Alya berdiri lama di depan cermin, menatap wajahnya sendiri yang tampak pucat. Lingkar hitam di bawah mata jelas terlihat. Semalaman ia tidak bisa tidur, terus-menerus dihantui bayangan malam itu bersama Arga. Ia mencoba memejamkan mata, tapi justru makin jelas bagaimana sentuhan itu terjadi, bagaimana detik-detik larangan yang mereka langgar begitu hidup di kepalanya.
Tangannya refleks menyentuh perut. Masih datar, tentu saja. Tapi bayangan akan kemungkinan terburuk sudah membuatnya hampir gila. “Astaga, kenapa aku bisa sebodoh itu?” bisiknya lirih.
Suara pintu kamar terbuka membuatnya terlonjak. Bima masuk, masih dengan wajah lelah. Lelaki itu baru saja pulang dari perjalanan dinas dua hari, dan seperti biasa, tatapannya pada Alya datar saja. Tidak ada pelukan, tidak ada rindu. Hanya singgah sebentar di kamar, berganti pakaian, lalu berbaring tanpa banyak bicara.
“Capek banget, jangan ganggu dulu,” ucapnya singkat sebelum menutup mata.
Alya menelan ludah. Ia ingin bercerita, ingin meledak, ingin sekadar mendengar kalimat sederhana seperti “Aku kangen kamu.” Tapi yang ia dapat hanya dinding dingin. Bima terlalu jauh. Dan celah itulah yang malam itu berhasil ditembus Arga.
Arga sendiri pagi itu duduk di beranda rumahnya. Nadira, istrinya, sedang sibuk menyiapkan sarapan. Wanita itu cerewet seperti biasanya, menanyakan soal jadwal kerja Arga, menyuruhnya segera sarapan sebelum telat. Tapi pikiran Arga melayang ke rumah sebelah.
Ia masih bisa merasakan aroma rambut Alya, tatapan matanya yang ketakutan sekaligus pasrah malam itu. Arga mengepalkan tangan. “Bodoh, kenapa aku nggak bisa kontrol diri?” desisnya pelan.
Nadira sempat menoleh. “Kamu ngomong apa?”
“Ah, nggak. Cuma mikirin kerjaan.” Arga memaksakan senyum.
Tapi hatinya tidak tenang. Sejak malam itu, ia berusaha menjaga jarak. Ia tidak lagi mampir terlalu sering ke rumah Bima. Namun, kebetulan-kebetulan kecil justru terus mempertemukan mereka. Saat Alya keluar belanja, saat Alya sedang menyiram bunga di halaman, saat Alya tanpa sengaja keluar membuang sampah tepat ketika Arga baru pulang kerja.
Setiap tatapan singkat, setiap keheningan yang tercipta, terasa begitu menyesakkan.
Siang itu, Alya duduk di ruang tengah bersama mertuanya. Perempuan paruh baya itu sedang mengoceh soal pertemuan keluarga yang akan digelar minggu depan. “Kamu harus hadir, Alya. Semua orang bakal ada di sana. Jangan bikin malu keluarga,” katanya tegas.
Alya mengangguk patuh. “Iya, Bu.”
Tapi dalam hatinya, ia makin panik. Pertemuan keluarga berarti bertemu lagi dengan Arga dalam satu ruangan. Bagaimana caranya menatap mata lelaki itu tanpa memperlihatkan apa yang sudah mereka sembunyikan?
Belum selesai pikirannya, tiba-tiba Nadira muncul. “Bu, aku tadi mau ngomong. Kayaknya akhir-akhir ini Arga agak aneh. Pulang telat, sering diem sendiri.” Nadira menyodorkan wajah curiga.
Alya tercekat. Keringat dingin menetes di pelipis.
Mertua hanya terkekeh. “Ah, kamu kebanyakan curiga. Laki-laki itu kalau capek ya memang begitu. Jangan bikin ribut nggak penting.”
Nadira cemberut, tapi Alya tahu, curiga itu nyata. Dan lambat laun, pasti akan mengarah padanya.
Malamnya, Alya tidak bisa tidur. Ia gelisah, berjalan mondar-mandir di kamar. Bima sudah lama terlelap, dengkurnya terdengar stabil. Alya menahan tangis di balik telapak tangannya.
Akhirnya, ia memberanikan diri keluar ke halaman belakang, mencari udara segar. Langkahnya berhenti ketika melihat sosok tinggi berdiri di pagar pembatas. Arga.
Mereka saling mematung.
“Kenapa kamu di sini?” suara Alya bergetar.
“Aku cuma… nggak bisa tidur,” jawab Arga pelan. Tatapannya gelap, sarat penyesalan.
Sunyi. Hanya suara jangkrik yang terdengar.
Alya menggigit bibir. “Kita nggak bisa terus-terusan kayak gini, Mas. Aku takut.”
“Aku juga,” jawab Arga, nadanya lirih. “Tapi aku nggak bisa berhenti mikirin malam itu. Setiap kali aku coba lupain, malah makin jelas.”
Air mata Alya jatuh. “Jangan ngomong kayak gitu…”
Arga mendekat selangkah, tangannya meraih pagar. Jarak mereka hanya sejengkal, tapi terasa begitu jauh.
“Kamu tahu, kan? Kita salah. Tapi entah kenapa aku ngerasa cuma kamu yang ngerti aku.”
Alya menunduk, bahunya bergetar.
Seketika suara pintu berderit dari arah rumah Alya. Alya terlonjak, buru-buru mundur. Bima muncul, mengucek mata. “Alya? Kamu ngapain di luar malam-malam?”
Deg.
Alya memaksa senyum. “Cuma… nyari udara segar, Mas. Sumpek di kamar.”
Bima mengangguk malas. “Udah, ayo masuk. Besok pagi aku ada rapat.”
Arga masih berdiri di tempatnya, menahan napas. Alya berbalik, melangkah cepat masuk rumah. Tapi sebelum pintu tertutup, ia sempat menoleh. Mata mereka bertemu lagi—sebentar, tapi penuh gejolak.
Sejak malam itu, Alya makin terjebak. Ia tahu harus menjauh, tapi setiap kali berusaha, hatinya justru semakin ditarik. Arga pun sama. Ia mencoba jadi suami baik, tapi setiap kali melihat Nadira cerewet atau marah, bayangan Alya muncul.
Keduanya terikat dalam rahasia yang makin menjerat, seperti benang kusut yang tak bisa diputus.
Dan Alya mulai sadar—mungkin takdir memang sedang mempermainkan mereka.
Namun satu hal yang pasti: cepat atau lambat, semua akan terbongkar.
Bima sudah kembali ke kamar, merebahkan tubuhnya tanpa banyak bicara. Tapi jantung Alya belum juga tenang. Ia berdiri di balik pintu, menempelkan punggungnya pada kayu yang dingin, mencoba menahan napas agar tidak terdengar.
Dari celah tirai, ia masih bisa melihat Arga yang belum beranjak dari pagar. Lelaki itu menunduk, lalu menengadah ke langit malam seolah mencari jawaban. Gerakan kecil itu saja pun cukup membuat d**a Alya bergetar dengan hebat.
“Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain?” gumam Alya dalam hati, hampir tanpa suara.
Ia menutup mata, berusaha menghapus bayangan itu. Tapi rasa bersalah dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya—rasa rindu—justru makin menyesakkan terasa.
Suara tangis bayi tetangga pun terdengar samar di kejauhan. Anehnya, suara itu menusuk hati Alya. Ia membayangkan jika nanti benar-benar hamil, siapa yang akan menanggung rahasia kelam itu bersamanya? Bima? Atau Arga?
Pikirannya kacau. Nafasnya memburu. Malam itu, Alya sadar hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Dan tanpa ia sadari, dari jendela kamar di lantai dua rumah sebelah, Nadira juga terjaga. Mata tajamnya menatap ke halaman, meneliti arah pandangan suaminya. Bibirnya tersenyum tipis, getir.
“Ada apa ini sebenarnya, Arga?” bisiknya dengan sangat pelan.
Malam kembali hening. Tapi keheningan itu bukan lagi ketenangan—melainkan awal dari badai besar yang akan segera datang.