BAB 9. Orang Baru Dalam Mimpi

1957 Kata
Pagi ini kuliah libur. Itu bagus karena aku ingin mendinginkan kepalaku dan meminta pendapat Chiko. Adikku ini sekalipun sering aku kerjai, tapi otaknya cemerlang. Banyak masalahku yang selesai di bantu olehnya. Karena itu pagi-pagi setelah sarapan, aku sudah mengganggunya di kamarnya. Padahal dia terlihat sedang mengerjakan tugasnya. Jangan tanya kemana ayah dan bunda jika liburan seperti ini. Sudah pasti mereka akan jalan-jalan romantis ke suatu tempat dan anak-anaknya tidak boleh ikut. “Chik gimana? Yang tadi aku ceritain itu.” Ucapku sambil menggoyangkan tubuhnya membuatnya kesal. “Mas Rega bukannya udah pacaran sama mbak Anggun dari SMA yah? Masa sih selama itu nggak dapat apapun?” sungutnya kesal. Aku tertawa geli. Aku memang bercerita bahwa aku sudah pacaran dengan Anggun saat masih sekolah menengah pada Wendy, saat itu Chiko mendengarnya. Aku suka saat dia mengataiku dan membuat kami bertengkar. Karena itu aku membiarkan dia mengetahui informasi yang salah. Wendy sendiri akhirnya tahu aku berbohong karena Davena membocorkannya. Tapi ketika aku benar-benar jadian dengan Anggun belakangan ini Wendy terlihat lebih percaya karena dia melihat kami jadian langsung sehingga dia tidak menanyai Davena. “Aku bohong itu, aku baru jadian belum lam sih.” Kekehku dan wajah Chiko tampak kesal. “Malas ah mas Rega juga nggak jujur sama aku.” Sungutnya kembali fokus pada tugasnya. “Kamu yakin tega liat mas Rega menderita terus-terusan?” “setahun yang udah mas lewati di kampus itu ngapain aja, masa nggak dapet apapun sih? Padahal udah tahu kan orangnya di kampus.” “Kamu nggak lihat setahun pertama di kampus mas keteteran banget sama jadwal dan banyak banget yang mesti mas kerjaan soal kuliah.” Balasku tidak bohong. Salah satu alasan kenapa masalah ini berlarut-larut adalah karena kesibukanku setahun belakangan ini yang tidak bisa di ganggu gugat. Oliver dan yang lain juga sibuk sekali, apalagi Oliver mulai belajar bekerja di kantor ayahnya sebagai bentuk perjanjian dengan om Dante agar Oli bisa mendapatkan mobil kesayangannya yang sering dia pakai ke kampus itu. Aku tidak mungkin memaksa teman-temanku untuk terlibat dalam masalahku sementara mereka juga keteteran masalah waktu. “Menurut aku kalau kita pakai cara lama agak sulit deh mas. Soalnya mereka sangat hati-hati.” Ucap Chiko mulai serius. “Mereka bukan orang-orang sembarangan menurut mas.” Aku berpendapat “Iya, mereka bahkan tidak pernah terlihat berkumpul bersama-sama. Jadi sulit juga mau meretas Cctv dan menguping obrolan mereka.” “Entah kenapa aku seperti merasa mereka sangat tahu pergerakanku, sangat memahami alur kita menyelesaikan masalah.” Balasku mengungkapkan kecurigaanku. Chiko mengangguk setuju. “Ada orang yang mas curigai?” tanya Chiko. “Ayah.” Balasku tanpa beban. Siapa yang paling hapal pergerakanku tentu ayahku. “Tapi Ayah nggak mungkin sampai tega mencelakai Wendy. Karena itu mas pusing.” Tambahku. “Iya, aku juga sempat curiga sama ayah, tapi ayah nggak mungkin sampai melukai Wendy. Tapi mas udah pernah cerita masalah ini sama Ayah?” “Belum, lagi mencari alasan yang tepat buat cerita. Soalnya ayah kelihatannya cuek.” Desahku. “Iya sih sulit juga menjelaskan masalah ini. Mas pernah lapor polisi aja nggak guna kan.” Ucap Chiko ikut berpikir. Kami menjadi diam dan berpikir, mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang memuakkan ini. Hingga tanpa sadar aku mengantuk lalu tertidur dan baru bangun siang hari. Ketika aku bangun, Chiko juga tidur di sebelahku. Aku menyalakan Ac di kamar karena adikku terlihat berkeringat, kemudian diam-diam keluar dari kamarnya yang selalu rapih itu. Sekalipun aku tak kunjung menemukan solusi, tapi bercerita dengan Chiko selalu menyenangkan. Seperti membuatku merasa lebih lega karena aku bisa membagikan bebanku padanya. Inilah alasan kenapa aku menjadi Prince dan menemui Wendy setiap malam. Aku ingin dia setidaknya memiliki teman bercerita yang membantunya mengurangi beban. “Ol, lo sibuk nggak?” tanyaku dalam chat yang langsung di balas olehnya. “Gue lagi di siksa di rumah sama ayah durhaka.” Balasnya membuatku mengulum senyum geli. “Gue ke rumah lo.” Balasku yang langsung di balas oke oleh Oliver. Aku memakai jaket hitamku kemudian memasang hodie dan masih melapisinya lagi dengan topi karena siang ini panas sekali. Tidak lupa memakai masker juga karena selain panas, siang ini juga berdebu. Apalagi aku berencana memakai motor saja karena rumahku dan Oliver sebenarnya tidak begitu jauh. Di jalan aku mampir ke sebuah minimarket untuk membeli permen buah kesukaan Wendy yang belakangan ini aku juga menyukainya. Selain itu Oli juga memintaku membelikannya beberapa cemilan. “Udah ayah bilang jangan jadi anak nakal, masih tidak mengerti juga omongan ayah selama ini?” kalimat dengan nada teriakan itu mengalihkan pandanganku yang sedang memperhatikan kasir minimarket itu menghitung nominal belanjaan milikku. Dahiku mengerut karena seseorang yang sedang di marahi itu adalah Anggun. Aku buru-buru keluar begitu membayar belanajaanku ke kasir dan melipir tanpa terlihat ke warung sebelah minimarket, untuk menguping Anggun yang masih di marahi oleh ayahnya itu. Tidak lama setelah itu, laki-laki yang selama ini aku curigai sebagai penabrak Wendy datang dengan berlari kencang dan langsung menarik Anggun ke belakang tubuhnya. “Lo jangan kasarin adik gue yah! Lo masih hidup sampai sekarang aja harusnya bersyukur!” ucapnya kasar. Anggun terlihat menangis dan entah kenapa aku seperti pernah melihat ayah Anggun. Tapi aku lupa melihatnya dimana. Karena itu aku mengambil ponselku dan memotretku. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk darinya. Pertengkaran mereka kemudian berhasil di lerai oleh satpam minimarket itu. Ayah Anggun segera menaiki angkutan umum dan pergi. Sementara Anggun masih menangis dan sedang berusaha di tenangkan oleh kakaknya itu. “Aku Cuma ambil les piano doang tapi ayah marah kak.” Isakknya. Aku memang mendengar Anggun mengikuti les piano. Salah satu instrumen kesayangan Wendy. Gadisku sangat pandai memainkannya. “Ngapain sih les piano? Kamu kan udah les ballet, belum lagi les beberapa pelajaran yang ada di mata kuliah juga.” Dengus laki-laki di hadapan Anggun yang aku tahu namanya adalah Brandon itu. Seorang mahasiwa teknik di kampusku. Tidak ada satupun yang mencurigakan tentangnya ketika aku memeriksa latar belakangnya. Dia cukup di kenal baik oleh teman-temannya, lumayan pintar dan tidak pernah membuat ulah di kampus. Karena itu aku kesulitan mencari kelemahannya. Ingin menjeratnya dalam kecelakaan Wendy saat SMA dulu juga tidak bisa karena wajahnya sebenarnya tidak begitu jelas di Cctv. Chiko menggunakan teknologi untuk membuat sketsa wajah pelaku dan kebetulan mirip dengan laki-laki jahat di mimpiku serta mirip dengan kakak Anggun atau sepupunya itu. Anggun sendiri selalu mengaku anak tunggal padaku jadi aku belum mengetahui sebenarnya apa hubungan laki-laki itu dengan Anggun. “Aku pengen bisa banyak hal kak, lagian kan aku les piano juga pakai uang mama. Tapi ayah marah-marah.” Jawab Anggun lagi. Brandon terlihat begitu frustasi. “Kakak kan bilang nanti dulu Gun, nunggu keadaan rumah tenang dulu. Kamu di suruh sabar aja susah banget sih? Kakak yang pusing kalau kamu keras kepala gini. Kamu tahu sendiri kan keadaan rumah kaya medan perang.” Desah Brandon kesal. Anggun terus menangis dan Brandon kemudian mengalah. Menghapus air mata Anggun dan mengajaknya pergi dari sana. “Dia pegawai di proyek rumah baru om Dimas mas, namanya pak Agus.” Ucap Chiko membalas chatku setelah aku mengiriminya foto ayah Anggun. Rupanya Chiko sudah bangun tidur sehingga langsung membalas pesannya. “Oh iya, yang waktu itu kita ketemu waktu nyamperin Brian itu yah.” Balasku dan Chiko mengirimkan emotikon jempol. Sepertinya aku tahu kenapa aku seperti pernah melihatnya, aku memang pernah bertemu dengannya. Dia salah satu tukang di proyek rumah baru om Dimas. Aku segera melanjutkan perjalananku menuju rumah Oliver karena anak itu sudah mengomel menungguku dan cemilannya. Sesampainya di sana Oliver sedang cemberut pada om Dante yang masih mengomel. Tapi beliau langsung tersenyum begitu melihatku. “Kamu naik motor Ga?” tanya omDante dan aku meringis. “Aduhh Regaa panas-panas kenapa nggak minta jemput anak nakal itu aja.” Ibu Oliver ikut menanggapi. Mendengar panggilan tante Desita pada Oliver sepertinya anak itu baru saja melakukan kesalahan. “Nggak papa kok ma, Rega kebetulan tadi mampir ke minimarket dulu.” Ucapku. “Kamu udah makan belum Ga?” tanya Om Dante lagi. “Udah kok pa, tadi Rega makan dulu sebelum ke sini.” Jawabku. “Udah boleh pergi belum nih?” tanya Oliver dengan nada kesal. Aku tersenyum. “Iya sana ajak Regarta masuk, ini buah di bawa sana buat cemilan.” Ucap tante Desita yang selalu di penuhi makanan. Kami kemudian langsung masuk ke ruang Rahasia di kamar Oliver dan mengeram di sana. “Kenapa lagi lo tadi?” “Gue nggak sengaja nginjek kelinci Olivia, terus mati. Anaknya nangis sampai sekarang. Jadi gue kena ceramah panjang.” Adunya sambil mendesah. Aku terkikik geli. Aku langsung mendial nomor Brian dan anak itu langsung membalasnya tanpa lama. “Kenapa Ga?” tanyanya tanpa embel-emebel mas seperti biasa. “Bisa minta tolong nggak?” tanyaku. “Tergantung apa dulu yang lo tawarkan.” Balasnya dengan kekehan. “Oke, tugas lo yang kemarin gue yang kerjain. Puas?” “Deal.” Balasnya girang. Beberapa hari lalu, Brian memang menghubungiku karena kesulitan mengerjakan tugasnya. Tapi aku menolaknya karena malas. “Apa yang lo mau?” “Tukang di rumah baru lo itu ada yang namanya pak Agus kan?” “Iya kenapa Ga?” “kasih gue alamat rumahnya.” Balasku. “Gitu doang?” tanyanya sambil terkekeh. “Gue kirim dalam lima menit.” Balas Brian. Sejujurnya selama ini yang aku tahu Anggun tinggal di panti asuhan sebab ibunya adalah pengurus panti asuhan. Tapi Brandon tidak pernah pulang ke rumah Anggun yang di dekat panti itu. Aku juga sudah pernah bertanya pada Anggun siapa Brandon tapi gadis itu hanya mengatakan bahwa Brandon adalah kakak temannya dan langsung mengalihkan topik. Aku cukup terkejut melihat alamat rumah yang di kirim oleh Brian. Rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku. Tapi alamat itu jauh dari panti asuhan tempat Anggun tinggal. “Apa lagi? Lo dapet apa Ga?” tanya Oliver penasaran. “Tadi pas gue tidur di kamar Chiko gue mimpi lagi Ol.” Ucapku sambil mengambil sebuah kertas dan menggambarkan sebuah seketsa wajah seorang wanita yang aku lihat di mimpi. Wanita itu di panggil sebagai ratu, dia adalah teman dari Prameswary atau gadis yang mirip dengan Wendy di mimpiku. Ratu itu terlihat begitu akrab dengan Prameswari. Tapi aku memang sengaja menggambar semua orang yang aku lihat di mimpi karena siapa tahu bisa memberiku petunjuk. Sebenarnya aku sendiri juga tidak begitu percaya dengan mimpi-mimpi anehku itu. Tapi tidak ada salahnya bukan mengantisipasinya. Siapa tahu aku menemukan jawaban masalah ini dari sana. “Terus apa hubungannya sama pak Agus itu?” tanya Oli. “Dia bapaknya Anggun, tadi pas mau ke sini gue ketemu dia lagi marahin Anggun di depan Minimarket.” Jawabku tanpa menoleh dan tidak lama kemudian sketsa wajahku jadi dan aku memasukkannya ke dalam jurnal mimpiku yang aku simpan di kamar Oliver itu. “Siapa lagi wanita itu?” “Teman Prameswary.” Balasku. “Hidup lo ribet banget Ga.” Oliver mencibir. Aku terkekeh. “Kata salah satu anime favorit gue, jika jalan yang kita lalui terlalu mudah, berarti kita salah jalan.” Balasku sambil meletakkan jurnal itu di meja. Oliver terkekeh. "Loh kamu kenal sama Brigita?" tanya tante Desita yang tiba-tiba masuk dan melihat gambarku di meja. "Mama kenal wanita ini?" tanya Oliver. Tante Desita mengangguk. Aku dan Oli saling pandang. "Dia pemilik skincare yang mama pakai itu loh Ol. Pinki Skincare." Jawab tante Desita kemudian meletakkan cemilan di meja dan keluar dari kamar Rahasia Oli. Aku dan Oli kembali saling pandang. "Kok Bisa?" ucap kami nyaris bersamaan. "Sumpah gue mulai merinding, kenapa orang-orang yang ada di mimpi lo bisa ada di dunia nyata semua Ga." Oliver meringis ngeri. Apalagi aku yang memimpikannya. Bagaimana mungkin aku bisa memiliki mimpi-mimpi yang seperti terkonsep dan kerap kali memberiku petunjuk? benarkan ini adalah ingatan-ingatan kehidupanku sebelumnya? rasanya banyak sekali pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu kemana harus mencari jawabannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN