Bab 7 – Benih Ketakutan

1129 Kata
Nadira berdiri cukup lama di depan pintu, menatap Alya dan Arga bergantian. Meski akhirnya ia hanya tersenyum tipis dan kembali ke dalam, tatapan itu menempel di kepala Alya sepanjang pagi. Seolah mata Nadira bisa menembus lapisan senyum palsu dan menyingkap ketakutan yang selama ini disembunyikannya. Alya mencoba menenangkan diri dengan mengurus pekerjaan rumah, tapi tangannya gemetar setiap kali ia menyentuh perutnya. Rasa mual datang lagi, membuatnya harus berlari ke kamar mandi. Nadira sempat mendengar dan mengintip, tapi Alya buru-buru menutup pintu. Ia hanya bisa berharap Nadira tidak menaruh curiga lebih jauh. Sore hari, Bima pulang dengan wajah lelah, jasnya kusut, dasinya longgar. Alya menyambutnya dengan senyum hambar, menyiapkan air hangat untuknya. Tapi seperti biasa, Bima hanya mengangguk tanpa banyak kata, lalu duduk menyalakan televisi. Alya memandangi punggungnya yang tegap tapi dingin itu, dadanya sesak. Andai Bima tahu… andai ia bisa benar-benar melihat aku, batinnya lirih. Makan malam berlangsung hening. Hanya suara sendok garpu dan tawa kecil Raina, putri Arga dan Nadira, yang sesekali memecah suasana. Nadira beberapa kali melirik Alya, seolah sedang menunggu sesuatu. Alya pura-pura tidak menyadari, fokus mengunyah meski rasanya makanan susah ditelan. Arga duduk di seberang Alya. Mereka tak berani bertukar pandang, tapi ada satu momen singkat saat mata mereka bertemu. Sekejap saja, cukup untuk membuat jantung Alya berdetak kencang. Ia buru-buru menunduk, tapi Nadira menangkap itu. “Ly,” suara Nadira terdengar datar, tapi ada nada menekan. “Kamu kok kelihatan pucat? Lagi sakit?” Alya tersentak, sendoknya hampir jatuh. “Nggak, cuma kurang tidur aja.” Nadira tersenyum tipis, tapi matanya tidak ramah. “Jangan sampai hamil, loh. Kan lagi rame di keluarga, katanya kamu sama Bima belum punya momongan.” Suasana meja makan mendadak membeku. Alya terdiam, pipinya panas. Arga menelan ludah, sementara Bima hanya melirik sebentar lalu kembali menonton TV. Nadira tersenyum puas melihat Alya kaku di tempat. Malamnya, ketika semua sudah tidur, Alya terduduk di tepi ranjang. Ia menatap suaminya yang pulas tanpa menyadari kegelisahan istrinya. Perutnya kembali terasa aneh, sebuah tanda yang makin sulit ia abaikan. Ia teringat kata-kata Nadira di meja makan. Apakah Nadira hanya asal bicara, atau benar-benar curiga? Keringat dingin membasahi pelipisnya. Jika Nadira mulai memperhatikan, itu berarti waktunya hampir habis. Alya menutupi wajahnya dengan bantal, menahan tangis. Ia merasa sendirian dalam pertempuran ini, padahal semua yang terjadi bukan sepenuhnya salahnya. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyalahkan Arga, tapi hatinya tidak bisa. Ia ingat kelembutan malam itu, cara Arga menatapnya, seolah ia perempuan yang benar-benar berarti. Dan perasaan itu membuatnya semakin bingung—apakah ini dosa, ataukah cinta? Di kamar lain, Arga juga tidak bisa tidur. Nadira sudah lama terlelap, tapi pikirannya berputar keras. Ia teringat tatapan Alya saat pagi tadi, dan kata-kata yang keluar dari bibirnya: Aku hamil. Arga menutup mata, tapi bayangan itu terus datang. Ia tahu dirinya salah, tapi bagaimana bisa ia berpura-pura tidak peduli? Jika benar Alya hamil anaknya, ia tidak bisa lari. Bukan hanya rasa tanggung jawab, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang ingin melindungi Alya, lebih dari sekadar ipar. Suara tangisan pelan terdengar samar dari kamar sebelah. Arga menahan napas, tahu betul itu suara Alya. Ia ingin mendatangi, ingin menenangkan, tapi ia hanya bisa mengepalkan tangan erat-erat, memaksa dirinya tetap diam. Namun hatinya sudah bulat: apa pun yang terjadi nanti, ia tidak akan membiarkan Alya menghadapi semuanya sendirian. Keesokan harinya, Alya berjalan ke apotek kecil di dekat kompleks. Ia membeli sesuatu dengan tangan gemetar, lalu buru-buru pulang. Di kamar mandi, ia menatap benda kecil itu dengan perasaan bercampur aduk. Tes kehamilan. Tangannya bergetar saat membuka bungkusnya, jantungnya berdentum keras. Ia menunggu beberapa menit, matanya tak lepas dari garis yang mulai muncul. Satu… lalu dua. Dua garis merah jelas terlihat. Dunia Alya runtuh seketika. Alya menjatuhkan test pack itu ke lantai, tubuhnya lemas, sementara dari luar terdengar suara ketukan pintu—dan suara Nadira memanggil namanya. Alya buru-buru menyambar test pack yang terjatuh, tangannya panik mencari-cari tempat untuk menyembunyikannya. Ia memasukkannya ke laci kecil di bawah wastafel, berusaha menenangkan napas yang terengah. “Ly… kamu di dalam?” suara Nadira terdengar lebih dekat, ketukan pintu semakin keras. Alya menutup mata rapat, berusaha menahan suara tangisnya. Jangan sekarang… tolong jangan sekarang… “Ly, aku tahu kamu di dalam. Aku denger kamu muntah lagi tadi. Kamu sakit, ya?” Nada Nadira terdengar tenang, tapi ada sesuatu yang menusuk di balik kelembutannya. Alya menatap bayangannya di cermin. Wajah pucat, mata sembab, bibir bergetar. Ia merasa seperti seorang kriminal yang terpojok, menunggu rahasia kelamnya terbongkar kapan saja. “Nadira… sebentar ya, aku lagi…” suaranya parau, hampir tidak terdengar. “Lagi apa?” potong Nadira cepat, lalu ada jeda hening yang menegangkan sebelum ia melanjutkan dengan lirih, “Lagi nyembunyiin sesuatu dari aku?” Alya menelan ludah, lututnya gemetar. Detik itu juga, pintu diketuk lebih keras. “Buka, Ly. Aku cuma mau lihat kamu baik-baik aja. Buka.” Alya memeluk perutnya tanpa sadar, air mata jatuh deras. Ia tahu, jika pintu itu terbuka, semuanya mungkin akan berubah. Tidak ada lagi jalan untuk kembali, tidak ada lagi ruang untuk bersembunyi. Dan di tengah rasa panik itu, ia mendengar suara lain—suara langkah kaki Arga mendekat dari arah lorong. “Ada apa, Nadira?” Alya terpaku. Pintu itu hanya selembar tipis pemisah antara dirinya, Nadira, dan Arga… sementara rahasia paling kelamnya baru saja terkuak. Arga berdiri di ujung lorong, wajahnya sedikit pucat melihat Nadira mengetuk pintu begitu keras. “Ada apa sih? Kenapa ribut-ribut?” tanyanya, berusaha terdengar tenang. Nadira menoleh cepat, sorot matanya tajam. “Alya dari tadi di kamar mandi. Aku denger dia muntah lagi. Katanya cuma masuk angin, tapi aku nggak percaya. Aku pengen tahu apa yang sebenarnya dia sembunyiin.” Arga merasakan detak jantungnya melonjak. Ia menoleh sekilas ke pintu yang tertutup rapat itu. Tangannya mengepal tanpa sadar. Kalau Alya ketahuan sekarang, habis kita berdua… “Alya baik-baik aja, Nadira,” suara Arga terdengar serak. “Nggak usah maksa.” “Kenapa kamu yang panik?” Nadira memicingkan mata, mendekat ke arahnya. “Atau… kamu tahu sesuatu yang aku nggak tahu?” Alya di dalam kamar mandi menahan napas, tubuhnya kaku. Ia bisa mendengar setiap kata dengan jelas. Jantungnya seperti mau pecah, kepalanya berputar. Ya Tuhan, jangan biarkan dia curiga lebih jauh… “Sudahlah, Ra,” Arga mencoba tersenyum, meski jelas kaku. “Kamu kebanyakan mikir. Alya cuma capek.” Tapi Nadira tidak bergeser sedikit pun. Ia mendekat ke pintu lagi, tangannya menyentuh gagang pintu. “Kalau gitu, nggak masalah kan kalau aku lihat sendiri?” katanya pelan, tapi menusuk. Alya menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak tangis. Test pack yang ia sembunyikan tadi masih terasa nyata keberadaannya di dalam laci. Dan saat mendengar bunyi klik gagang pintu digerakkan Nadira, seluruh tubuhnya seakan lumpuh. Pintu itu bergetar. Hanya butuh satu putaran kecil lagi, dan rahasia terbesar hidupnya akan terhempas ke dunia luar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN