Cinta gak sih?

1061 Kata
"Sudahlah, lagi pula kamu bukan tipe saya." Pak Devan berjalan santai ke luar dari ruangan besar ini. "Pak, saya simpan ransel ke kamar dulu ya?" ucapku. "Hm. Jangan lama!" "Siap, Bos!" Aku segera masuk ke kamar yang ditunjukkan oleh Pak Devan. Ternyata kamarnya memang gak jauh dari ruangan pria itu. Kata Mirna sih karena tugasku khusus mengurus Pak Devan baik di rumah, kantor maupun di kampus. Sekarang aku faham, pantas saja gajinya dua kali lipat dari upah minimum regional kota ini. Toh, kerjanya juga bikin kepala nyut-nyutan. Kamar yang disediakan khusus asisten Pan Devan lumayan besar juga. Walau gak sebesar kamar Pak Devan, tapi dibanding ukuran kamar di rumah Tante Yayu ini terhitung dua kali lebih besar. Ada sofa dan televisi juga. Kamar mandi juga ada. Kalau bagiku ini lebih dari kata nyaman sih. "Alea!" Suara Pak Devan terdengar. Baru saja aku hendak mencoba empuknya kasur di kamar ini, pria itu sudah memanggil. Aku keluar dan hanya membawa tas gendong yang biasa kupakai untuk kuliah. "Siap, Pak!" ucapku saat sudah sampai di depan pria itu. "Kamu bisa nyetir mobil kan?" tanyanya. "Bisa, Pak!" Ya, aku bisa nyetir mobil. Bahkan aku pernah bawa mobil kolbak mengangkut pasir dari gunung. "Ini, kamu yang nyetir!" Hap! Aku menangkap kunci mobil yang dilempar pria itu. Wow, mobil mewah, coy! Ya walaupun gak semewah mobil dalam mimpiku. Tapi mobil Alphard ini jelas masuk jajaran mobil yang mustahil bisa aku beli. Pak Devan duduk di belakang. Pikiranku ngaco lagi. Bisa-bisanya aku berharap pria itu duduk di depan denganku. Bego, di sini aku jadi sopir. Gak apalah, setidaknya aku merasakan naik mobil semewah ini. Jalanan mulai ramai. Eh, bahkan sepertinya sangat ramai. Padahal ini baru jam enam pagi. Tumben sih biasanya kalau aku ke pasar atau ke kampus jam segini, jalan masih sepi. Pritt!! Aku kaget saat tiba-tiba terdengar suara peluit dari sosok berseragam abu tua di depan sana. Sial! Sepertinya sedang ada operasi zebra. Mana bawa mobil orang lagi. Dengan modal nekat, aku ngebut. "Heh! Alea! Kamu mau cari mati?!" Pak Devan mulai gaduh di belakang sana. Aku gak peduli. Biarlah dia gaduh sebentar, yang penting aku selamat dari razia. Ya, ya, aku gak punya SIM A. Kalau kena tilang, bisa celaka! Uang belum punya. Kerja juga baru hari ini. Kalau semisal aku ditilang dan disuruh ngasih uang? Kan berabe jadinya. Yang lebih mengerikan lagi adalah jika mobil ini sampai ditahan di kepolisian karena ulahku. "Alea! Jangan ngebut!" Pak Devan masih berisik. "Nikmati aja, Pak. Anggap kita lagi balapan sama maling." Ini gila! Baru sekarang aku mengendarai mobil semewah ini. Tenaganya benar-benar mantap. Berasa jadi Sebastian Vettel, anjir! "Alea! Kalau sampai terjadi apa-apa sama mobil saya, kamu ganti rugi!" Ciitt! Wow, remnya cakram! "Alea, kamu gila ya?!" Aku menengok keadaan pria cerewet di jok belakang. Wajahnya pucat pasi. "Anda gak kenapa-kenapa kan, Pak?" tanyaku setelah memarkir mobil di depan kampus. "Jantung saya serasa mau copot!" "Lah, kan serasa doang, Pak? Gak beneran kan?" "Sekali lagi kamu bawa mobil seperti tadi, dua bulan gaji kamu saya tahan." "Waduh, serem amat, Pak. Lagian saya ngebut juga bukan tanpa alasan." "Memangnya kenapa kamu bawa mobil saya seperti orang kerasukan?" "Anda lihat tadi sedang ada razia kan? Saya gak punya SIM A," jawabku sambil nyengir. Pak Devan jelas terlihat kaget dan kesal. "Apa? Gila ya kamu? Kenapa beraninya bawa mobil kalau gak punya SIM A?" "Lah, kan Anda yang nyuruh. Saya mah patuh aja." "Harusnya kamu bilang kalau kamu belum punya SIM A." "Kan Anda gak nanya, Pak." "Edan ya kamu. Untung saja kita selamat. Terus kamu bisa mengemudi gimana caranya?" "Saya lama hidup di jalanan, Pak. Kerja serabutan termasuk ngangkut pasir pakai mobil kolbak atau truk ke gunung." Pak Devan terlihat meringis, "Sebenarnya kamu ini laki-laki atau perempuan?" "Saya perempuan tulen lah, Pak." "Sulit dipercaya." "Anda mau bukti?" Aku tersenyum geli. "Tidak perlu! Saya gak peduli. Sekarang bawa tas saya dan buatkan teh hijau hangat." Aku buru-buru keluar dan membukakan pintu mobil untuk pria itu. "Tehnya ada di warung, Pak?" tanyaku. Aku gak tahu, sumpah! "Ada di ruangan saya. Kamu tinggal buat saja." Pak Devan berjalan di depanku. Aku mengekor di belakangnya. Jalannya cepet banget sih? Mungkin karena ia memiliki kaki yang panjang. Langkahnya lebar dan cepat. "Pak, sudah dapat asisten baru?" sapa salah satu mahasiswi cantik yang berpapasan dengan kami. "Sudah." Pak Devan menjawab singkat. "Ya sayang sekali, padahal saya berniat untuk melamar pekerjaan pada Anda." Pria itu tersenyum kecil, "Kamu terlambat." Pak Devan memberi isyarat padaku untuk ikut masuk ke ruangannya. Setelah meletakkan tas milik majikanku itu, aku segera mencari teh hijau yang dipesan Pak Devan. Ck, gimana cara buatnya ya? Ah, bego! Kan bisa cari di internet. Aku mengikuti langkah yang ada di video youtobe. Cukup mudah ternyata. "Ini, Pak." Aku memberikan teh hijau hasil karyaku. Pak Devan menerimanya lalu mencium aroma teh yang masih mengepulkan asap. "Pelajari ini, jam kedua saya ada jadwal di lantai dua fakultas akuntansi. Berikan tugas ini dan upload di google drive." Aku mengangguk. Kepalaku seketika kleyengan melihat materi yang disodorkan Pak Devan. Alamak, bagaimana aku mempelajari ini dalam waktu sekejap? Andai aku anaknya Pak Habibie otakku pasti gak akan kesulitan dengan materi ini, huft. Ponsel Pak Devan berbunyi. Aku menunggu reaksinya. Apa dia akan menyuruhku untuk mengangkat telpon seperti tadi pagi? Ternyata aku salah, Pak Devan langsung mengambil ponselnya dan mengangkat telpon. "Ya, Eyang? Oh, kenapa mendadak? Hm, Alea ada bersamaku. Ya, bawa saja." Pak Devan menatapku setelah menutup sambungan telepon. "Ada apa, Pak?" tanyaku. Ya aku penasaran lah. "Noah ingin pergi ke kebun binatang." "Oh, baguslah. Anak-anak memang suka binatang," aku menjawab sekenanya. Lagi pula, gak ada hubungannya denganku bukan? "Bukan perkara bagus atau tidak. Tapi Eyang gak bisa mendampingi Noah. Saya sendiri hari ini sangat padat." Aku mengangguk, "Oh begitu." "Sekarang kamu yang harus menggantikan tugas saya." "Iya, saya tahu. Ini mau saya pelajari kok." "Tidak perlu. Kamu pergi saja temani Noah." Aku diam. "Ha? Lalu jam kuliah saya bagaimana, Pak?" Pak Devan melirik jam tangannya, "Jam pertama saya di kelas kamu. Saya kasih dispensasi khusus." "Lalu jam kedua bagaimana?" "Saya yang akan ngomong ke dosen." Alamak, jadi sekarang aku berubah menjadi baby sitter anaknya? Ck, gak anak gak bapak, sama-sama merepotkan! "Ah, satu lagi. Jangan lupa transfer uang ke rekening istri saya. Bikin repot saja!" Pak Devan terdengar menggerutu kecil. Lah, dimintai uang sama istri wajar kan? Kok malah menggerutu? Sebenernya Pak Devan cinta gak sih sama istrinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN