Telah menjelang sore, Nata pulang menggunakan taksi, dikarenakan, hari ini Andre sedang ada rapat dengan beberapa para bisnis di Luar Negeri. Baru akan menyetop taksi di depannya. Sebuah mobil proton warna silver berhenti tepat dihadapannya. Kaca mobil turun seseorang menunduk kepalanya menoleh arah Nata.
“Mau aku antar?” tanya Heru.
“Tidak usah, Pak. Saya pulang naik taksi, saja,” tolaknya.
Heru diam sejenak, lalu dia turun dari mobilnya membuat Nata terheran sama dosen tidak tau diri itu. Dibuka pintu, mendorong punggung Nata untuk menuruti kemauannya.
Nata semakin heran maksudnya apaan coba pakai memaksa. Membantu memakaikan sabuk pengaman posisinya itu tidak bisa dielakkan harum maskulinnya pun tercium oleh Nata sendiri.
“Kamu tenang saja, aku tidak akan menculikmu,” ucapnya selesai memasang sabuk pengaman itu. Ia tidak membalas ucapan dari dosennya.
Saat perjalanan, perasaan Nata tidak menentu sekali ada gejolak aneh pada dirinya. Apalagi Dosen berada di sebelahnya sedang mengemudi dalam keadaan serius. Sesekali ia lirik lalu pindah arah pandangan lain, senyuman Heru tercetak panjang. Dia tahu bahwa cewek manis ini sedang terpesona oleh ketampannya.
Sampai di salah satu tempat rumah makanan, makanan khas Korea. Memang bukan hal biasa untuk para orang lokal di sini. Makanan ini terkenal karena pedas, samyang, pokoknya ciri khas Korea. Nata paling benci dengan makanan Korea, makanan lokal saja lebih enak. “Kenapa berhenti di sini?” tanya Nata ketus.
“Temani saya makan dulu. Soalnya tadi saya pesan terlalu banyak,” jawab Heru membuka sabuk pengaman.
“Tapi, saya tidak suka makanan pedas,” katanya mengekori.
“Bisa pesan yang lain."
“Kalau enggak, saya pulang sendiri saja, deh.”
Heru meraih tangan Nata. Ia menoleh menatapnya bingung. Posisi duduk yang paling menyebalkan adalah memaksa. Nata semakin kesal dengan sikap dosen aneh ini. Egois, mau menang sendiri, Tapi, perut tidak akan tahan dengan rasa pedas dilidah.
Heru menyantap begitu lahap, sedangkan Nata sendiri hanya memesan nasi goreng telur seafood. Tidak butuh waktu yang lama akhirnya ludes semua makanan Korea di atas meja.
•••••
Akhirnya sampai juga di rumah, ia bebas. Bebas terlepas dari orang gila ini, lain kali dia tidak akan bertemu dengan dosen aneh. Baru buka pintu untuk turun, tiba tarikan dari lengan Nata kembali masuk ke mobil.
“Apaan sih, Pa—"
Heru mendadak mencium bibir manis cewek ini, seketika dua bola mata miliknya melebar sempurna. Ini rasanya jauh beda. Heru melumat dua kali bibir itu, kemudian dilepasnya menatap tajam wajah mahasiswi ini.
“Aku mencintaimu,” ungkapan dari Heru.
Apa? Dia bicara apa? Mencintaiku?
“Maksud, Bapak?” Nata tidak salah dengar ungkapan isi hati dari dosen ini.
“Aku suka kamu, saat pertama melihat senyumanmu,” ulangnya lagi.
“Tapi, tapi,” Jadi grogi tanya untuk dosen ini.
***
Andre baru saja sampai di rumah cukup melelahkan, ketika akan ke atas menuju kamarnya. Tidak sengaja melihat sosok adiknya tengah mondar – mandir kayak setrika.
“Ada apa denganmu?” tanya Andre masuk ke kamar miliknya.
Nata menurunkan gigitan jari itu tengah memikirkan ungkapan dari dosennya. Ditatap intens paras tampan milik Abangnya. Rasa bingung mulai menyerangnya ia benar sudah pasrah apa yang dilakukan.
Apa aku menceritakan kepadanya saja, ah... enggak deh, nanti abang marah. Uh... sebal bikin pusing tujuh keliling.
“Bang, Nata mau tanya sesuatu,” ucapnya. Menyerah, terserah, dibenci, dendam, apa sajalah dia sudah memasrahkan kehendak kalau pun abangnya tidak sayang sama dia lagi.
“Tanya apa?” Andre duduk di tepi ranjang menarik Nata duduk pangkuan pahanya. dia paling suka dengan posisi begini, nyaman, semakin dilihat tambah cantik saja. Perawatan apa sih dipakainya.
“Tapi, Abang janji enggak akan marah kalau Nata tanya sesuatu, ini sangkut dengan perasaan dan hati,” jawabnya. Andre sendiri mengerut kening dengar jawaban dari Adiknya ini.
“Iya, Abang janji. Apa pertanyaannya, soal menikah? Jelas Abang siap beritahukan kepada Om Robert,” canda Andre selalu saja menggoda adiknya.
“Iihh, Abang ini. Nata lagi enggak mau bercanda dulu. Ini serius, tapi, Abang janji dulu,” balasnya, menunjukkan jari kelingking padanya. Andre pun membalasnya. “Abang janji, ayo, apa pertanyaannya. Sepertinya ini benar serius banget.” Sambil dielus punggung Adiknya mencari kaitan untuk dilepas.
Nata menarik napas dalam-dalam dulu baru membuangnya secara pelan-pelan. Kemudian ia mulai bertanya, “Misalkan janji yang sudah pernah eratkan, tapi, malah teringkari karena suatu kesalahan besar yaitu berhubungan dengan orang yang tidak kenal. Bagaimana perasaan, Abang?”
Andre mendengar dan menyimak pertanyaan dari Nata, seperti pertanyaan tentang dia dan dirinya. Ia takut kalau abangnya benaran akan marah dan bertanya kembali atas pertanyaan itu ia siap memberi jawaban kepadanya.
“Kalau perasaan Abang, sih, marah, kesal, dan kecewa,” jawabnya.
Nata tahu pasti jawaban abangnya adalah kecewa, tentu dia merasa kecewa. Karena apa yang sudah dijanjikan semua pupus sesuatu yang amat disalahkan adalah berhubungan dengan dosennya di kampus.
“Begitu, ya, Bang. Kalau misalkan Nata mengingkari seperti pertanyaan itu. Apa Abang tetap akan marah, kesal, dan kecewa?"
Andreas tidak menanggapi, dia tahu pertanyaan ini pasti dirinya sendiri. Perasaan tidak bisa dipaksakan kalau memang adiknya lebih memilih orang lain. Tetap saja dia akan marah, bukan, kepadanya melainkan orang yang telah mengambil berliannya.
“Enggak, Abang tidak akan marah, kesal, kecewa. Walaupun kamu pernah berhubungan dengan cowok lain. Perasaan Abang selalu ada untuk kamu, cinta, sayang, dan menerima dirimu apa adanya,” kata Andre menyatukan keningnya.
Ia sangat beruntung memiliki abang seperti dia, meskipun masih berstatus saudara. Tetap saja ia merasa ini bukan sekedar saudara lagi melainkan sepasang kekasih yang benar saling cinta. “Nata sayang, Abang!” dipeluknya.
Disisi lain Robert menyaksikan kedua sepasang sejoli itu. Hati Robert merasa terobati. Namun ada yang lebih berarti akan diberitahukan secara langsung rahasia terbesar yang telah lama disimpan rapat – rapat itu.
*****
Hari – hari seperti biasa, sarapan bertiga berkumpul di meja makan, Robert seperti biasa menikmati secangkir kopi hitam hangat di mejanya ditemani oleh surat kabar yang tidak pernah terlepas dari pandangannya. Sedangkan Andre sibuk dengan ponsel dengan sepotong roti yang tergantung di mulutnya. Beda dengan Nata memotong roti perlahan, lalu digigit hingga halus.
Robert melihat jam arloji di tangannya yang melingkar itu sudah pukul 08.15 pagi, dilipat surat kabar letakkan tempat semula. Membersihkan mulutnya, dia pun bangkit dari duduk melirik Andre seling berganti menatap Nata.
“Andre, sampai di kantor, temui saya sebentar dan kamu juga, Nata hari ini izin ke kampus. Ada yang mau Om, bicarakan,” kata Robert berlalu pergi dari meja itu.
Andre bergantian menatap Nata sejenak, Nata mengangkat bahunya. Dalam mobil menuju kantor, Nata, Andre penasaran apa yang mau dibicarakan oleh pamannya.
“Kira – kira, Om Robert mau bahas apa, ya?” tanya Nata kepada Andre.
“Enggak, tahu,” jawabnya singkat.
“Apa jangan – jangan Om Robert tahu hubungan kita berdua?” tebak Nata.
“Huss... sembarangan saja, enggak mungkin, kalau pun Om Robert tahu hubungan kita, tinggal menikah saja,” katanya santai.
“Santai banget, sih, Bang! Nata yang deg-degan nih!”
Ia benaran takut dan kalau memang ketahuan telah berhubungan spesial dengan Abangnya sendiri. Bagaimana jadinya nanti kalau Om Robert memisahkan mereka berdua. Rasanya dia ingin hilang saja, karena ia sudah terlanjur sayang dan cinta banget sama Abangnya sendiri.
Sampai di kantor Nugroho, Andre dan ia masuk bersamaan, seluruh para pekerja di gedung ini perhatikan sosok cewek manis yang berdampingan dengan Bos pemilik perusahaan ini.
Masuk ke dalam lift, Nata tipe cuek pada karyawan di gedung ini. Lift terbuka lebar tandanya sampai di lantai tujuan tersebut. Andre keluar disusul oleh Nata. Mereka berdua masuk ke kantor milik pamannya kembali ditutup oleh Nata.
Dua sepasang sejoli ini pun duduk bersamaan saling berhadapan.
•••••
"Silakan duduk," ucap Robert.
Mereka berdua mungkin terlihat takut, Robert tahu. Sikap Robert terlalu tegas. Robert harus mengatakan sejujurnya kepada mereka berdua. Rahasia yang sudah lama disimpan oleh Vera, Doni, dan Vina.
Untuk keputusan ada dipihak mereka. Kemungkinan hubungan mereka semakin erat atau pisah.
"Apa yang ingin Om bicarakan?" Andre bersuara lebih dulu.
"Om ingin mengatakan sesuatu kepada kalian berdua. Sudah berapa lama kalian berhubungan di luar Abang-Adik?" tanya Robert.
Mungkin mereka shock mendengar Pertanyaan Robert. Andre dan Nata saling berganti memandang. "Tiga minggu," jawab Andreas tenang.
Robert menghela panjang, Robert sangat berat menceritakan kepada mereka.
"Apa kalian saling mencintai, walau hubungan kalian berdua sebatas Abang-Adik?"
"Iya, aku mencintainya, walau dia adalah adikku?" jawabnya tegas lebih berani bersuara daripada Nata.
Nata terlihat takut, Robert tahu ini sangat berat untuk Nata,
"Dan kamu, Nata, apa kamu mencintai Andre. Namun Robert memahami situasi mereka hadapi, siapa yang menginginkan jika dua sepasang didepan Robert adalah pasangan tidak bisa terpisah, walau hubungan itu masih batas persaudaraan.
“Kalau kamu, Nata? Apa kamu mencintai Andre? Meskipun kalian berdua masih berstatus persaudaraan?” Robert bertanya pada Nata. Ketika Nata mendapat sebuah pertanyaan dari seorang pria sudah dianggap sosok ayah.
"Nata mencintainya, Om. Walau masih hubungan saudara kandung," jawabnya getir.
Vera, Doni, Vina, bagaimana ini apa yang harus aku lakukan. Pantaskah aku menceritakan semua pada mereka, batin Robert menatap dua anak yang sudah dewasa.
"Kalian tahu resiko jika berhubungan sesama saudara kandung?"
"Kami siap menerima konsekuensinya apa pun itu, Om," tegas Andreas menatap Robert dengan mantap.
Sekali lagi Robert menarik napas panjang. Kemudian membuka kedua matanya menatap mereka berdua di hadapannya.
"Sebenarnya kalian tidak memiliki hubungan darah satu sama lain. Nata adalah anak dari almarhum mantan istri Om. Saat Nata dilahirkan, Ibunya meninggal karena pendarahan. Sedangkan kamu, Andre. Waktu kecil kamu sangat senang mempunyai adik perempuan. Om menitipkan Nata kepada orang tuamu untuk merawatnya selayak memiliki keluarga utuh," Cerita Robert beritahukan kepada mereka berdua.
Mereka terdiam, mungkin tidak mempercayai apa yang Robert ceritakan semuanya. Nata terkejut bahwa Robert, lah, melantarkan dirinya kepada sahabat alamarhum istrinya.
Robert, lah, orang tua yang tidak berguna untuk Nata. "Jadi, aku dan Nata tidak memiliki hubungan darah. Tapi hubungan persahabatan begitu, Om?" Andre menyimpulkan
"Benar," jawab Robert.
"Lalu kenapa Om tidak membesarkan Nata seorang diri. Kenapa harus orang tuaku?"
"Karena mereka menginginkan seorang putri agar bisnis Nugroho semakin sukses,” katanya.
Nata daritadi tidak mengeluarkan sepatah kata pun, mendengar semua cerita Om Robert adalah ayahnya sendiri. Bagaimana bisa, semua itu dirahasiakan begitu saja. Apa Om Robert tidak menyayanginya.
"Maafkan, Om, Nata. Kalau Om sudah melantarkanmu."
Andre memeluknya, Robert meninggalkan ruangan dia merasa lega sekarang.
Aku sudah selesai beritahukan kepada mereka. Sekarang aku harus pergi untuk tidak mengganggu kehidupan mereka lagi. Benarkan Vera, Doni, dan Vina.