Ketika aku bangun sudah ada di ranjang dengan selimut yang terpasang rapih, aku mulai sadar bahwa Prince tidak seburuk yang aku bayangkan. Langit-langit kamar yang kemarin terbuka ketika dia datang juga sudah di rapihkan lagi yang artinya dia keluar dari sana semalam. Bukan hanya itu saja, laptopku juga sudah di rapihkan di meja dengan Memo dan sebuah permen Strawaberry.
“Semangat yah Princess Wendy, jika Regarta jahat inget bahwa ada Prince yang baik hati. Kamu selalu punya aku, pangeran kamu yang tampan.” Ucapnya dalam Memo yang reflek aku cibir dengan kata Narsis tapi senyumku terukir sempurna. Entah kenapa kehadiran laki-laki misterius itu, mulai membuatku terhibur. Sebab dia menepati janjinya untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak aku sukai jika aku menurut. Dan entah kenapa hatiku seperti merasa bahwa dia tidak jahat.
“Tumben pagi-pagi udah happy banget? Ada apa nih?” Ledek Daddy membuatku tersenyum simpul. Daddy memang pulang lebih awal dari yang di rencanakan. Karena itu pagi ini aku ada yang mengantar dan tidak perlu naik taksi lagi.
“Apa sih, nggak ada.” Aku terkekeh geli. Kamu kemudian melanjutkan sarapan pagi setelah menyelesaikan perbincangan menyenangkan yang selalu terjadi setiap pagi. Mungkin kisah cintaku tidak semanis kisah cinta orang lain, tapi aku bersyukur karena memiliki keluarga yang luar biasa menyenangkan. Daddy dan Mom yang tidak pernah lelah membuat aku bahagia, dan mereka yang selalu mendukung apapun yang aku lakukan selagi itu baik.
“Wendy!” panggil Daddy saat aku sudah siap di bangku penumpang mobilnya.
“Iya Dad?”
“Daddy sudah tahu kalau Regarta sudah punya pacar. Dan kemarin Daddy lihat kamu di antar pulang cowok kan?” tanyanya membuatku berdebar. Sejujurnya memang aku sempat membuat perjanjian dengan Daddy bahwa aku baru boleh pacaran ketika lulus kuliah nanti.
“Iya Dad, itu Rama. Inget nggak Dad, dulu aku ikut Olimpiade?”
“Iya Daddy inget.”
“Nah Rama itu yang dari sekolah Internasional itu loh Dad. Yang temenan sama Wendy. Kebetulan Rama satu ka pus juga sama Wendy.”
“Ohh yang dulu pakai kaca mata itu?”
“Iya Dad. Kebetulan Rama minta tolong Wendy buat bantuin dia nyari hadiah jadinya Wendy sekalian pulang bareng. Rumahnya juga searah dan nggak jauh dari sini Dad.” Ungkapku. Daddy terlihat menggut-manggut.
“Tapi kamu nggak ada niatan buat deket sama Rama kan sayang? Jangan mendekati laki-laki lain sebagai obat patah hati kamu. Bukan sembuh yang akan kamu dapatkan tapi luka baru.” Ucap Daddy. Aku mengerti kekhawatirannya.
“Enggak Dad. Wendy belum mau mikirin cinta-cintaan dulu Dad. Sementara Wendy mau fokus kuliah aja.” Balasku membuat Daddy tersenyum puas.
“Good girl.” Ucapnya sambil mengelus kepalaku sayang. Aku terkekeh.
Sesampainya di kampus, kebetulan Rama juga tepat berada di gerbang kampus. Laki-laki itu menghampiri aku kemudian menyalami Daddy dengan sopan. “Apa kabar om.” Sapanya sopan.
“Baik, kamu makin ganteng aja.” Ucap Daddy dengan senyuman lebar. Rama terkekeh.
“Om bisa aja.”
“Om titip Wendy yah.” Daddy tersenyum kemudian berpamitan. Rama tersenyum sopan dan setelah itu kami berbalik hendak masuk kampus tapi di dekat pintu masuk sudah ada Regarta dan teman-temannya yang menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Tapi kemana Anggun? Biasanya dia sudah menempel seperti ulat bulu.
Aku tidak peduli lagi, aku melewatinya begitu saja sambil asyik berbincang dengan Rama.
“Sombong banget? Gue nggak kelihatan yah?” Ucap Regarta mencari perhatian seperti biasa. Dia yang selalu mencari perhatian tapi aku yang selalu di hujat dan di katai menggoda pacar orang.
“Nanti kalau gue nyapa, fans lo dan fans pacar lo marah sama gue. Mereka kan ganas.” Balasku kemudian kembali mengalihkan pandangan darinya. Aku bisa mendengar Regarta mendesah.
Sebenarnya aku sendiri tidak mau hubungan kami seburuk ini setelah dia memiliki pacar. Seandainya pacarnya bukan Anggun yang sudah sejak lama membenciku, mungkin aku masih bisa bersikap dewasa di depannya. Tapi karena pacar Regarta adalah Anggun dan dia memiliki teman-teman menyebalkan, aku enggan kembali akrab dengan Regarta. Aku yang akan kesulitan jika aku memaksakan diri masih akrab dengan Regarta. Sebenarnya keadaan ini cukup bagus, aku mungkin akan lebih mudah melupakannya jika kami menjauh seperti sekarang, sekalipun hatiku sakit.
“Lo yakin nggak papa kaya gini sama Regarta Wen? Rumah lo sama dia deketan dan orang tua lo sama dia juga deket kan?” Rama bertanya. Aku kemudian mendesah.
“Gue serba salah Ram, lo tahu sendiri kan kaya gimana pacarnya? Kalau gue baik-baik sama Regarta, gue yang di serang sama pacarnya dan temen-temennya itu. Makanya gue mau cari aman aja deh. Lagian kan lebih bagus juga kaya gini, jadi gue bisa lupa sama dia. Nanti kalau gue udah bisa lupa juga kami kemungkinan bisa biasa lagi.” Jawabku. Rama mengangguk-angguk.
“Iya juga sih, lo rugi juga yah kalau nggak kaya gini.” Ucapnya dan aku mengangguk setuju.
“Lo lihat sendiri kan kemarin, gimana menyebalkannya Anggun.” Aku kembali mendesah dan menghentikkan langkahku melihatnya ada di depan kelasku bersama teman-temannya. Rama ikut menghentikkan langkahnya.
“Gue mau bicara sama lo.” Ucapnya sesuai dugaanku. Dia memang menungguku di depan kelas. Pantas saja dia tidak ada di samping Regarta tadi.
“Gue nggak mau.” Jawabku tegas.
“Tapikita harus bicara supaya semuanya jelas.” Ucapnya sedikit memaksa kemudian meraih tanganku dan hendak menarikku mengikutinya tapi aku tahan.
“Dia bilang nggak mau! Lo budeg?” ucap Rama mencekal tangannya yang menarik tanganku. Anggun mendesah kesal.
“Lo nggak usah ikut campur! Lo nggak tahu apa-apa.”
“Tapi yang lo tarik ini temen gue! Kalau lo mau gue nggak ikut campur jangan ganggu temen gue!” geram Rama marah. Aku berusaha terus melepaskan cekalan Anggun karena tanganku sakit tapi tidak bisa.
“Anggun!” Teriakan Regarta seketika melepaskan cekalan Anggun di tanganku. “Sudah berapa kali aku bilang jangan mengganggunya?” Regarta terlihat marah. Aku melihat matanya terlihat menatap tanganku yang memerah dan sedang aku gosok dengan telapak tangan untuk mengurangi sakitnya.
“Aku Cuma mau bicara baik-baik sama dia, aku rasa aku perlu membicarakan masalah kita yang selalu melibatkan dia.” Jawab Anggun terlihat marah. Aku rasa, mereka berdua kemungkinan habis bertengkar atau semacamnya.
“Bukan aku yang selalu melibatkan dia, tapi kamu yang selalu bawa-bawa dia buat mencari kesalahan aku kan?” jawab Regarta. “Aku sama Wendy sudah temenan dari bayi, orang tua kita deket. Kamu tahu itu kan karena kamu mantan sahabat Wendy. Tapi tiap hari kamu minta aku terus-terusan buat nggak kenal Wendy lagi. Aku nggak bisa!” tambah Regarta marah. Aku mulai paham alurnya.
“Aku tidak mau di libatkan dalam masalah kalian! Tolong kalian selesaikan masalah kalian sendiri dan berhenti melibatkanku. Aku dan Regarta kami hanya teman, hanya sebatas itu saja.” Ucapku sambil mengangkat kedua tanganku menyerah. Aku seperti ikut di masukan ke dalam lubang api yang sama seperti yang sedang pasangan ini masuki.
“Gue Cuma minta lo jangan deket-deket Regarta lagi.” Anggun nyaris berteriak.
“Anggun!” Regarta lebih berteriak.
“Kapan gue deket sama Regarta hah? Gue nggak pernah deket-deket Regarta. Imajinasi lo itu tolong di kendalikan. Jangan lo pikir semua orang sama kaya lo. Tukang ngerebut milik orang. Gue nggak kaya gitu.” Jawabku kesal. Rama terlihat tersenyum bangga dengan reaksiku.
Teman-teman Anggun tidak terima dengan ucapanku dan mereka hendak menyerangku dengan kata-kata tapi langsung di balas oleh Davena dan Oliver dengan meminta mereka dengan tegas agar tidak ikut campur.
“Kalau gitu, kita selesai. Gue nggak bisa terus-terusan sama orang yang selalu berprasangka buruk sama gue.” Ucap Regarta kemudian berbalik meninggalkan Anggun yang terlihat kaget. Anggun segera mengejar laki-laki itu yang terlihat sangat marah. Di sekitar kami banyak orang-orang yang menyaksikan. Jika seperti ini maka namaku yang akan buruk lagi. Aku akan di cap sebagai penyebab putusnya pasangan hits kampus ini. Dan lagi-lagi, aku yang di rugikan karena mereka yang membuat masalah. Aku tahu pasti alur Anggun, tuijuannya memang seperti ini. Menyebalkan sekali bukan? Rasanya aku ingin menangis sekarang juga.
***