Chapter 19

2147 Kata
Tara melepaskan genggamannya pada lengan Gio setelah sampai di koridor yang sepi. Mungkin karena lomba yang sedang berlangsung, orang-orang tidak banyak yang berada di gedung sekolah tetapi lebih banyak bertebaran di lapangan tempat rangkaian lomba diadakan. Tara menarik nafas dan membuangnya perlahan, berharap dengan begitu emosinya bisa ia kontrol dan tidak meledak begitu saja tanpa kendali dan memancing perhatian. Tara menatap Gio yang ternyata sejak tadi menatapnya sambil tersenyum jenaka membuat Tara mengerutkan dahi. Apa tidak paham cowok ini kalau dia akan dieksekusi oleh Tara sebentar lagi? "Bisa-bisanya lo senyum?" tanya Tara tidak habis pikir. Tara memegang pelipisnya, "lo udah kelewatan Yo kali ini." Gio diam mendengarkan, sama sekali tidak berniat untuk memotong ucapan Tara. Belum waktunya. Tara mendengus. Kejadian barusan kembali terbayang di kepalanya membuatnya sakit kepala sendiri. Habis sudah masa-masa SMAnya sebagai Tara yang biasa-biasa saja, Tara kini sudah menjelma jadi objek paling menarik untuk dibicarakan seantero sekolah. Pertama karena dekat dengan Alvan, kini ditambah dengan kejadian ditembak murid dari sekolah lain. Betapa indahnya hidup Tara andai dia bukan menjadi Tara Andini Juniarty, gadis yang agak antisosial dan tidak suka menjadi sorotan. "Gue gak suka cara lo." Tara berusaha menahan nada bicaranya untuk tidak ketus, tetapi tentu tetap menyiratkan kalau Tara benar-benar tidak suka, bukan hanya sekedar bicara. "Gue gak terpesona sama sekali dengan cara lo, yang ada gue justru ilfeel." "Gue desperate Tar, lo gak pernah nganggep pernyataan cinta gue serius. Makanya gue nekat ngelakuin itu, lo kira gue gak malu? Gue juga malu, lah, tapi rasa sayang gue ke lo jelas lebih besar dari rasa malu itu sendiri." Tara menghela nafas, "Yo, kenapa lo seyakin itu kalo lo sayang sama gue? I mean, kita gak pernah ngelakuin sesuatu yang istimewa, gue selalu perlakuin lo layaknya adek gue, gak lebih." "That's why, Tar, karena gak ada yang pernah memperlakukan gue selayaknya seorang adek." "Kalo gitu lo bukan sayang gue dengan cara romantis, lo sayang gue sebagai saudara, Yo." Gio menggeleng. "Gue yang tau perasaan gue, istilah kakak-kakak'an itu gak ada, istilah itu cuma dibikin sama orang-0rang yang terlalu pengecut buat melakukan move berani karena takut ditolak dan ngerusak hubungan yang udah ada." Lagi-lagi Tara hanya bisa menghela nafas. Tidak ada cara lain, Tara harus to the point agar Gio mengerti. "Yaudah, sekarang lo maunya gue gimana?" Gio menarik tangan Tara, menggenggamnya sambil menatap mata Tara. "Lo terima perasaan gue, jadi pacar gue." Tara terperanjat. Dia tidak pernah menyangka Gio se-serius ini. Atau memang Tara yang tidak pernah mau mencoba menyadari kalau Gio memang selalu serius soal perasaannya? Tara memejamkan matanya. "Sori, Yo, lo tau gue gak bisa," ucapnya lembut. Tara membuka matanya dan menatap Gio sama seriusnya. "Gue bener-bener gak bisa anggap lo lebih dari sekedar adek buat gue." Gio mengeraskan rahang. "Enggak, gue gak terima penolakan lo. Ini gak adil." Tara melepaskan tangannya dari genggaman Gio. "Maksud lo?" Gio mengacak rambutnya frustasi. Lalu dia memegang kedua bahu Tara, menatap lurus ke matanya. "Lo nolak gue tanpa pernah ngasih kesempatan untuk mau nyoba terlebih dulu Tar, lo bilang gak bisa anggap gue lebih dari adek karena lo yang gak pernah mau nyoba." Tara mengerjap. Kata-kata Gio seolah memukul keras belakang kepalanya. Terlalu benar. Gio benar soal hal itu, Tara memang tidak pernah memberi kesempatan dirinya sendiri menatap Gio sebagai seorang cowok, bukannya adik. Gio memgendurkan pegangannya dari bahu Tara, "lo pasti mikir gue gila atau bahkan psikopat karena udah maksa lo kayak gini 'kan? Gue punya alasan, Tar, itu karena lo yang gak pernah mau ngasih gue kesempatan, kesempatan buat kita." Tara mengernyit, aneh mendengar Gio menyebut kita. Karena dalam bayangan tergila Tara sekalipun, dia tidak pernah membayangkan ada istilah kita untuknya dan Gio. "Yo, gue..." "Please, Tar, yang gue butuhin cuma kesempatan. Gue janji, kalo lo udah kasih kesempatan dan tetep gak ngerasain apapun terhadap gue, gue janji bakal lepasin lo." Tara terdiam, berpikir. Tiba-tiba sosok Alvan terlintas di kepalanya. Tara jelas tau, hatinya sudah sepenuhnya mengarah ke Alvan. Hatinya jelas memilih Alvan. Tapi, apa yang Gio katakan juga benar. Tidak adil rasanya jika Tara menolak Gio dengan alasan 'hanya menganggap sebagai adik' padahal jelas-jelas mereka bahkan tidak memiliki hubungan sedarah. Tapi Tara tidak merasakan apapun selama ini terhadap Gio. Apalagi saat ini ada Alvan yang menduduki hatinya. Tara menghela nafas lalu akhirnya menggeleng pelan. "Gue gak bisa." Gio melepaskan tangannya dari bahu Tara. " apasih yang bikin lo gak bisa? Hah? Sesusah itukah hati lo terbuka untuk gue?" Gio menyandarkan tubuhnya di tembok yang ada di belakangnya, matanya memandang Tara sendu sekarang. "Segitu gak pantesnya kah gue?" tanyanya miris. Tara meringis, merasa tidak enak lalu menggeleng. "Gue cuma..." "I know," potong Gio membuat kata-kata Tara terputus. Gio kini tertawa. Bukan jenis tertawa bahagia tetapi tawa yang dibuat-buat. "Cowok itu. Iya, lo pasti gak bisa karena cowok itu 'kan?" Skakmat. Tara mematung. Tara tau kalau 'cowok itu' yang Gio maksud sudah pasti Alvan. Mereka sudah pernah bertemu beberapa kali. "Does he love you the way I did? Kenapa Tar? Kenapa dia bisa dan gue enggak?" tanya Gio yang sudah sepenuhnya frustasi. Dia bahkan sudah mengacak rambutnya sampai benar-benar berantakan. "Yo, jangan bawa-bawa dia dalam hal ini. Dia gak ada urusannya." Gio tertawa sengau. Tara sepertinya tidak sadar baru saja memeraskan perasan jeruk nipis diatas sayatan lukanya. "Cowok banci, harus banget dilindungin sama lo, ya? Banci!" Tara menggeleng tidak percaya. Dia benar-benar tidak mengenal sosok Gio yang berada di depannya saat ini. Gio seperti bukan Gio teman adiknya yang selama ini dia kenal. Tara melemparkan tatapan kecewa pada Gio, "lo bener, Yo, gak seharusnya gue nganggep lo sebagai adik. Lo bahkan gak pantes buat jadi adik gue. Lo gak lebih dari orang sakit." Dan setelah berkata demikian, Tara berlalu meninggalkan Gio mematung sendirian. *** Alvan dan Alea duduk berdampingan di warung babeh dengan masing-masing segelas es milo di hadapan mereka. Gelas milik Alea sudah tinggal setengah sedangkan milik Alvan nampak masih utuh.  Sejak Alvan memutuskan mengiyakan ajakan Alea untuk berbincang di warung babeh, Alvan sama sekali belum bersuara. Dan Alea pun tidak ingin mengganggu Alvan dulu sehingga dia hanya duduk diam saja menikmati minumannya. Cukup lama diam, akhirnya Alvan menghela nafas panjang lalu menyeruput minumannya. Sambil mengaduk-aduk cairan coklat tersebut dengan sedotan, Alvan akhirnya bersuara, "so, kita mau ngomongin apa, Le?" tanya Alvan tanpa memandang ke arah Alea. Tatapannya justru terarah ke gelas minumannya. Alea menarik nafas, berusaha menyemangati dirinya sendiri. Setelah cukup siap Alea akhirnya menjawab. "Lo pasti liat kejadian barusan 'kan?" tanya Alea hati-hati, khawatir pertanyaan itu menimbulkan respon negatif dari Alvan. "Kejadian apa?" tanya Alvan datar. Alea tersenyum kecut. He knew. "Tara ditembak sama cowok dari sekolah lain," kata Alea. Alvan mengaduk lagi minumannya, tiba-tiba kehilangan seleranya untuk melanjutkan minum. "Ya." Alea sudah membuka mulut untuk melanjutkan maksud dan tujuannya tapi tiba-tiba Alvan memotongnya, "Gue rasa ini gak ada sangkut pautnya sama lo, Le, begitupun gue. So I don't want to talk about it." Alea mengatupkan kembali mulutnya. Gak ada sangkut pautnya? Jelas ada, Van! "Oke kalo lo anggap ini gak ada sangkut pautnya sama gue, it's okay, tapi ini jelas banget ada kaitannya sama lo, Van." Alvan mengalihkan tatapannya ke arah Alea sambil mengernyit. Alvan menduga-duga apa maksud dan tujuan Alea membahas soal ini kepadanya. Apa Alea masih menaruh harapan kepadanya dan ingin mencari celah dengan kejadian ini? "Lo suka sama Tara 'kan?" tanya Alea. Alvan tanpa ragu mengangguk. Alea tersenyum kecil. "Don't you think, Van, kalau kejadian tadi itu ada untungnya buat lo?" tanya Alea lagi membuat dahi Alvan kembali mengernyit. Melihat kebingungan di wajah Alvan, Alea langsung menjelaskan. "Gue tadi ngeliat Tara yang diem di koridor waktu cowok itu nyatain cinta. Gue liat jelas banget wajah Tara keliatan...terganggu, bisa dibilang." Alvan diam menyimak. Tara, terganggu? Bisakah Alvan menganggap ini kesempatan untuknya? "Gue jelas gak tau hubungan kayak gimana yang ada di antara Tara dan cowok itu sebelumnya, tapi jelas Tara keliatan gak appreciate sama tindakan cowok itu. Ada dua kemungkinan setelah ini, kalau Tara bakal nolak cowok itu dan setelahnya mereka gak akan lagi berhubungan bahkan buat sekedar jadi temen karena bakal awkward, kayak lo sama Ify. Dan kalaupun Tara nerima, itu Cuma karena dia kasian dan ngerasa gak enak." Alvan mengernyit tidak mengerti. Dari penjelasan Alea semua justru menunjukkan keuntungan untuk Alvan. Apakah Alea memang bukan berniat mencari celah tetapi justru ingin membantu Alvan? "Lo bisa belajar dari kejadian ini. Jadi saat nanti lo mau nyatain perasaan lo, lo tau kapan waktu dan cara yang tepatnya. Lo gak akan salah langkah dan kehilangan dia. Got it?" Alvan mengerjap. Kepalanya mulai meresap penjelasan Alea pelan-pelan. Benarkah? "Lo tinggal tunggu aja, apakah Tara bakal jadian sama cowok itu atau enggak. Dan kalaupun mereka jadian, gue yakin seratus persen itu Cuma karena Tara ngerasa gak enak nolak dia setelah pernyataan cintanya di depan umum tadi. Semangat, Van!" Alea menepuk bahu Alvan, seolah memberi cowok itu semangat. Sedangkan Alvan hanya diam merenung. *** Ketika Tara pulang, Dimas rupanya sudah menunggu kakaknya itu di teras depan dengan wajah khawatir. Sejak aksi nekat Gio di sekolah Tara tadi, Dimas tidak bisa menghubungi kakaknya ataupun Gio. "Kak! Darimana aja, lo?" tanya Dimas sambil memandangi kakaknya dari ujung kaki hingga kepala. Tara tersenyum kecil melihat adiknya yang bahkan belum ganti baju. Diulurkan tangannya untuk mengusap kepala Dimas. "Cie khawatir," ledek Tara. Dimas menepis tangan kakaknya. "Serius, gue. Lo darimana? Kenapa gue chat gak dibales? Bahkan gue telfon pun hape lo gak aktif?!" Tara terkekeh sambil melepas sepatunya di teras lalu menentengnya ke dalam dan meletakkannya di rak sepatu. Dimas pun dengan setia mengekori kakaknya itu. "Hp gue dari masih di sekolah gue pasang airplane mode, gue gak ngecek hp sama sekali," kata Tara sambil berjalan ke arah lemari es yang terletak di dapur, membukanya dan meraih teko air dingin yang kemudian dia tuang ke gelas untuk diminum. Dimas berdecak melihat kakaknya yang bersikap seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Tapi Dimas tau kakaknya hanya berpura-pura. Dimas bahkan bisa melihat kakaknya seperti sedang memikul beban. "Kak, lo abis darimana?" tanya Dimas lagi, kini dengan nada yang lebih lembut. Tara meletakkan gelasnya yang sudah kosong di tempat cuci piring. "Jalan." Dimas menghela nafas. "Iya, kemana?" tanyanya berusaha sabar. "Kafe doang kok, duduk sambil makan kue dan minum ice thai tea." Dimas mendengus. "Gak salah? Bukannya duduk makan kue dan minum ice thai tea sambil mikir?" Tara terdiam. Lalu dengan cepat dia berjalan meninggalkan Dimas, meraih ranselnya yang tadi dia letakkan di atas sofa dan membawanya ke lantai atas. Dan ternyata Dimas masih mengekorinya. "Kenapa kok diem? Benerkan gue?" tanya Dimas lagi. Tara berdecak. "Apaan, sih? Apa coba yang harus gue pikirin?" tanyanya sambil terus berjalan menaiki tangga. "Jawaban lo buat Gio. Lo lagi mikirin itu 'kan?" tanya Dimas lagi. Tara mempercepat langkahnya dan buru-buru masuk ke dalam kamarnya namun gagal karena Dimas menahan lengannya tepat di depan pintu kamar. "Kak, jangan jadiin ini rumit dan ngebebanin lo. Lo bisa nolak dia kalau emang lo gak suka. Tapi pertanyaannya adalah apa emang lo bener-bener gak suka sama dia? Lo gak perlu mikir terlalu susah juga, hati gak pernah bisa bohong kok, soal kayak gini tuh jawabannya bukan pake pikiran tapi hati. Sampai kapanpun yang ada lo Cuma pusing doang kalo lo mikirnya pake otak." Tara menghempaskan tangan Dimas. "Gak usah sok tau," kata Tara ketus. Dimas berdecak. "Yeah, gue emang sok tau. Tapi seenggaknya adek sok tau lo ini Cuma berusaha buat bantuin kakaknya yang keliatan frustasi." Tara merengut. "Gue gak frustasi! Ngapain juga gue sampe frustasi Cuma karena Gio!" Dimas tersenyum miring. "Gue gak bilang lho, kalau lo frustasinya karena Gio." Tara terdiam. Sial. Dia kena jebakan. "Damn it!" seru Tara sambil masuk ke kamar dan membanting pintunya meninggalkan Dimas sendiri di depan pintu. Dimas menghela nafas lalu mengetuk pelan pintu kamar Tara. Bukan meminta izin untuk masuk hanya ingin Tara tau kalau dia ada di depan pintu. "Kak, gue tau, kebingungan lo ini juga ada kaitannya sama Alvan 'kan?" Tara yang memang sedang berdiri menyandarkan punggungnya di pintu kamar menegang ketika Dimas menyebut nama Alvan. Karena Tara tidak merespon Dimas lalu melanjutkan, "kalau Alvan emang suka sama lo, ngeliat lo ditembak sama cowok lain kayak tadi...dia pasti langsung ambil tindakan. Be realistic, kak, liat siapa yang perjuangin lo. Gue tau rasanya digantungin, lo 'kan juga tau berapa lama gue digantung sama Savira tanpa kejelasan. Gue gak mau lo digituin juga. Lo bisa nunggu apakah Alvan bakal bertindak untuk perjuangin lo setelah ini atau enggak, tapi di saat yang sama lo juga harus kasih Gio kesempatan di hati lo. You know, lo gak harus terima dia, tapi seenggaknya coba pandang dia selayaknya cewek mandang cowok, bukannya Cuma sekedar adik. In the end, lo bakal tau dengan sendirinya siapa yang pantas buat ada di hati lo." Hening. Tara mengira Dimas sudah pergi setelah mengatakan hal tersebut, meninggalkan Tara untuk meresapi kata-katanya. Tapi tiba-tiba Tara kembali mendengar suara Dimas dan dia tersenyum. "Anjir, kayaknya gue kebanyakan galau sambil bacain quotes-quotes tumblr deh, omongan gue gadanta njir! Mario Teguh aja lewat."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN