Dan si Eyang yang belakangan aku tahu namanya Eyang Dewi Kusumah itu benar-benar mengirimkan bocah bulat ke ruangan Pak Devan. Sebenarnya aku malas harus mengurus bocah kayak gini. Lah wong aku biasa hidup sendirian kok. Ngurus bocah aku gak punya pengalaman.
"Noah, kamu baik-baik ya sama Tante Alea. Eyang pergi dulu. Nanti kalau Eyang sudah selesai, kita beli es krim." Eyang membujuk si Noah.
Anak itu semula cemberut tapi beberapa detik kemudian bibirnya tersenyum lebar lalu meloncat-loncat. "Yey, beyi es kim, beyi es kim!"
Ngomongnya belum terlalu jelas ternyata.
"Alea, titip cicit saya ya? Kembalikan dia dalam keadaan utuh dan bahagia."
Pesan macam apa itu? Dasar nenek-nenek aneh!
"Baik, Eyang eh Nyonya."
Si Eyang terdiam sejenak, "Gak apa, kamu panggil saya Eyang saja."
Aku melongo lalu mengangguk. "Baik."
Pak Devan terlihat sedang menerima telpon entah dari siapa aku gak tahu. Tangan Pak Devan memberi isyarat agar aku mendekat. Ternyata dia memberi kartu ATM.
"Passwordnya kamu sudah tahu kan?" tanyanya. Tapi dia gak nungguin jawaban aku, langsung aja pergi keluar dengan si Eyangnya.
"Noah, kamu mau ke kebun binatang?" tanyaku setelah kami hanya berdua di ruangan ini.
Bocah itu menatapku tapi gak ngomong apa-apa. Ish, budek kali ya? Aku berusaha untuk tetap tersenyum, "Noah, kamu mau ke kebun binatang?"
Anak itu mengangguk pelan. Apa dia takut padaku? "Noah, kamu takut padaku?"
Si Noah masih menatapku tanpa kedip. Gak ngomong apa-apa. Wajahnya tetiba memerah. Lah, dia kenapa?
"Noah, kamu gak apa-apa kan?"
"Ee."
Aku melongo. "Apa?! Kamu ee di celana?!"
Anak gendut itu mengangguk dan menggigit jarinya.
Haduh, mati aku! Bagaimana caranya membersihkan kotoran bau di celana anak ini?
"Bisa cebok sendiri gak?" tanyaku mulia frustasi.
Si Noah bukannya menjawab pertanyaan dariku, dia malah diam lalu lama-lama bibirnya terlihat mengerucut dengan kening berkerut, "Huaa! Huaa! Papi! Huaa!"
Aku panik. "Eh, kenapa mewek sih? Eh kenapa nangis sih?"
"Hua... Hua...!"
Terpaksa aku bawa anak ini ke kamar mandi.
"Ya udah ayo cebok!"
Akhirnya diam juga. Noah nurut saat aku buka celananya. Baguslah dia pakai popok. Semoga aja pup-nya gak belepotan.
Aku suruh si Noah berdiri di kamar mandi. Lalu kusiram air sebanyak mungkin ke area p****t anak itu. Setelah yakin bersih, baru aku usap-usap pakai sabun.
Tahan nafas, Alea! Bau banget, anjir! Anak ini makan apa sih? Baunya minta ampun. Jangan-jangan makan bangke cicak lagi, bau amat!
Noah sudah selesai kubersihkan.
"Bacah!" ucap anak itu menunjuk bajunya. Aish, basah semua bajunya. Aku menggaruk kepala. Ah, kan ada kartu ATM yang dikasih bapaknya. Lebih baik aku bawa anak ini ke toko baju.
"Celana, celana," ucapnya dengan aksen yang belum terlalu jelas.
"Iya, ntar kita beli baju dan celana buat kamu."
Noah nurut. Kami mampir di sebuah toko baju. Aku beli baju celana dan juga topi untuk anak ini. Ekor mataku melirik bra yang terpajang. Seketika aku ingat kalau bra milikku udah jelek dan belel semua. Senyumku mengembang, sepertinya beli tiga biji gak apa kali ya?
Aku mengambil tiga buah bra dan celana dalam. Mayan lah, hitung-hitung upah nyebokin si Noah kan?
Setelah selesai berganti baju, aku membawa Noah pergi ke kebun binatang. Dari kejauhan terlihat ada kerumunan. Ada apa ya? Penasaran, aku mendekat. Mataku melotot sempurna. Bukankah itu wanita yang ada dalam foto pernikahan Pak Devan? Atau dengan kata lain, itu istrinya Pak Devan kan?
Ternyata benar. Istrinya sangat cantik! Aktris dan model terkenal. Sayang sekali, aku jarang melihat kemesraan Pak Devan dengan istrinya. Pantas jarang ada di rumah, rupanya si istri sangat sibuk. Ya, dia sedang melakukan syuting film.
"Noah, kamu kenal siapa dia?" tanyaku sambil menunjuk ke arah istrinya Pak Devan.
"Mami." ucap Noah. Lah, kok dia gak mau ke ibunya ya? Biasanya kan anak bocah segede gini tuh lagi lengket-lengketnya sama ibunya.
"Kamu gak mau ke Mami?" tanyaku.
Noah menggeleng dan malah menarik bajuku untuk pergi dari sana.
"Ayo!" Noah memaksaku. Aku mengikuti langkah bocah itu. Larinya sangat cepat dan gak bisa diam. Noah terlihat asyik memberi makan kelinci dan rusa tanpa rasa takut.
"Alea?" Seseorang menepuk pundakku.
Aku berbalik. "Nyonya Arumi?" sapaku. Iya, Arumi ini aktris cantik yang jadi istirnya Pak Devan.
"Kenapa kamu bawa Noah kemari?" tanyanya.
"Noah yang minta, Nyonya."
"Kamu sengaja ya biar orang-orang melihat aku dan Noah gak dekat?"
"Eh, tidak kok, Nyonya. Saya malah disuruh Eyang untuk mengasuhnya di sini."
Arumi tersenyum sinis, "Eyang? Oh kamu disuruh Eyang?"
"Benar, Nyonya. Eh, Noah! Jangan ke situ!" Aku berteriak kaget saat melihat Noah yang mendekat ke kolam air tempat binatang minum.
"Sudahlah, sekarang kamu hubungi suami saya. Jemput saya di sini."
"Tapi Nonya, Pak Devan sedang sibuk sekarang."
"Alea, kamu asisten suami saya kan? Bukan manajer yang berani mengatur jadwal suami saya?"
Aku mengerjap, ya bukan gitu maksudnya. "Ya saya tahu. Baiklah."
Setelah memastikan si gendut bulat aman, aku menelpon Pak Devan. Padahal bisa aja kan Arumi nelpon sendiri? Tapi dia malah gak mau. Dasar pasangan aneh!
"Hallo, Pak?"
"Ada apa? Saya sibuk."
"Tunggu! Jangan ditutup. Istri Anda bilang mau dijemput di lokasi syuting sekarang."
"Kirim lokasinya."
Aku tertegun. Tadi aja bilangnya sibuk. Tapi saat istrinya minta jemput, langsung gercep. Apa Pak Devan termasuk suami takut istri gitu ya? Jagain anaknya juga gak ada waktu. Giliran jemput kok bisa?
Mungkin karena istrinya cantik kali ya? Jadi Pak Devan nurut aja tuh. Bahkan tak menunggu lama, mobil Alphard milik Pak Devan sudah datang.
"Kamu bawa Noah ya?" Arumi berdiri dan menyambut Pak Devan.
Mereka berpelukan. Aku memalingkan wajah ke arah lain, gak enak lihatnya. Berasa jadi tokek di dinding yang diam-diam merangkak.
"Papi! Papi!" Noah kegirangan melihat Pak Devan. Beda banget pas sama Maminya. Cuek dan gak peduli. Mungkin karena Arumi juga gak menyambut Noah kali ya?
"Kamu senang jalan-jalan sama Tante Alea?" tanya Pak Devan setelah berada di depan kami.
Noah mengangguk. Ia langsung naik ke pangkuan Pak Devan.
"Alea, kamu yang nyetir! Saya mau duduk dengan suami saya di belakang."
Aku mengangguk. "Baik, Nyonya."
"Jangan! Kamu kan capek habis syuting . Jadi lebih baik kamu di belakang dengan Noah saja. Aku yang nyetir."
"Gak apa, Pak. Saya aja yang nyetir." ucapku sambil tersenyum.
"Jangan! Saya masih trauma yang kejadian tadi."
Aku melongo. "Ha? Yang tadi?"
"Sudah, ayo naik saja!" ucapnya.
Akhirnya Arumi duduk di belakang dengan Noah walaupun mukanya ketus. Haha, ngambek kayaknya.
Ah, bodoh! Aku tahu, Pak Devan takut dibawa ngebut lagi sepertinya.
Noah yang biasanya berisik malah terlihat anteng. Ternyata anak itu tertidur. Dan si Arumi malah asyik sendiri dengan ponselnya. Ibu macam apa dia? Pantas saja Noah cuek ke Maminya.
Pak Devan mengantar Arumi dan Noah ke rumah. Keduanya masuk ke kamar masing-masing. Tentu saja si Noah aku yang gendong. Mana berat lagi.
"Alea, karena ini darurat, kamu ikut saya." ucap Pak Devan setelah aku keluar dari kamar Noah.
"Kemana, Pak?"
"Kita buat SIM A untuk kamu. Ngeri saya kalau harus ngebut lagi."
Sesuai dugaanku, ternyata Pak Devan takut dibawa ngebut.
"Baik, Pak."
"Sayang, bentar deh! Aku kangen!" Arumi bergelayut manja di depanku. Agak geli sih lihatnya. Mending aku keluar saja.
"Saya menunggu di luar, Pak."
"Eh, tunggu! Jangan pergi! Kamu tunggu di sini aja, gak apa-apa." Arumi tersenyum centil.
Aku melirik wajah Pak Devan yang terlihat datar. Lalu detik berikutnya aku dibuat kaget. Arumi menciumi bibir pria itu dengan brutal dan panas.
Whoah, live streaming nih! Tapi sumpah, bukannya seru tapi malah terasa risih! Mending nonton drama Korea lah! Aku berbalik tanpa melihat ke arah mereka lagi. Gila aja, jadi suporter sendirian gak enak tahu!
"Ekhm, Alea, saya minta maaf atas kelakuan istri saya."
Aku menoleh saat terlihat Pak Devan keluar dari rumah.
"Gak apa, Pak. Namanya juga suami istri."
"Tapi asal kamu tahu, semuanya hanya sekedar kebutuhan saja."
Aku bingung. Maksudnya apa sih?