Bab 5 – Dinding yang Retak

1004 Kata
Matahari sore menembus tirai ruang tamu, tapi rumah terasa panas dan sesak. Alya duduk di sofa, tangan gemetar, memikirkan semua yang terjadi malam-malam terakhir. Hatinya terasa berat, seperti menanggung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. Bima masuk dari dapur, wajahnya tegang. “Alya, kenapa kamu selalu terlihat jauh? Apa ada yang nggak kamu bilang?” Suaranya datar, tapi ada nada yang menekan. Alya menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Aku… nggak tahu. Aku cuma capek, itu saja,” jawabnya, nada suaranya bergetar sedikit. Tapi Bima mengerutkan dahi. Ia tahu ada yang disembunyikan Alya, sesuatu yang jauh dari kata ‘capek’. “Capek? Alesan aja, ya? Aku nggak bodoh, Alya!” Suara Bima meninggi, matanya menatap lurus ke wajahnya. Hati Alya berdegup kencang. Ia tahu, satu kata salah bisa meledakkan semua. Di saat itu, Arga muncul di ruang tamu, senyum tipisnya tetap menenangkan sekaligus menusuk hati. “Bima, tenang dulu,” ucapnya santai, tapi nada suaranya membuat udara di ruangan itu terasa tegang. Bima menoleh, wajahnya berubah merah. “Arga! Ini urusan rumah tangga, jangan ikut campur!” Alya menunduk, menahan napas. Ia tahu Arga sengaja muncul, tapi ia juga merasakan ketenangan yang aneh dari kehadiran Arga. Godaan itu terasa nyata—tatapan, senyum, dan ketenangan yang kontras dengan kemarahan Bima. Nadira muncul dari pintu belakang, matanya tajam, sorot penuh curiga. Ia melihat semua interaksi itu dan hatinya semakin gelisah. Ia tahu, ada sesuatu yang sedang terjadi di antara Alya dan Arga, dan ia tidak akan tinggal diam. Nadira melangkah maju, menatap Bima dan Alya dengan serius. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Alya menelan ludah. Kata-kata Nadira menusuk, tapi ia tidak bisa menjawab. Semua rasa bersalah, ketakutan, dan godaan malam-malam terakhir terasa menumpuk di dadanya. Ia ingin menjauh, tapi hatinya memberontak, terutama saat tatapan Arga menghangatkan dirinya di tengah badai itu. Bima menggeram, frustrasi. “Alya, ngomong jujur sekarang! Aku nggak mau dibohongin lagi!” Suaranya hampir pecah. Alya menunduk, air mata menetes di pipi. Ia tahu, satu kesalahan lagi, dan semuanya bisa hancur. Arga melangkah mendekat, lembut tapi menegaskan: “Alya, tenang… jangan buat semuanya lebih rumit.” Alya menatapnya, rasanya sulit menahan emosi campur aduk—antara rasa bersalah, takut, dan ketertarikan yang tak bisa diabaikan. Dan di sudut ruang tamu, Nadira semakin menatap tajam, seakan menunggu bukti. Alya sadar satu hal: tidak ada jalan kembali dari badai ini. Rahasia, godaan, dan kemarahan sudah tercampur—dan semuanya akan meledak dalam waktu dekat. Bima menepuk meja dengan frustrasi. “Alya! Aku nggak mau dengar alasan basi lagi! Katakan apa adanya!” Suaranya meninggi, membuat udara di ruang tamu terasa panas. Alya menunduk, menahan air mata. Ia tahu ia tidak bisa bicara jujur—setiap kata akan membuka rahasia malam itu. Arga duduk di sofa, diam, tapi matanya menatap tajam ke arah Alya. Hatinya berdebar, campur aduk antara rasa bersalah dan ketertarikan. Ia tahu, setiap gerakan dan kata-katanya bisa membuat situasi makin rumit. Namun ia tidak bisa menjauh. Godaan malam itu terasa hidup kembali, dan Alya adalah pusat dari badai itu. Nadira melangkah lebih dekat, tangannya mengepal. “Aku nggak peduli apa yang kalian lakukan, tapi kalau ada yang salah… aku akan tahu,” ucapnya dingin. Sorot matanya menembus, penuh waspada. Arga menatap Nadira sebentar, lalu menoleh ke Alya, memberi isyarat agar tetap tenang. Alya menelan ludah, napasnya tercekat. Ia tahu satu kesalahan lagi, dan semua bisa hancur. Bima berdiri, wajahnya merah, napasnya tersengal. “Alya, jangan cuma diem! Jawab sekarang! Aku nggak mau dipermainkan!” Kata-katanya kasar, tapi wajar—seorang suami yang merasa dibohongi. Alya menunduk, menahan tangis. Ia ingin berlari, tapi tubuhnya terasa tertahan. Godaan Arga, perhatian diam-diamnya, semakin membuat hatinya kacau. Arga akhirnya bangkit, melangkah pelan ke dekat mereka. “Bima, santai dulu. Ini bukan saatnya marah-marah seperti ini,” ucapnya tegas, tapi tetap tenang. Suaranya memotong ketegangan, tapi justru membuat Bima semakin gusar. “Santai? Kau tahu apa soal rumah tangga orang lain?!” Bima membentak, suara hampir pecah. Alya menunduk, air mata menetes di pipi. Ia sadar, badai yang baru lahir itu semakin mengikat mereka semua—antara rahasia, kemarahan, dan godaan yang tak bisa dihindari. Malam-malam yang akan datang akan jauh lebih sulit, dan Nadira semakin dekat untuk mengetahui sesuatu. Dan di benaknya, Alya bertanya lagi: berapa lama ia bisa menahan semuanya sebelum semua rahasia benar-benar pecah? Alya berdiri perlahan, tubuhnya gemetar, napasnya berat. “Bima… aku nggak tahu harus bilang apa. Tolong jangan paksa aku,” ucapnya lirih. Air matanya jatuh, membasahi pipi. Bima menatapnya tajam, hatinya penuh amarah bercampur kekecewaan. “Kalau kamu terus-terusan diem kayak gini, aku bisa gila, Alya!” bentak Bima, suaranya pecah. Ia berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal, kepalanya menunduk seakan menahan diri untuk tidak meledak. Arga menatap Alya dengan sorot mata yang sulit ditebak—ada rasa ingin melindungi, ada juga sesuatu yang lebih dalam, yang tidak seharusnya ada. Alya menangkap tatapan itu, dan detik itu juga ia merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak. Ia tahu, tatapan itu berbahaya. Nadira memperhatikan semuanya dengan wajah kaku. Ia tidak berkata banyak, tapi sorot matanya tajam, penuh perhitungan. Dalam hatinya, ia tahu ada yang janggal. Arga terlalu sering membela Alya. Terlalu cepat muncul setiap kali Alya dan Bima berselisih. Nadira menggertakkan gigi, mencoba tetap tenang, tapi firasatnya semakin kuat. Suasana di ruang tamu hening sejenak, hanya terdengar detak jam dinding dan hujan yang belum reda di luar. Alya menunduk, merasa terjepit di antara tiga dunia—suaminya yang marah, iparnya yang menggoda sekaligus melindungi, dan kakaknya yang curiga. Ia tahu, tidak mungkin bertahan lama dengan rahasia ini. Lambat laun, semuanya akan terbongkar. Dan ketika saat itu tiba… tak ada seorang pun yang bisa menyelamatkannya dari badai. Arga akhirnya berkata pelan, “Sudahlah, ini bukan waktunya untuk bertengkar. Semua orang capek. Kita lanjutkan besok.” Kalimat itu terdengar biasa, tapi bagi Alya, itu seperti undangan rahasia. Undangan ke malam-malam yang bisa kembali menjeratnya. Alya menutup mata, hatinya berdebar kencang. Ia tahu, badai itu semakin dekat. Dan entah kenapa, bagian dari dirinya tidak lagi ingin lari, dan malah ingin sesuatu yang lain. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN