Bab 1 – Dalam Gelap

1025 Kata
Musik dan tawa pecah di ruang tengah rumah keluarga Pratama malam itu. Lampu gantung kristal berkilauan, gelas-gelas saling beradu, dan semua orang tampak larut dalam keriuhan pesta. Namun, di balik riuhnya, ada hati yang tak benar-benar ikut bersenang-senang. Alya Prameswari berdiri di dekat meja minuman, menunduk sambil menggenggam gelas jus yang sudah hampir dingin. Sesekali matanya mencari sosok Bima, suaminya, yang sedang sibuk berbicara dengan para pria di sisi kanan ruangan. Senyum itu—senyum yang selalu ia tunjukkan di hadapan orang lain—tak lagi sama ketika menyentuh dirinya. Sebelum pikirannya hanyut terlalu jauh, tiba-tiba saja lampu gantung itu padam. Gelap. Seketika ruangan dipenuhi teriakan kecil dan gumaman panik. Beberapa tamu menyalakan senter dari ponsel mereka, tapi listrik benar-benar mati. Musik terhenti, meninggalkan hening yang ganjil. “Tenang, tenang… mungkin korslet. Jangan panik,” suara Pak Surya, kepala keluarga, berusaha menenangkan tamu. Namun Alya merasakan detak jantungnya ikut cepat. Ia tidak suka gelap. Jemarinya meremas gelas, sebelum akhirnya ia memutuskan beranjak ke dapur untuk mencari lilin. Dapur sepi. Hanya cahaya samar dari luar jendela yang memberi sedikit penerangan. Alya meraba lemari kayu di sudut ruangan, berharap menemukan kotak lilin. Tangannya menyusuri permukaan rak. Kosong. Nafasnya mulai tak teratur, apalagi saat suara hujan mulai turun, mengetuk kaca jendela dengan ritme yang menambah ketegangan. “Lilin biasanya disimpan di sini.” Alya terlonjak. Suara itu dalam, berat, namun hangat. Ia menoleh, dan samar-samar sosok itu tampak di bawah cahaya redup. Arga Wiratama. Iparnya. “Oh… Mas Arga,” ucap Alya gugup. “Aku kira tidak ada siapa-siapa.” Arga menyalakan korek api. Api kecil itu menyala, menerangi wajahnya sekilas. Tatapan matanya bertemu dengan milik Alya—tajam, namun ada sesuatu di sana, sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menemukan lilin dan menyalakannya. “Nah, sudah.” Cahaya lilin memantul di dinding dapur, menyingkap wajah Alya yang pucat. Arga memperhatikan jemarinya yang sedikit gemetar. “Kamu takut gelap?” tanyanya pelan. Alya buru-buru menggeleng. “Tidak, hanya… kaget saja.” Arga tersenyum tipis, lalu mendekat, memberikan lilin itu. Jari mereka bersentuhan singkat. Hanya sebentar, namun cukup membuat darah Alya berdesir. Hening. Hanya suara hujan di luar, dan nyala kecil lilin di antara mereka. Alya berusaha menatap ke arah lain, tapi matanya kembali terpaku pada Arga. Ada sesuatu yang berbeda malam ini—auranya terasa begitu dekat, begitu nyata, hingga membuat ruang seakan mengecil. “Jangan gemetar begitu. Aku ada di sini,” ucap Arga lirih, nyaris seperti bisikan. Kata-katanya sederhana, tapi justru itu yang menusuk. Sudah lama Alya tidak mendengar kalimat setenang itu dari siapa pun, terutama dari Bima. Detik berikutnya, lilin itu tiba-tiba padam, ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Gelap kembali menelan. Alya bisa merasakan jarak antara mereka semakin menipis. Nafas Arga terdengar begitu dekat, begitu nyata di hadapan wajahnya. “Mas…” bisik Alya, suaranya bergetar, separuh ingin memprotes, separuh lagi menyerah. Arga tidak menjawab dengan kata-kata. Dalam pekat itu, hanya ada keheningan—dan satu kesalahan yang tak lagi bisa ditarik kembali. Beberapa menit kemudian, lampu darurat di ruang tengah berhasil dinyalakan. Sorak lega terdengar dari tamu. Musik kembali diputar pelan. Namun di dapur, Alya berdiri kaku. Nafasnya pendek, wajahnya panas, jari-jarinya gemetar hebat. Ia tak berani menoleh. Arga berada tak jauh darinya, diam, sama-sama membeku. Tidak ada kata yang diucapkan. Tidak ada yang berani menatap mata masing-masing. Tapi keduanya tahu, malam itu telah melahirkan sebuah rahasia. Rahasia yang tidak boleh diketahui siapa pun. Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya. Alya menunduk, mencoba menenangkan napasnya, namun tangannya tetap gemetar. Hatinya terasa campur aduk—antara takut, bersalah, dan anehnya, ada rasa yang sulit diungkap. Ia tahu, apa yang baru saja terjadi bukan sekadar kebetulan. Arga tetap diam, menatapnya dengan mata yang tak bisa ia baca. Sekejap, Alya merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang: satu langkah salah, dan semuanya bisa jatuh. Tapi ada sesuatu juga yang menariknya, sesuatu yang membuatnya ingin tetap di dekat Arga, meski tahu itu salah. “Harus… harus cepat pergi,” bisiknya pelan pada diri sendiri. Tapi kakinya seakan enggan bergerak. Arga akhirnya menunduk sedikit, memecah hening. “Kamu tidak akan bilang pada siapa pun, kan?” Suaranya lembut, tapi nada itu cukup membuat Alya menelan ludah. Ia menggigit bibir bawah, mencoba mengumpulkan keberanian. “Tidak… tidak akan.” Namun, bahkan saat ia mengucapkan kata-kata itu, hati Alya tahu, kata-kata itu tidak sepenuhnya benar. Rahasia ini akan terus mengikutinya. Setiap tatapan Arga di pesta, setiap langkahnya di rumah, bahkan saat Bima tersenyum dingin padanya, rahasia itu akan ada di sana. Hujan di luar mulai reda, tapi di dalam d**a Alya, badai belum berhenti. Detik-detik gelap itu terus terulang di benaknya, seperti adegan yang tak bisa dihapus. Ia menggenggam lilin, mencoba merasa aman, tapi sadar bahwa “aman” hanyalah ilusi. Dan Arga… Arga tetap di sana, diam, memandangnya dengan intensitas yang tak bisa ia abaikan. Alya tahu malam itu akan menjadi sesuatu yang selalu menghantuinya, sesuatu yang akan menentukan hidupnya dari sekarang. Ia akhirnya menarik napas panjang, menunduk sekali lagi, lalu berbalik melangkah ke ruang tengah. Di luar, lampu menyala kembali, musik mulai berdentum pelan, dan tamu-tamu bersorak lega. Semuanya terlihat normal, seolah tidak ada yang terjadi. Tetapi Alya tahu… tidak ada yang normal lagi. Tidak untuknya, dan tidak untuk Arga. Satu hal yang pasti: malam ini baru saja memulai sesuatu yang tidak akan pernah bisa diulang. Rahasia itu lahir, dan dari rahasia itu, badai yang lebih besar akan segera datang. Dengan pikiran kacau dan jantung berdegup tak menentu, Alya duduk kembali di kursinya. Ia menatap sekeliling ruangan, melihat tawa, suara, dan lampu yang terang, tapi hatinya tetap gelap. Ia tahu, tidak ada yang bisa mengembalikan malam itu. Tidak Bima, tidak Nadira, tidak siapapun. Hanya dirinya… dan Arga. Dan di sudut hati Alya, ada rasa takut yang samar, bercampur rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan: apa yang akan terjadi selanjutnya? Hati Alya tetap berdebar saat ia menoleh sekilas ke arah Arga, yang kini tampak tersenyum tipis, seolah tahu sesuatu yang ia sendiri belum siap mengaku. Detik itu terasa begitu lama, dan Alya sadar satu hal: malam ini baru permulaan. Rahasia itu bukan hanya miliknya. Ia milik mereka berdua—dan badai yang akan mengikuti tidak akan bisa mereka hindari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN