aisyah mengernyitkan dahinya, heran kenapa Edgar mencemaskan seseorang hingga seperti ini.
"Tolong tanyakan pada pihak kepolisian ma, bagaimana keadaan Ara, dia sudah sangat membantu Edgar."
"Iya iya, nanti mama tanyakan, sekarang kamu istirahat ya."
"Efryan tidak datang ma?" tanya Edgar.
"Itu.....mama....."
Edgar bingung dengan mamanya yang seperti kikuk saat ia menanyakan tentang Efryan.
"Ada apa ma? Efryan kenapa?"
"Dia....."
Lynagabrielangga