BAB 7. Kembali Terulang.

1453 Kata
Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan Anggun yang menurutku terlalu terobsesi denganku. Karena itu aku akan mencari cara lain mendekati kakaknya. “Udah gue bilang kan sama lo, deketin Anggun bukannya bikin lo dapet info malah nambah masalah kan?” Ucap Oliver. Saat ini kami sudah berada di dalam mobil. Kelas kami sudah selesai dan kami sedang menunggu Davena membeli es krim di kafe dekat kampus. Aku diam berusaha berpikir ketika mataku tiba-tiba saja melihat Wendy sedang berdiri di pinggir jalan hendak menyerbrang. Di sampingnya ada Rama. Aku mendesah cemburu dengan kedekatan keduanya sementara aku tidak bisa mendekat lebih dari teman yang asing. “Kata gue juga nggak usah deketin Anggun Ga. Maksud lo bukan Cuma nyari info kan? Mau bikin Wendy cemburu tapi lo kebakaran sendiri akhirnya.” Dario ikut berbicara. Menyalahkanku yang sedang terluka ini. Tapi kemudian kami bertiga mematung kaget dan langsung lari keluar dari mobil melihat Wendy nyaris di tabrak motor. Untung di tarik oleh Rama dan keduanya terjatuh. Orang-orang langsung mengerubunginya dan aku langsung menerobos kerumunan itu dan mendekati Wendy khawatir. “Kamu nggak papa kan?” tanyaku dengan napas memburu. Kakinya berdarah dan dia menangis, sepertinya bekas kakinya yang patah dulu terluka lagi dalamnya. “Ol, bawa mobil ke sini!” Teriakku dan Olliver langsung berlari ke mobilnya sementara Dario membantu Rama yang juga terluka. Kami langsung membawa mereka ke Rumah Sakit. Wendy sedang di tangani sementara Rama tidak terlalu parah sehingga dia sudah selesai di tangani. “Dia sengaja Ga, gue sama Wendy masih di pinggir.” Ucap Rama dan aku masih diam dengan kesal. “Sudah saya bilang, jangan mendekati Wendy bukan?” Sebuah pesan masuk ke ponselku dan aku mendesah marah. “Lihat wajahnya nggak?” tanyaku menanggapi Rama. “Motor aja nggak ada platnya Ga, dia pakai penutup wajah dan helm full. Kayaknya dia emang sengaja dan udah persiapan.” Jawab Rama sesuai dugaanku. Ini yang membuatku kesulitan melacaknya. Dia selalu menggunakan nomor berbeda-beda yang herannya selalu tahu nomorku. Motornya juga tidak bisa di lacak karena selalu motor curian. Dan aku lihat sekilas tadi, perawakannya berbeda dengan saudara Anggun yang dulu menabrak Wendy saat gadis itu masih SMA. Kemungkinan dia adalah orang yang berbeda. Kaki Wendy terkilir cukup parah dan membuatnya tidak bisa jalan sementara. Dan aku mulai menyalahkan diriku sendiri karena pagi tadi aku membelanya di depan Anggun dan di saksikan banyak orang yang kemungkinan adalah mata-mata si penjahat itu. Daddy dan Mommy datang dengan wajah khawatir. Sementara aku masih diam saja. Tidak tahu apa yang seharusnya aku katakan. Dario merangkulku terasa sepertyi menguatkan. Kami kemudian pulang masing-masing dan sepanjang perjalanan aku terus diam. “Ga ini bukan salah lo, emang b******k aja itu penjahat.” Ucap Oliver memberiku semangat tapi aku tetap diam sambil tatapan menerawang ke luar jendela. Merutuki keidak mampuanku mengungkap masalah ini padahal sudah bertahun-tahun lamanya. Aku merasa banyak sekali keterbatasan yang masih aku miliki sementara orang-orang itu, terutama anggota geng motor saudara Anggun itu sangat berbahaya dan ditakuti banyak orang. Aku tidak memiliki cara untuk masuk dan mencari informasi di sana. Mereka sangat tertutup dan sulit di dekati hingga membuat kepalaku ingin meledak rasanya. Di anatara keputus asaan itulah aku mengambil keputusan untuk lebih dekat dengan Anggun siapa tahu dia bisa membantuku memberi informasi. Nyatanya aku malah mendapatkan masalah baru yang membuatku kesal. “Gue kesel banget sih, kita pernah coba laporin masalah ini kempolisi kan? Tapi nggak ada bukti akurat dan bukti pengancamanpun kurang kuat karena sekarang semua orang bisa saja mengirim pesan iseng.” Dario ikut berkomentar. “Gue lelah gaes, gue mau tidur dulu sampai besok. Sorry kalau gue nggak balas seandainya lo semua chat. Jangan lupa jemput Davena di toko es krim, dia pasti kebingungan di tinggal kita.” Pamitku kemudian masuk ke dalam rumah. Oliver dan Dario terlihat sedih melihatku seperti ingin menyerah sekarang. Jujur saja aku sudah lelah sekali. “Wendy kecelakaan yah mas?” tanya Chiko tiba-tiba saja masuk ke kamarku. “Mbak Wendy! Berapa kali mas bilang pakai mbak!” omelku dan Chiko meringis. “Jadi mbak Wendy nggak papa kan mas?” tanyanya lagi. “Kakinya kekilir dan lumayan bengkak. Jadi sementara nggak bisa jalan.” Jawabku tanpa menoleh. Mataku sudah memanas. Aku merasa bersalah jujur saja. “Gara-gara itu lagi mas?” tanya Chiko lirih dan aku mengangguk. Mengganti bajuku dengan baju santai kemudian merebahkan diriku di kasur. Aku bisa merasakan kasurku bergerak sedikit. “Aku minta maaf nggak bisa bantu banyak yah mas, mereka terlalu berhati-hati jadi nggak ada yang bisa aku lacak.” Tambah Chiko lagi. Aku membalik badanku kemudian tersenyum pada Chiko. Adikku ini sedang mengkhawatirkan aku. Sekalipun setiap hari kami berdua lebih sering bertengkar di banding akur, tapi aku tahu Chiko menyayangiku. “Nggak papa, kamu udah bantu banyak kok selama ini. Mas belum nemu celah masalah ini aja makanya kelihatannya kaya stuck di tengah jalan dan nggak bisa bergerak. Tapi Tuhan nggak tidur, kita berdua tahu kan? Kita hanya harus bersabar nanti juga akan ada petunjuk kok.” Ucapku menenangkan dan Chiko mengangguk. “Iya, mas Rega nggak usah terlalu mikirin. Aku keluar dulu yah mas.” Pamit Chiko sambil meletakkan sebotol jus jeruk di nakas tanpa mengatakan apapun. Membuatku tersenyum geli. Cara Chiko perhatian kadang memang menggemaskan. *** Malam harinya ketika aku masuk ke kamar, Wendy tidak ada. Aku duduk di kasur dengan waspada. Apa mungkin dia tidur dengan Mommynya? Ketika mendengar ada suara, aku segera masuk ke kamar mandi. Aku mendengar percakapan antara Mommy Desti dan Wendy sambil berharap Mommy tidak melihat pintu di langit-langit kamar Wendy terbuka. Untungnya Mommy segera keluar dari kamar dan membiarkan Wendy istirahat. Aku kemudian keluar dan Wendy terlihat tiodak kaget. Sepertinya dia sudah tahu aku sudah datang. “Kenapa kakinya?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Wendy mendesah. “Kecelakaan, ada yang sengaja mau celakain aku kayaknya. Soalnya aku masih di pinggir dan motor itu di tengah tiba-tiba malah minggir kaya sengaja gitu.” Adunya dengan mimik wajah kesal. Aku berjongkok di hadapannya dan melihat kakinya dalam jarak yang dekat. Bengkaknya lumayan membuatku ingin menangis karena rasa bersalah. “Sakit yah?” tanyaku dan dia mengangguk. Tapi kemudian tersenyum. “Tapi nggak papa soalnya aku jadi di gendong Regarta.” Kekehnya. Aku diam sesaat melihat wajah bahagianya hanya karena aku menggendongnya. Padahal dia terluka dan kesakitan bahkan sampai tidak bisa berjalan untuk sementara. Tapi poin yang dia soroti justru ketika aku menggendongnya ke mobil untuk membawanya ke Rumah Sakit. Aku sungguh ingin menangis karena kesal, marah, merasa bersalah dan banyak perasaan lain. Wendy sebahagia ini dekat denganku tapi aku tidak bisa mendekatinya. Ini adalah murni kesalahanku karena aku lemah dan tidak bisa menyelasaikan masalah ini padahal sudah berlangsung cukup lama. Sejak kami masih duduk di bangku SMA. “Seseneng itu di gendong Regarta?” tanyaku dengan nada mengejek. Wendy tertawa ringan sambil mengangguk. “Dia wangi aku suka, terus dari jarak dekat dia ganteng banget, di tambah lagi dia kelihatan khawatir aku terluka. Perhatian sekecil dia tahu sepatuku basah saja sudah membuat aku bahagia banget. Apalagi sampai membuat dia terlihat begitu khawatir kaya tadi. Seneng banget di perhatiin sama dia.” Ungkap Wendy lagi semakin membuat mataku memanas. “Aku bodoh yah, karena udah tahu dia nggak anggap aku lebih dari teman tapi masih aja ngarepin hal lebih dari teman.” Bisiknya lirih. Matanya terlihat memerah. Mengirimkan perasaan sakit ke hatiku. “Nggak bodoh, melupakan seseorang kan nggak mudah. Aku aja udah tahu kamu sukanya sama Regarta tapi tiap malam terus datang buat ngobrol sama kamu dan mengharapkan lebih dari teman kan?” balasku. Wendy terdiam sesaat kemudian menatapku dengan espresi yang terlihat merasa bersalah. “Maaf yah Prince kalau aku nyakitin kamu.” Ucapnya tulus. Aku tertawa ringan. “Saat jatuh cinta, kita sudah harus siap dengan sakit hati. Karena hanya ada dua pilihan dalam jatuh cinta. Terluka atau bahagia.” “Mungkin kalau kamu lebih berusaha membuka dirimu padaku, misal mempersilahkan aku melihat wajah kamu. Aku akan memikirkan ulang tentang perasaanmu.” Ucap Wendy kembali membuatku terkekeh. “Aku belum siap, nanti suatu hari, saat tidak ada lagi hal yang perlu aku takutkan, aku akan membuka topeng ini di depan kamu.” “Aku menantikannya.” Bisik Wendy pelan. Sambil tersenyum manis. Jenis senyum indah yang selalu ingin aku lindungi. Jenis senyum yang akan membuat siapa saja terpikat pada pandangan pertama. “Seandainya aku bukan orang yang sesuai dengan harapnmu apa kamu akan kecewa?” tanyaku setelah duduk di sampingnya. Sambil menatap wajah cantiknya dari samping. “Kenapa aku harus kecewa? Kecewa itu kalau aku menaruh harapan tinggi sama kamu. Aku tidak seperti itu. Seperti apapun bentuk kamu aku tidak akan kecewa.” Balasnya. Dan aku berharap Wendy benar-benar tidak akan kecewa saat tahu bahwa aku adalah Regarta. Laki-laki yang di cintainya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN