Bab 4 – Godaan yang Membekas

972 Kata
Pagi itu, rumah keluarga Pratama terlihat cerah, tapi hati Alya terasa hampa. Ia duduk di ruang tengah, menatap secangkir teh yang mulai dingin. Setiap detik terasa panjang, setiap bayangan Arga menghantuinya. Malam itu, gelap, hujan, dan sentuhan yang salah—semua terasa hidup kembali. Bima muncul dari dapur, wajahnya datar seperti biasanya. “Alya, sarapan sudah siap,” katanya singkat. Tidak ada nada hangat, hanya rutinitas yang membuat Alya menelan ludah. Ia mencoba tersenyum, tapi rasanya palsu. Hatinya tetap gelisah, pikirannya masih terjebak malam itu. Di sudut ruang tamu, Arga muncul tiba-tiba. Senyum tipisnya menusuk hati Alya. “Pagi,” ucapnya ringan, tapi tatapannya membuat Alya terpaku. Ia menunduk, tangan menggenggam cangkir teh. Arga berjalan mendekat, menatap sekilas ke matanya, lalu membelok pergi tanpa kata lagi. Jantung Alya berdetak liar. Ia tahu, Arga sengaja melakukan itu. Sore hari, ketika Bima sibuk dengan pekerjaan, Alya membersihkan ruang tengah. Arga duduk di sofa, diam, matanya menembus hatinya. “Kamu kelihatan capek,” katanya santai tapi penuh arti. Alya menelan ludah, mencoba menenangkan napasnya, tapi tubuhnya menegang. Ia tahu, Arga bisa membaca perasaannya lebih mudah daripada ia membaca dirinya sendiri. Di luar jendela, Nadira berdiri mengamati dari kejauhan. Tatapannya curiga, penuh pertanyaan. Ia merasakan sesuatu yang tidak biasa, sebuah firasat yang menekan dadanya. Arga selalu terlalu dekat dengan Alya belakangan ini, tapi tidak ada bukti nyata. Nadira meneguk ludah, berusaha tenang, tapi hatinya gelisah. Malam itu, hujan turun perlahan, menetes di kaca jendela ruang tengah. Alya duduk di sofa, tangan menggenggam bantal, menatap Arga yang diam di dekat jendela. “Kamu nggak seharusnya di sini,” bisiknya serak. Arga tersenyum tipis. “Lalu kenapa kamu nggak mengusirku?” Balasnya, santai tapi menusuk. Alya menelan ludah, hatinya panas, napasnya tercekat. Ia sadar malam itu tidak bisa dihindari. Sentuhan, tatapan, dan rahasia yang baru lahir… semuanya menghantui. “Kamu tahu… ini salah,” bisik Alya lagi, menunduk. Tapi Arga tetap diam, menatapnya dengan penuh arti. Hatinya terasa terbakar antara rasa bersalah dan godaan. Malam itu, hujan, gelap, dan rahasia mereka terasa hidup kembali. Alya tahu satu hal: ini baru permulaan. Dan sebuah pertanyaan terus berulang di hatinya, menakutkan sekaligus memikat: apa yang akan terjadi jika malam itu terulang, atau jika Nadira menyadari sesuatu? Hatinya berdebar, napasnya tercekat. Ia sadar, rahasia malam itu tidak akan bisa dihindari. Hujan di luar makin deras, tetesan air menempel di jendela, menciptakan irama yang seakan mengiringi detak jantung Alya. Ia duduk di sofa, tangan memeluk bantal, pandangan kosong menatap Arga yang masih diam di dekat jendela. Ada sesuatu di mata Arga yang membuatnya panas dan bersalah sekaligus—campuran perhatian, godaan, dan… sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. “Kenapa kamu selalu muncul begitu saja?” bisik Alya, suaranya pelan, hampir tersedak. Arga tersenyum tipis, tidak menjawab. Hanya menatapnya. Senyum itu, entah mengapa, membuat jantung Alya berdegup kencang. Ia tahu ia seharusnya menjauh, tapi tubuhnya menolak. Rasanya seperti magnet yang menariknya kembali ke rasa bersalah itu. Alya menoleh ke jendela, berharap hujan bisa menutup dirinya dari pandangan Arga. Tapi hujan tidak bisa menutupi getaran di hatinya. Setiap detik yang mereka habiskan di ruangan itu terasa seperti ujian, membakar batas kesabarannya. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi kakinya terasa berat. Dan Nadira… Alya tahu dari sorot mata kakaknya di kejauhan, dari cara Nadira meneguk ludah dan memutar tubuhnya saat menatap mereka, bahwa firasatnya tidak salah. Nadira mulai mengawasi, mulai mencurigai. Hanya soal waktu sebelum pertanyaan itu dilempar, sebelum segala sesuatu terbongkar. Arga melangkah sedikit lebih dekat, suara kakinya menimbulkan ketegangan di ruang sunyi itu. “Alya…” ucapnya, lembut tapi menekan. Alya menelan ludah, jantungnya seakan berhenti. Ia tahu, setiap kata Arga, setiap gerakannya, membawa badai yang sulit ditahan. Ia ingin menepisnya, tapi hatinya memberontak. Ia ingin lari, tapi setiap kali ia melangkah mundur, tubuhnya terasa tertahan. Malam itu terasa abadi, meski hujan terus turun, dan gelap menguasai ruang tamu. Rasa bersalah bercampur rasa ingin tahu, rasa takut bercampur ketertarikan—campuran yang menghancurkan dirinya perlahan. Dan di ujung pikirannya, sebuah pertanyaan terus muncul, menakutkan tapi memikat: berapa lama ia bisa menahan diri, sebelum malam itu benar-benar mengikat mereka, atau Nadira tahu sesuatu? Alya menarik napas panjang, menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Tapi hatinya tahu—rahasia itu hidup, dan badai ini baru saja dimulai. Malam makin larut. Hujan di luar masih turun, menetes di kaca jendela dengan ritme yang hampir menenangkan—tapi tidak bagi hati Alya. Ia duduk di sofa, tangan menggenggam bantal, tubuhnya tegang. Setiap detik yang berlalu terasa panjang, setiap gerak Arga di dekatnya membuat napasnya tercekat. Arga tersenyum tipis, menatapnya dengan mata yang seakan menembus hatinya. Alya menunduk, menelan ludah. Ia tahu, apa yang ia rasakan salah, tapi ia tidak bisa memungkiri sensasi panas yang menyebar di tubuhnya. Ada godaan yang terlalu kuat untuk diabaikan, dan malam ini… malam ini terasa semakin menjerat. Di kejauhan, bayangan Nadira tampak di luar jendela. Alya tahu kakaknya mengintai, dan firasatnya semakin benar. Nadira mulai curiga, dan Alya bisa merasakan tekanan itu di setiap detik yang berlalu. Satu kesalahan lagi, dan semuanya bisa terbongkar. Hatinya berdebar, campuran rasa bersalah dan penasaran. Ia ingin menjauh, tapi seolah ada magnet tak terlihat yang menariknya ke arah Arga. Suasana malam, hujan, gelap, dan rahasia yang baru lahir membuat semuanya terasa hidup kembali—lebih intens, lebih menggoda, lebih menakutkan. Dan satu pertanyaan terus berulang di pikirannya, menakutkan tapi memikat: apa yang akan terjadi jika malam itu kembali terulang, atau jika Nadira benar-benar tahu sesuatu tentang malam itu? Napasnya tercekat, tubuhnya tegang, dan ia sadar… rahasia itu tidak akan bisa dihindari. Badai baru saja dimulai, dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Hujan di luar makin deras, tapi Alya tetap diam di sofa, memeluk bantal. Hatinya panas, napasnya tercekat. Tatapan Arga masih menusuk, Nadira mengintai dari kejauhan. Ia sadar satu hal: malam ini hanyalah permulaan badai yang akan menghancurkan semua batas yang pernah ia percaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN