"Siapa namanya?" tanya Kueny. Dengan cepat duduk di sampingku sambil merangkul pundakku.
Aku mengarahkan ponsel ke arahnya. Biarkan dia melihat sendiri. Sementara aku masih terkejut ada seorang pria yang langsung mengirimiku pesan. Apakah selama ini media sosialku sepi karena tidak pernah pasang foto seperti itu? Galeriku penuh oleh foto random.
"Namanya Pitter. Setelah kulihat-lihat galeri fotonya. Dia ternyata cukup tampan," jelasku pada Kueny sembari mengibaskan jari-jari tangan yang tiba-tiba terasa lemas dan dingin.
Kueny memperhatikan layar ponsel serius sekali. "Kulitnya sawo matang. Senyumnya seperti lengkungan bulan sabit," komentarnya. Dia memang suka menilai penampilan orang lain. "Kalau aku lihat-lihat sepertinya dia punya tinggi yang tidak beda jauh dari Zam."
Zam adalah teman dekat Kueny. Aku melihatnya mereka seperti sepasang kekasih. Begitu juga laki-laki dengan tinggi badan 179 itu menjelaskannya. Tapi, Kueny mengelak.
Dari arah sudut lain, Tiana setengah berlari ke arah kami meninggalkan bukunya di meja bundar bersama vas bunga. Dia langsung mengambil alih ponsel di tangan Kueny.
Teman-temanku memang begini. Mereka semangat sekali menjodohkanku dan senang jika aku punya pasangan.
"Kalau begitu cepat balas pesan-nya. Semakin cepat kamu membalas dia pasti akan tahu kalau kamu juga tertarik padanya."
Aku mengangguki saran Tiana. Baru saja akan mengambil ponsel di tangannya. Tiba-tiba Kueny mengambil alih benda itu. Sehingga aku memberinya tatapan bertanya-tanya.
"Ada apa?" protes Tiana pada Kueny dengan suara sedikit keras.
"Biar aku saja. Aku tidak yakin balasan Narnia akan memikat Pitter. Setidaknya jangan singkat sekali," jawabnya tanpa menatapku sama sekali.
Awalnya Tiana terdiam, kemudian mengangguk seolah setuju.
Aku tidak protes. Kueny benar karena aku tidak suka bertele-tele untuk menjawab sesuatu.
[Halo juga Pitter. Tentu saja boleh! Namaku Narnia. Usiaku baru 22 tahun. Berapa usiamu?]
"Maaf, apa itu tidak kelihatan terlalu agresif? Dia saja belum bertanya siapa namaku dan berapa usiaku?" Aku menatap Kueny dan Tiara dengan kerutan di wajahku. Dua perempuan itu menggeleng.
"Seharusnya bisa lebih agresif lagi. Kalau kamu menunggu dia bertanya obrolan kalian tidak akan menarik. Sekarang kamu kan sedang berusaha mencari pasangan. Jadi, harus lebih intim lagi."
"Makanya kalau belum mau menikah jangan di rumah saja. Coba saja kamu kuliah atau kerja pasti orang tua kamu tidak bakal mengomel." Tiana ikut menceramahiku.
Mereka selalu berhasil membungkam mulut ini kalau sedang mengutarakan protes.
"Memangnya sangat memalukan ya kalau tidak kerja dan juga belum menikah? Lagi pula baru beberapa tahun juga kan aku menganggur. Orang tuaku juga masih bisa mencukupi kebutuhanku," jawabku dengan suara pelan tanda bahwa aku merasa sangat sedih dengan diriku sendiri.
Tiana menghela napas, menoleh dengan gerakan malas. "Aku tahu soal itu. Tapi sama aja, kamu kelihatan tidak berguna."
Aku menghela napas pelan. Tidak berguna. Beban keluarga.
"Hei dia membalas lagi!" seru Kueny memecahkan suasana sedih.
"Apa katanya?" Tiana penasaran.
"Kamu orang mana?" Tiana dan Kueny saling mendekat. Aku hanya bisa memerhatikan mereka berdua.
Kueny lantas mengetikan sesuatu menjawab sesuai kenyataan. Jakarta Selatan dan pria itu membalas dengan cepat tinggal di Bekasi.
"Itu kayaknya jauh sekali."
"Tidak. Hanya sekitar 46 km atau 39 sampai 1 jam perjalanan menggunakan mobil. Nanti kalau sudah dekat secara personal saranku kalian langsung ketemu saja."
"Ketemuan?!" seruku pada Tiana melotot ke arahnya.
Bukan hanya Tiana tapi juga Kueny menatapku aneh.
"Kenapa? Kamu tidak mau? Kalau begitu tidak perlu balas pesan Pitter lagi," kesal Kueny. Dia seolah sudah muak dengan sikapku.
Aku menggosok kepalaku dengan agresif. "Bukan tidak mau. Tapi, kalian tahu sendiri aku takut kalau ketemu sama lawan jenis," jelasku kemudian menggigit kecil bibir bawah.
"Astaga Narnia," ucap Kueny frustasi, "Kamu itu semuanya ditakuti. Kuliah takut, kerja takut, menikah takut, ketemu sama lawan jenis juga takut." Kueny menggeleng beberapa kali.
"Nih, dia langsung mengajak ketemuan. Pitter bilang supaya kalian berdua lebih dekat karena berkenalan di media sosial itu membuang-buang waktu. Sudah terima saja tawarannya," bujuk Tiana memberiku tatapan intimidasi.
Aku masih menggigit bibirku. Melirik mereka secara bergantian. Memainkan sprei bermotif kotak-kotak hijau putih itu dengan nyaman. Dalam hati bertanya-tanya kenapa mereka sangat berani bertemu dengan orang baru yang mana itu adalah lawan jenis mereka?
Tanganku terasa semakin dingin. Isi kepalaku sedang berunding mana yang harus kupilih dengan pemandangan tatapan Tiana dan Kueny yang tak beralih dariku.
Kalau aku tolak, semakin kecil dan jauh peluangku mendapatkan pasangan sementara kalau aku terima itu artinya aku harus siap membuka lembaran baru dari diriku.
"Begini saja. Kalau kamu takut, aku akan menemanimu," tawar Kueny terlihat serius.
"Serius?!" sahutku antusias. "Kalau ada teman aku tidak akan takut."
Kueny mengangguk.
"Sudah atur saja waktunya. Siapa tahu dia memang jodohmu. Kita tidak pernah tahu jodoh kita siapa dan dari mana asalnya. Kalau yang dekat tidak ada maka jauh boleh 'kan?"
Aku tidak menanggapi kata-kata Tiana. Kueny menyenggol bahu perempuan itu dan mereka berdua terkikik geli. Entah siapa yang ditertawakan.
???
Kueny dan Tiana pulang sebelum matahari tenggelam karena tugas kuliah mereka menumpuk.
Langit sudah gelap. Tubuhku sudah lebih baik dari sebelumnya. Rasa pegal dan perih sesekali masih datang. Tapi, itu semua berangsur membaik kala Ibuku membawakan semangkuk bubur kacang hijau buatannya.
Kadang-kadang aku ingin sakit setiap hari. Ibuku tidak mengomel soal aku yang tak berpenghasilan atau soal pasangan kalau aku sakit dan berdiam diri di kamar dengan nuansa hijau mint dan abu-abu pucat.
Melakukan kegiatan yang sama setiap harinya aku sudah berada di depan meja kerja bewarna hijau mint sembari menghadap ke layar laptop.
Ada ide atau tidak aku selalu berusaha melanjutkan tulisanku.
Akhir-akhir ini, aku fokus mencari penerbit yang mau menerima tulisan sederhanaku ini. Entahlah, aku bisa mewujudkan salah satu mimpiku ini atau tidak. Setidaknya agar bisa membungkam mulut Kak Nirna dan pandangan negatif orang-orang tentangku.
Ruangan ini sebenarnya punya penerangan yang banyak. Tapi, aku lebih suka remang-remang agar aku lebih fokus.
Tapi, tiba-tiba fokusku hilang karena bunyi getaran di atas meja. Tepat di sebelah laptop.
Satu-satunya hal yang mengganggu kerjaku adalah ponsel. Kalau saja aku punya keberanian untuk membuang benda ini.
Sambil menggerang pelan, aku meraih ponsel itu dan mengecek siapa yang mengirim pesan sampai bertubi-tubi.
"ASTAGA?!" seruku. Hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Terlalu terkejut aku sampai berdiri dan melangkah mundur. Hampir saja terjungkal kalau kursi kayu bewarna abu-abu ini tidak kuat.
Hal yang mengejutkanku adalah beberapa pesan masuk memenuhi room chat. Hampir belasan jumlahnya dan itu semua berasal dari laki-laki.
Aku sampai mendekatkan wajahku ke layar ponsel untuk memastikan. Menggulir layar berulang kali. Aku terduduk dengan mulut menganga dan tatapan kosong ke depan.
"The power of foto feminim," kataku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tapi, aku justru kebingungan. Menatap lampu belajar di atas meja tanpa henti sembari memikirkan kalimat apa yang terkesan santai tapi tidak terlalu agresif untuk membalas kelanjutan pertanyaan mereka semua setelah kata "Hai?".
Aku mengetuk jari ke pinggiran meja sembari menggigit ujung ibu jari tangan. Beberapa sudah ada yang membalas beberapa lagi sedang mengetik.
Karena aku kebingungan disertai napas yang ngos-ngosan padahal sedang tidak lari. Segera mengirim Kueny pesan untuk menanyakan apa yang sebaiknya aku balaskan.
Tidak lama kemudian, Kueny memberiku saran agar aku bersikap biasa saja. Tapi, aku bahkan tidak tahu bagaimana sikap biasa saja?
Semua sudah kubalas. Ketika ada yang bertanya aku sedang apa aku hanya mengatakan bahwa aku sedang duduk. Lalu, ada yang bertanya soal usia, status sosial dan pendidikanku. Keningku mengernyit, orang itu bukan seperti ingin kenalan melainkan Sensus penduduk.
Dari banyaknya pesan ada salah satu pesan dari Pitter.
[Apa kamu sibuk malam ini?]
Aku menjawab dengan cepat.
[Tidak. Cuma duduk saja.]
Kueny bilang aku harus terlihat punya banyak waktu untuk mereka.
[Boleh menelfon atau mungkin VC. Supaya aku tidak salah orang nanti?]
Mataku melotot.
Apa katanya?!
Menelfon? VC?!
Segera kujauhkan ponsel itu dariku dan fokus ke laptop lagi. Aku tidak pernah menelfon atau bahkan melakukan panggilan vidio dengan lawan jenis sebelumnya. Kecuali sangat mendesak!
"Ada-ada saja!" gerutuku sembari berusaha fokus pada layar laptop.
Tiba-tiba ponselku berdering. Bersamaan dengan perasaan was-was aku menolehkan kepalaku ke benda tersebut.
"What?!!"
Pitter benar-benar mengajak-ku melakukan panggilan vidio!