Srettt!!
Buset! Kaget aku, Pak Devan malah menarik tanganku dengan cepat hingga aku terlempar ke atas kasur. Salahkan otak kotorku yang barusan lewat, bisa-bisanya aku membayangkan terlempar ke pelukan pria itu. Mana cuma pake sempak doang lagi. Ugh, imanku digoyang!
"Kenapa malah berteriak di depan pintu?" tanyanya dengan raut kesal.
"Y-ya salah Anda. Kenapa cuma pake sempak doang begitu, Pak? Kan kaget saya."
Mataku gak bisa kedip, weh! Ada gundukan besar di antara kedua paha pria itu.
"Kalau orang lain lihat bagaimana? Bukannya masuk malah teriak."
"Lha, kalau Anda malu harusnya saya juga gak boleh masuk."
"Ck, kamu kan asisten saya. Cuma kamu yang boleh lihat."
"Tapi kan saya juga kaget, Pak."
"Kaget tapi mata kamu sejak tadi ngelihatin saya terus."
Aku melotot lalu buru-buru mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Kampret, aku ketahuan malah memperhatikan burung Nuri yang pernah aku lihat tempo hari. Lagi mengkerut kayaknya. Waktu lagi tegak berdiri, ukurannya sungguh big size! Aku menepuk kepalaku sendiri. Enyahlah pikiran m***m! Ish, dekatan dengan orang ini signal seksualnya sangat tajam ternyata. Aku harus waspada.
"Ekhm, saya gak ngelihatin kok, hanya kebetulan aja. Gak sengaja itu," jawabku.
"Carikan baju untuk saya hari ini."
Aku mengangguk, "Baik, Pak."
Nyari baju kemana ini ya? Aku membuka salah satu lemari baju. Weh, ini kok isinya malah sempak semua? Ada bra juga woy!
"Salah, bukan ke sana, Alea. Sengaja ya kamu? Buka lemari dalaman saya dan istri saya?"
Aku panik lagi, "Eh, enggak kok, Pak. Saya kan baru di sini. Jadi saya gak tahu dimana letak lemari baju Anda."
"Makanya kamu harus bertanya dong kalau gak tahu. Sini!"
Aish, berasa dituntun bayi besar ini mah. Pak Devan cuma sempakan doang coba, mana santai banget lagi. Gak ada rasa malunya. Apa dia memang kekanakan ya?
Wih, ternyata ini lemari bajunya. Bukan mirip lemari, tapi ruangan khusus isinya baju semua. Eh, gak ding! Di rak bawah ada juga deretan sepatu khusus kerja sepertinya. Sedangkan satu lemari kaca isinya sepatu sport pria semua.
"Cari baju, bukan sepatu, Alea!"
"Baik, Pak." Aish, aku malah keasyikan melihat koleksi sepatu yang menurutku agak berlebihan.
Aku memberikan baju dan celana yang menurutku sangat pas dan cocok dipakai Pak Devan hari ini. Ya walaupun aku tahu, orang ganteng begitu pakai apapun juga keren.
Tak disangka, Pak Devan menerima baju pilihanku tanpa protes sedikit pun. Ia lalu memakainya.
"Dasinya!" ucap pria itu.
"Ah, baik." Aku ingat tadi melihat ada laci isinya dasi semua. Tinggal kupilih yang serasi dengan bajunya saja.
"Selera kamu tidak buruk juga." ucap Pak Devan sambil bercermin.
"Maaf, Pak. Ngomong-ngomong, kamar saya di mana ya?" tanyaku dengan hati-hati. Dari tadi ranselku masih teronggok di sudut ruangan ini.
"Apa Mirna belum memberi tahu kamu?" tanyanya. Pria itu lalu memberi isyarat agar aku mendekat.
"Belum, Pak. Hanya beliau bilang saya mengurus Anda dari A sampai Z katanya," jawabku dengan nada lesu.
"Kenapa kamu seperti gak rela ngurus saya?" tanyanya. Matanya menatap tak suka.
"Bukan begitu, Pak. Saya kan gak tahu jika pekerjaannya seperti ini."
"Kamu gak mau? Mau membatalkan? Baik, berarti kamu dianggap melakukan penipuan. Kamu bisa diperkarakan. Nanti biar pengacara saya yang urus."
Kaget, sumpah! "Ha? Kok gitu? Saya gak melakukan kejahatan apapun lho, Pak?"
"Siapa bilang? Kemarin kamu menyanggupi semua tugas yang akan diberikan sama kamu. Dan itu ada rekamannya. Kontrak kamu juga udah dibuat, tadi Mirna sudah menjelaskan tugas kamu. Dan dari CCTV, kamu gak keberatan tuh."
Dasar kampret durjana! Aku benar-benar terjebak sekarang.
"Baiklah, berapa lama MOU saya kerja di sini?" tanyaku.
"Dua tahun." Pak Devan memberi isyarat agar aku memasangkan dasi untuknya.
"Anda gak bisa pasang dasi juga?" tanyaku tak percaya. Gila, manjanya melebihi anak orok ini mah.
"Saya bayar kamu untuk melakukannya. Kenapa saya harus mengerjakannya sendiri?"
"Baiklah," aku menjawab dengan sedikit lemas.
"Pak, bisakah Anda sedikit membungkuk?" tanyaku.
Dia tinggi banget. Sementara aku sendiri gak nyampe seratus enam puluh senti. Jelas, aku kerepotan menjangkau lehernya.
Mataku kaget, saat tiba-tiba wajah pria itu mendekat padaku. Wangi aroma mint dari nafasnya benar-benar menggoda iman. Kuat, Alea! Ingat, dia majikanmu! Punya anak bini pula.
"Ayo, pasangkan!" ucapnya saat melihatku hanya bengong.
Dari dekat begini, wajahnya terlihat jelas sangat tampan, sumpah! Aku yakin, dia pasti play boy cap kapak. Semua garis wajahnya nyaris sempurna.
"Fokus memasangkan dasi saja! Jangan jatuh cinta sama saya, Alea."
Sialan! Dia mengejekku. Ya, ya, aku tahu dia sangat sadar jika dirinya sangat menarik.
Srett!
"Selesai!" ucapku sengaja sedikit menarik tali dasinya.
"Hei, ini terlalu kencang! Kamu mau mencekik saya ya?"
Aku pura-pura panik, "Oh benarkah? Maaf, Pak. Baik akan saya perbaiki."
Aku kembali mendekat. Sambil nyengir, aku merapikan dasi yang sudah terpasang itu.
"Selesai!" ucapku sambil berusaha tersenyum semanis mungkin meski tangan udah gatel pengen bejek mukanya. Kesel sumpah!
"Kenapa kamu tersenyum? Mau menggoda saya ya?"
"Mana saya berani, Pak? Anda adalah majikan sekaligus dosen saya."
"Itu bagus, artinya kamu tahu diri."
Serah lo, Parjo!
"Maaf sekali lagi, kamar saya dimana, Pak?" tanyaku.
"Di sebelah ruangan ini."
"Oke."
Aku berbalik hendak keluar dari ruangan ini.
"Eh, mau kemana kamu?"
Aku terkejut lagi saat tanganku kembali ditarik pria tinggi itu.
"Ada yang Anda perlukan lagi?"
"Pasangkan kaos kakinya."
Anjay! Kalau begini ceritanya, aku berasa jadi baby sitter bayi jumbo! Mending kalau boleh diuwel-uwel, lah ini? Statusnya juga laki orang.
Dengan terpaksa aku jongkok dan memasangkan kaos kaki untuk pria itu.
"Ponsel saya bunyi, tolong ambilkan!"
Aku bangkit dan mengambil ponsel milik pria itu.
"Ini, Pak."
"Kenapa diberikan ke saya?"
Aku mengernyit heran, "Lah, ini kan punya Anda? Emang udah gak butuh?"
"Angkat teleponnya!" ucapnya dengan nada santai.
Mataku melotot, di layar tertera 'My Wife' artinya istriku bukan? Buset deh, ini orang gila apa ya? Masa aku angkat telpon dari istrinya sih?
"Serius, Pak?"
"Gajimu saya potong kalau masih protes."
"Baik, Pak."
Pak Devan terlihat mengambil tas kerjanya. Dia duduk manis sambil memasang jam tangannya.
Sebenarnya aku takut, sumpah! Gimana kalau aku kena semprot istrinya? Tapi lebih serem lagi kalau gaji dipotong. Sayang kan? Mana kerjanya juga sport jantung begini lagi.
"Ekhm, halo?"
"Kamu asisten baru suami saya?"
"Be-benar, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ck, kebiasaan! Ngangkat telpon saja pakai tangan orang lain. Ya sudah, bilang ke suami saya, tolong transfer bulan ini."
Walau aku bingung, tapi aku hanya mengangguk dan menyanggupi permintaan istri majikanku itu.
"Ayo, pergi!" ucap Pak Devan setelah aku selesai menutup sambungan telepon.
"Anda gak penasaran dengan pesan istri Anda?" tanyaku.
"Paling juga minta uang."
"Gak kangen gitu, Pak?"
"Maksudnya?"
"Kan kalau suami istri itu biasanya mesra. Terus istri ngurus suami."
"Saya udah bayar kamu. Semua yang saya butuhkan bisa kamu urus."
"Ya maksudnya kebutuhan biologis Anda bagaimana?"
Pak Devan tersenyum miring, "Memangnya kamu sanggup memenuhi kebutuhan biologis saya? Ah, ide bagus tuh."
Aku panik dong! "Bu-bukan begitu maksudnya."