Malam itu terasa begitu panjang. Alya duduk sendiri di ruang tengah, lampu remang yang menggantung di langit-langit menebarkan cahaya kuning pucat. Tangannya terus menggenggam cangkir teh yang sudah dingin sejak setengah jam lalu. Sesekali ia menatap jam dinding, jarumnya bergerak lambat seolah mengulur waktu. Hatinya dicekam keresahan, pikirannya melayang pada banyak hal yang belum terjawab. Pintu depan akhirnya berderit terbuka. Arga masuk dengan wajah lelah, kemeja basah menempel di tubuhnya. Hujan deras sejak sore belum juga reda, menambah berat langkah yang ia bawa. Ia sempat tertegun melihat Alya masih terjaga. “Kau belum tidur?” tanyanya hati-hati, berusaha terdengar tenang. Alya menoleh, matanya sembab meski sudah berusaha menyembunyikannya. “Bagaimana aku bisa tidur? Aku terus

