EPS 7. Mini Dress

775 Kata
Entah sudah berapa kali aku mengecek jam tangan putih di lengan kiriku. Kurang dari 10 jam lagi pertemuanku dan Pitter akan berlangsung. Isi perutku terasa seperti diobok-obok padahal aku tidak akan bertemu dengan orang penting sekali atau akan melalukan presentasi di depan kelas. Terlalu bersemangat tapi juga penuh ketakutan. Aku seperti dipeluk oleh sosok besar tapi ini berupa bayang-bayang ketakutan. Seharian aku merasa tak nyaman melakukan apapun. Karenanya aku terpaksa berhenti melanjutkan tulisanku. Tidak fokus adalah masalah utamanya. Aku berdiri di depan lemari kosong dengan tatapan hampir tak percaya. Rambutku disinari oleh cahaya matahari yang menyelinap dari celah jendela juga menyerap ke tirai putih tipis. "Kamu sedang apa?" tanya sosok wanita yang baru saja masuk ke kamarku. Ibuku langsung menatap ke arah ranjang. Mulutnya sempat menganga lebar, kemudian menatapku dan beralih ke atas ranjang lagi dengan gelengan kepala beberapa kali. "Kamu mau pindahan kemana?! Kenapa satu lemari dikeluarkan semuanya?" tanyanya lantas mendekat ke tepi ranjang. Sprei bewarna putih sudah tertutup oleh puluhan pakaian. Aku menghela napas kemudian ikut dudut di sebelahnya hendak melapor. Persis seperti anak kecil yang melapor ke orang tuanya karena sudah diganggu oleh anak lainnya. "Kenapa aku baru sadar kalau pakaianku hampir celana dan kaos semua? Kenapa aku tidak punya gaun atau rok walau cuma satu saja?" Aku mendesah dan menatap perempuan yang juga menatapku. Akhirnya Ibuku menghela napas lega karena aku tidak akan pindah kemana-mana. Setidaknya, hal ini membuatku tahu bahwa Ibu tidak akan pernah membiarkanku pergi dari rumah atau bahkan aku tidak akan pernah diusir olehnya. "Akhirnya kamu sadar juga," katanya, kemudian terkekeh. Aku tahu kenapa Ibu tertawa. Dia pasti senang akhirnya mendapatiku menyesali pilihanku sendiri. Jujur, aku kerap keras kepala atas pilihanku. Sulit rasanya menerima saran orang lain walaupun kadang-kadang aku membutuhkannya. Aku tahu itu agak buruk, tapi bagiku lebih baik menyesali sesuatu yang mana itu adalah keputusan yang kita buat sendiri daripada atas keputusan orang lain. Aku menyesal tak membeli rok dan gaun tapi penyesalanku tidak banyak karena itu pilihanku sendiri. "Itulah mengapa Ibu selalu menegurmu membeli celana terus menerus. Memangnya kamu mau kemana sampai pakai dress segala?" Ibuku melipat satu persatu pakaian di atas ranjang. Aku terdiam sambil memperhatikan gerakan tangannya yang cekatan. Kemudian aku menyadari sesuatu. Bukankah hari ini adalah kesempatan yang pas? Maksudku pertemuanku dengan Pitter bisa menjadi sesuatu yang dapat kupamerkan pada Ibuku dengan gaya elegan? "Supaya kelihatan lebih feminim aja, Bu. Soalnya aku ada pertemuan sama salah satu teman dari Bekasi," jelasku dengan nada suara biasa saja. Kubantu Ibu melipat seluruh pakaianku. "Teman? Kamu punya teman dari Bekasi?" Keningnya mengerut mungkin karena sadar bahwa aku tidak seperti anak yang punya banyak teman. "Sesama penulis juga atau apa?" Kurasa, dia mulai tertarik dengan obrolan ini. Ada dua kemungkinan. Dia tertarik karena aku pada akhirnya punya teman selain Kueny dan Tiana. Kedua, dia mungkin penasaran siapa teman itu. "Barusan kenal sih, Bu. Tapi, dia bukan penulis." Aku memasukan setumpuk demi setumpuk pakaian yang sudah kami lipat ke dalam lemari. "Perempuan?" tanya Ibuku sambil menyelesaikan lipatan terakhir. Nada suaranya sudah terdengar penuh kecurigaan dan raut wajahnya terlihat tak senang. Aku berdiri di depannya sambil menggeleng. "Bukan Bu. Kebetulan aku kenal salah satu cowok dari Bekasi. Kami kenalan lewat media sosial dan kebetulan dia juga ada urusan di Jakarta Selatan akhirnya kami memutuskan untuk ketemu." "Kamu bercanda atau tidak?" Suaranya terdengar seperti Abang tukang bakso yang tiba-tiba mendapat pesanan 100 mangkok oleh salah satu konten creator. "Kalau Ibu tidak percaya juga tidak apa-apa," jawabku biasa saja agar aku tidak terlihat antusias atau terlihat memang ingin memamerkan ini padanya. "Kalau begitu Ibu pinjamkan dress Kak Nirna ya?" Dia mulai percaya dan bersemangat untuk mendandaniku. "Supaya kamu terlihat sedikit feminim. Takutnya orang yang akan kamu temui malah ilfeel kalau lihat penampilan kamu seperti laki-laki." Aku baru akan membuka mulut untuk berkomentar. Ibu sudah akan berlari keluar kamar. "Lagi pula, ini cuma pertemuan biasa saja Bu. Tidak ada yang spesial. Kenalan biasa saja!" jelasku sebelum dia berharap lebih. Tiba-tiba, ketakutanku semakin bertambah besar. Bagaimana jika pertemuanku dengan Pitter adalah sesuatu yang tidak akan berhasil. "Setidaknya laki-laki itu punya penilaian bagus dipertemuan kalian yang pertama kalinya." Ibuku beranjak, berdiri di ambang pintu. "Dengarkan kata-kata Ibu." Dia mengangkat jari telunjuknya. Aku terdiam kemudian mengangguk. Kenapa tidak kepikiran sejak tadi? Ibu keluar dari kamarku. Tidak sampai 20 menit Ibu kembali sembari membawa dua mini dress dengan warna berbeda. "Mau ketemu sendirian?" Ibuku menyerahkan dua dress itu padaku. Lebih tepatnya mencocokan satu persatu dress itu ke badanku. Aku menggeleng. "Ditemani Kueny." Setelah kulihat dua pakaian itu aku lebih suka memakai celana dan koas saja. Tapi, mau bagaimana lagi aku harus terlihat sedikit lebih feminim. Aku takut pertemuan pertamaku nanti justru akan membuatku trauma berkepanjangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN