Pagi itu rumah keluarga Arga terasa terlalu tenang untuk disebut damai. Udara masih dingin, tapi aroma kopi hitam yang baru diseduh tak mampu menenangkan d**a yang sesak. Arga duduk di ruang makan, menatap kosong ke arah halaman belakang. Ia belum berani membuka pesan yang masuk sejak subuh—dari ibunya, dari ayah Nadira, dari orang-orang yang seharusnya menjadi penopang, bukan penekan. Nadira baru turun dari kamar, langkahnya pelan namun wajahnya tegas. “Kau sudah lihat pesan Ibu?” suaranya tenang, tapi ada nada getir yang tidak bisa disembunyikan. Arga menggeleng pelan. “Aku tahu isinya,” jawabnya lirih. “Hanya belum siap membacanya.” Nadira duduk berseberangan, menatap suaminya yang kini terlihat lebih tua dari usianya. “Kau tahu, bukan hanya Ibumu yang kecewa. Ayah juga mulai berbica

