Dari A sampai Z!

1358 Kata
Sepanjang jalan pulang, aku jadi banyak mikir. Apalagi jika dugaan si Raka bener. Jadi istri simpanan katanya? Kebayang gak sih, kalau beneran jadi istri simpanan, ntar aku dibully emak-emak sekomplek. Tante Yayu pasti mengusirku. Semua akun media sosialku diserang oleh netizen seluruh Indonesia. Komentar pedas pasti berdatangan. Banyak tuh yang depresi karena dibully di media sosial. Aku bergidik, ngeri banget, a***y! Kebanyakan mikir membuat perjalanan jadi gak terasa. Motor matic kesayanganku sudah sampai di depan rumah Tante Yayu. Sepi amat. Pada kemana orang-orang ya? "Lo gak ke pasar, Al?" suara Evi terdengar dari arah belakang. Aku berbalik. "Gue habis dari rumahnya Pak Devan." "Apa? Gila, nekat juga ya lo? Terus gimana?" "Gimana apanya?" "Ya elo diterima apa enggak?" Aku tersenyum lebar, "Diterima, Ev!" ucapku girang. Kedua alis Evi terangkat, menatapku tak percaya. "Serius, Alea?!" Aku mengangguk cepat, "Iya, bener, Ev! Haha, gak nyangka kan lo?" "Iya sih. Gue juga awalnya iseng doang nawarin itu ke elo. Kok bisa sih elo diterima segala? Jadi asisten dosen itu gak mudah lho, Al?" "Tentu saja. Gue juga tadi melalui serangkaian tes berbagai kemampuan." Sedikit sombong boleh kali ya? Dibumbui bohong dikit, ahiw! Sorry ya Ev, haha. "Ini sedikit mencurigakan." Evi memicingkan matanya. "Ck, mencurigakan apanya?" "Aneh banget. Gue tahu kemampuan elo di bidang akademik. Rasaya gak mungkin. Dari segi penampilan juga elo malah gak bisa dandan." "Jangan remehin gue, nyet! Gue bisa melakukan semuanya." "Heh, elo gak jual diri buat nyogok Pak Devan kan?" "Ish, kagak lah. Sembarang aja lo! Gue masih waras lah." Ya walaupun hati ketar ketir juga sih. Takut beneran dijadiin wanita simpanan. Tapi aku gak mau bilang ke si Eva, ntar ngadu lagi ke Tante Yayu. Alamat gak dikasih izin buat kerja di sana. "Atau pake jampi-jampi Mak Erot?" "Apaan sih lo? Gue gak ke Mak Erot, lo kan tahu sendiri, Mak Erot bayarannya mahal. Gue mana ada duit?" "Iya sih bener juga. Tapi terlepas dari itu semua, ada bagusnya juga elo diterima. Noh bayarin hutang bekas makan lo." "Tenang aja, Ev. Kalau gue udah kaya raya, gue bakal bayar semua hutang gue. Bahkan gue traktir elo sama Tante Yayu di restoran mahal pokoknya." "Sadar woy, kerja aja belum mulai. Udah mimpi aja lo!" "Ya minimal mimpi dulu lah, Bos! Haha." "Gendeng lo!" Si Eva noyor kepalaku lagi. Doyan amat sih noyor kepala orang? "Elo sendiri masih kerja, Ev?" tanyaku. Setahuku si Eva kuliah sambil kerja juga. Anak itu kerja jagain toko bahan kue. Beruntung, majikannya baik banget. Si Eva kerja cuma dari jam satu siang sampai jam sembilan malam. Itu juga gak tiap hari. Kalau ada jadwal kampus, majikannya pasti mengizinkan. "Ya masih, Al. Kalau enggak, mana bisa gue bayar kuliah. Lo tahu sendiri lah, gimana nyokap gue keuangannya." "Elo mesti bersyukur, Ev. Masih ada nyokap. Lah gue? Udah tinggal sendirian doang. Mana anak tunggal lagi." "Terus kapan elo mulai kerja di Pak Devan?" "Katanya sih besok gue udah disuruh ke rumahnya. Sekalian pindah, Ev. Mulai besok gue tidur di rumahnya Pak Devan." "Ha? Apa? Gila lo! Itu laki gak waras menurut gue. Ya walaupun dia statusnya dosen, tapi kalau urusan nyuruh nginep anak gadis orang di rumahnya, udah gak bener itu." "Dia bilang katanya bakalan ngasih file kontraknya ke gue. Tapi kok belum ada juga ya?" "Emang elo udah ngasih CV ke dia?" Aku menepuk jidat, "Alamak! Kan gue gak ngasih apapun tadi. Pasti dia gak akan tahu nomor ponsel gue." "Ck, beuh, udah gue duga sih. Pasti begini. Gak jelas!" Eva nyengir kuda. Tepatnya sih mengejek aku. Sodara j*****m emang dia tuh! "Ah, gue tahu. Kan ada banner yang lo kirim, gue chat dia ah." ucapku seakan punya harapan hidup lagi. "Elo mau chat apaan? Inget, selain sekarang dia jadi atasan lo, dia juga dosen lo, a***y! Jangan chat yang gak bener!" "Tenang aja, gue tahu kok." Aku dan Eva masuk ke kamar. Hari ini gak ada jadwal ke kampus. Mau ke pasar juga udah tanggung. Jadi mending tiduran dulu sembari mempersiapkan mental buat kerjaan baru besok. Aku masih menimang ponselku. Bener kata si Eva, aku ngomong apa ya? Ah gini aja. 'Hallo, Pak. Saya Alea. Asisten Anda.' Kok kesannya aku kayak jadi wanita genit gini ya? Buru-buru aku hapus lagi. Ganti ah. 'Pak, ini Alea.' Sent. Waduh, kepencet! Tapi gak apa-apa kali ya? Kan cuma ngasih tahu nomorku doang. Statusnya masih centang dua abu. Eh, kok dia mengetik? Sial! Aku lupa. Tipe pria sepertinya memang kebanyakan pake mode abu gosok. So sibuk. 'Ya.' Cuma gitu doang balasannya? Lah, kan katanya mau mengirim file kontraknya? "Napa lo cemberut?" Eva datang ke kasurku. Sepertinya dia udah mandi. Mukanya segeran. "Tahu ah, pusing gue!" Mau bilang tapi nanti dia ketawain lagi. "Makanya jangan sok-sokan ngelamar kerja jadi asisten dosen, kan pusing sendiri jadinya?" Aku bangun dan memasang wajah serius. "Ev, gue udah mutusin, besok gue pindah ke rumah Pak Devan." "Ha? Gila lo ya? Lo beneran mau tinggal seatap dengan pria beristri?" "Ck, ish! Konotasinya gak gitu, Ev! Di rumahnya tuh banyak banget pelayan tahu. Nah, gue juga dikasih kamar khusus katanya." "Khusus apaan?" "Ya khusus asisten gitu, Ev. Elo gimana sih?" "Tapi itu istrinya gak apa-apa kalau elu tinggal di situ?" "Ya gue gak tahu soal itu. Tapi di sana tuh ada sosok wanita tua yang kayak punya posisi penting gitu, Ev." "Ha? Wanita tua? Masa sih? Gue denger istri Pak Devan itu model lho, Al?" "Ya bukan istrinya. Pak Devan aja manggilnya Eyang." "Oh, neneknya ya?" "Nah itu. Gue diterima jadi asisten Pak Devan atas persetujuan wanita tua itu." "Serah elo deh, awas aja jangan sampe kedengaran elo jadi pelakor dan bikin malu keluarga." "Tenang aja, gue gak segila itu, Eva!" *** "Mau kemana, Al? Kok bawa tas ransel segala?" Tante Yayu heran melihatku pagi ini. Si Eva gak mau bantu jawab. Malah cuek aja makan bakwan sambil lihatin ponselnya. Sue! "Anu, Tan. Sebenarnya aku mau pamit." "Ha? Pamit? Kamu mau kemana?" "Aku dapat kerjaan baru, Tan. Dan aku gak bisa berangkat dari sini. Aku dikasih mes sama atasanku." "Oh, begitu rupanya. Baiklah. Tapi ingat, kamu harus bisa jaga diri dengan baik. Jaga nama baik keluarga kita terutama mendiang orang tua kamu." Aku mengangguk. "Tentu, Tante." Akhirnya aku beneran pamit. Si Eva kayak gak rela aku pergi. Entah apa yang di otaknya itu. Harusnya seneng aku dapat kerjaan kan? Bodo amatlah, terserah dia. Sebenarnya aku juga agak berat sih ninggalin rumah ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku mau merubah nasib. Rumah Pak Devan terlihat sangat sepi. Aku tersenyum dan menyiapkan diri. Baiklah, selamat datang di dunia baru, Alea! Drttt! Ponselku bergetar. Aku kaget saat melihat layar ponselku. Pak Devan menelpon! "Ya, Pak?" "Kenapa malah bengong di depan rumah? Masuk!" Kok dia tahu aku udah nyampe ya? Ah, bego! Aku lupa. Rumah orang kaya kan ada CCTV-nya. Segera aku masuk ke dalam. Terlihat beberapa pelayan melihat ke arahku. Aku mencoba tersenyum dan mengangguk. Mereka malah terlihat cuek dan gak peduli. Apa mereka gak suka aku kerja di sini ya? "Kamu asisten baru Pak Devan?" Seorang pelayan yang usianya mungkin sekitar empat puluhan tahun mendekat ke arahku. Aku mengangguk, "Benar, saya bisa bertemu Pak Devan?" "Begini. Ada hal-hal yang harus kamu ketahui sebelum menjadi asisten pribadi Pak Devan." "Baik, apa itu?" "Duduklah!" Wanita itu mengajakku duduk di sofa yang letaknya di depan sebuah kamar. Ia juga memberi isyarat pada pelayan lain agar kembali bekerja dan tidak mempedulikan kami. "Tugas kamu adalah mengurus Pak Devan dari A sampai Z." Aku melongo, "Ha? Maksudnya?" "Harusnya kamu sudah tahu ini." "Maaf, Pak Devan janji untuk memberi file kontrak pada saya, tapi sampai sekarang dia belum memberikannya." "Karena itu tugas saya. Di sini saya kepala pelayan. Tugasmu mengurus Pak Devan mulai dari bangun tidur sampai beliau tidur lagi. Segala macam yang beliau perlukan kamu harus bisa menanganinya." "Bukannya saya melamar jadi asisten dosen?" "Itu hanya sebagian kecil tugas kamu." "Mirna!" Terdengar suara Pak Devan memanggil. Wanita di depanku langsung berdiri. "Iya, Tuan?" jawabnya. "Suruh Alea masuk ke kamar saya sekarang." Mirna menatapku, "Masuklah!" Aku mengerjap. Lalu, mana kamarku ya? Aku kan bawa tas ransel segede gaban begini. Tapi melihat si Mirna melotot, aku takut juga. Aku memekik kaget saat masuk ke kamar pria itu. "AA!! Kenapa Anda gak pakai baju?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN