Bab 9

1132 Kata
Alya menatap pantulan dirinya di cermin kamar. Wajahnya pucat, kantung matanya semakin jelas, dan senyumnya makin sulit dipaksakan. Beberapa hari terakhir, ia merasa tubuhnya aneh. Kadang mual, kadang pusing, dan perasaannya semakin tidak menentu. Ia tidak berani menghubungkan semua itu pada hal yang paling ia takutkan, tapi bayangan itu selalu menghantuinya. “Jangan, Alya… jangan sampai ini benar terjadi,” bisiknya pada diri sendiri, memegang perutnya yang masih rata. Suara langkah Bima terdengar dari ruang tamu. Lelaki itu baru pulang, dan seperti biasa, wajahnya lelah. Alya buru-buru merapikan diri, berusaha menyambut dengan senyum. Tapi hatinya tercekat. Tiap kali menatap Bima, perasaan bersalah itu menghantam seperti badai. Bagaimana kalau benar anak ini bukan miliknya? Bagaimana kalau Bima sadar ada yang berubah? “Lelah, Mas?” tanyanya pelan sambil mengambilkan segelas air. Bima hanya mengangguk, meneguk cepat, lalu rebah di sofa. “Besok aku harus berangkat lebih pagi. Ada meeting di kantor pusat.” Jawaban singkat, dingin. Alya mengangguk kecil, tapi dalam hati justru lega. Kesibukan Bima membuatnya punya waktu lebih banyak untuk sendiri—walau sendiri itu sama artinya dengan dihantui bayangan malam kelam bersama Arga. Di rumah lain, Nadira sedang menata meja makan. Tatapannya sesekali terarah ke pintu, menunggu Arga pulang. Malam itu ia memasak lebih dari biasanya, bukan karena rindu, tapi karena hatinya penuh tanda tanya. Arga belakangan sering pulang larut. Alasannya selalu sama: lembur, pekerjaan, atau urusan kantor. Nadira percaya pada suaminya selama ini. Arga tipe lelaki yang disukai banyak orang, ramah, perhatian, dan gampang membuat orang merasa nyaman. Nadira tahu itu, dan ia terbiasa menelan rasa cemburu tiap kali melihat perempuan lain menatap suaminya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya resah. Kilas balik beberapa malam lalu masih menempel jelas di kepalanya. Dari jendela lantai dua, ia melihat Arga berdiri lama di halaman, menatap ke arah rumah Alya. Wajahnya serius, bukan sekadar melamun. Nadira yang sudah terbiasa membaca gelagat suaminya merasa ada yang disembunyikan. “Kenapa harus ke arah sana? Kenapa bukan ke arah lain?” gumamnya waktu itu, dan hingga kini pertanyaan itu belum terjawab. Arga masuk rumah dengan senyum lelah. “Aku pulang.” Nadira menoleh, membalas dengan senyum tipis. “Mandi dulu sana, makan sudah siap.” Arga menurut. Tapi tatapan Nadira terus mengikuti, mencoba membaca bahasa tubuhnya. Sejak malam itu, instingnya berkata ada sesuatu antara Arga dan Alya. Ia belum punya bukti, tapi naluri seorang istri jarang salah. Malam itu, setelah semua tidur, Nadira duduk sendirian di ruang tamu. Lampu kecil di sudut ruangan menyala remang. Tangannya sibuk menyalin catatan belanja, tapi pikirannya tak tenang. Ia teringat masa awal pernikahannya dengan Arga. Bagaimana lelaki itu membuatnya merasa jadi satu-satunya wanita di dunia. Bagaimana ia yakin Arga tidak akan pernah mengkhianati. Mereka melalui banyak hal bersama, termasuk perjuangan mendapatkan kepercayaan keluarga besar. Nadira masih ingat jelas bagaimana mertuanya dulu tidak terlalu suka padanya, menganggapnya bukan pasangan ideal bagi Arga yang karismatik. Namun Nadira bertahan, membuktikan cintanya. Itu sebabnya sekarang hatinya terasa dipermainkan. Kalau benar Arga menyimpan sesuatu dengan Alya—iparnya sendiri—itu bukan hanya soal perselingkuhan. Itu pengkhianatan ganda. “Jangan sampai aku benar, Arga…” gumamnya, menatap gelap. Sementara itu, Alya tidak bisa tidur. Ia berkali-kali berguling di ranjang, menatap langit-langit. Bayangan wajah Arga terus muncul. Senyumnya, tatapannya, bahkan suara napasnya di malam itu. “Kenapa aku? Kenapa aku begitu lemah?” bisiknya getir. Ia ingat bagaimana dulu pernikahannya dengan Bima juga penuh cinta. Bima bukan suami yang romantis, tapi dulu ia selalu berusaha. Hanya saja, tahun-tahun belakangan, pekerjaan membuatnya menjauh. Alya kesepian, merasa tidak lagi punya tempat di hati suaminya. Lalu Arga datang dengan segala perhatiannya—dan ia terjebak. Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Air matanya menetes tanpa henti. Ia ingin jujur, tapi ketakutan menahannya. Ia ingin melupakan, tapi setiap kali bertemu Arga, semuanya kembali. Keesokan harinya, saat keluarga besar berkumpul untuk makan siang bersama di rumah mertua, suasana terasa tegang bagi Alya. Ia duduk di samping Bima, pura-pura sibuk menyuapi makanan. Tapi matanya tanpa sengaja beradu pandang dengan Arga di seberang meja. Sekejap saja, jantungnya berdetak kencang. Arga cepat-cepat menunduk, tapi Nadira menangkap momen itu. Tatapannya menyipit, tangannya mengepal di bawah meja. “Kenapa kau menghindar, Arga? Ada apa di antara kalian?” batinnya bertanya-tanya. Percakapan di meja makan berjalan biasa, tapi di bawah permukaannya, masing-masing menyimpan rahasia, prasangka, dan rasa bersalah. Nadira tersenyum tipis, lalu menatap Alya dalam-dalam. “Kak, kelihatan capek sekali. Lagi nggak enak badan?” tanyanya, suaranya datar tapi tajam. Alya tertegun. “Eh, iya… mungkin kurang tidur.” Nadira mengangguk, tapi matanya tetap meneliti. Senyum itu sama sekali tidak hangat. Di saat yang sama, Arga berdeham, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Nad, jangan ganggu Kakak. Mungkin memang sedang lelah.” Tapi justru kalimat itu semakin menguatkan firasat Nadira. Ia menatap suaminya lama, lalu tersenyum kecil. “Kamu perhatian sekali, ya.” Siang itu berakhir dengan banyak tatapan tersembunyi dan kata-kata yang tidak diucapkan. Alya semakin gelisah, Arga semakin canggung, dan Nadira semakin yakin. Dalam perjalanan pulang, Nadira menatap keluar jendela mobil, bibirnya berbisik hampir tak terdengar. “Kalau benar dugaanku, Arga… aku tidak akan diam.” Sementara itu, Alya di rumahnya kembali menangis dalam diam. Ia mulai sadar, apa pun yang ia lakukan, rahasia itu tidak akan bisa bertahan lama. Dan di tengah semua itu, Arga duduk sendiri di ruang kerjanya, menutup wajah dengan kedua tangan. Ia tahu, waktu mereka semakin menipis sebelum segalanya terbongkar. Malamnya, Nadira belum bisa tidur. Arga sudah terlelap di sampingnya, napasnya terdengar teratur, tapi hati Nadira masih bergolak. Ia bangkit perlahan, mengambil ponselnya, dan berjalan ke balkon kamar. Angin malam menyapu wajahnya, tapi tidak mampu mendinginkan pikirannya. Dari atas balkon, pandangannya jatuh ke rumah sebelah—rumah Alya. Lampu kamarnya masih menyala. Nadira menatap lama, d**a sesak oleh rasa yang belum bisa ia beri nama. “Kenapa aku harus merasa begini?” bisiknya. “Apa benar hanya perasaanku saja? Atau memang ada yang disembunyikan mereka?” Ia menatap kembali ke dalam kamar. Arga masih tidur pulas, tak tahu bahwa istrinya sedang dilanda kecurigaan yang nyaris membakar. Nadira menggenggam ponselnya erat-erat, lalu tiba-tiba sebuah ide melintas: jika nalurinya benar, ia harus punya bukti. Senyum kecil muncul di bibirnya, getir tapi penuh tekad. Ia membuka aplikasi catatan, menuliskan satu kalimat singkat: Perhatikan gerak-gerik mereka. Jangan sampai kecolongan. Lalu matanya kembali ke rumah Alya. Dari kejauhan, ia melihat bayangan samar di balik tirai—Alya berjalan mondar-mandir, gelisah, seolah juga tidak bisa tidur. “Ya Tuhan…” Nadira menutup mulutnya dengan tangan. Rasanya seperti melihat potongan teka-teki mulai tersusun. Di dalam kamar, Arga masih terlelap. Tak sadar bahwa badai yang ia takutkan pelan-pelan sedang disusun oleh orang terdekatnya sendiri. Malam itu, ketiga hati berdenyut dalam kegelisahan yang sama, tapi dengan alasan berbeda. Alya takut rahasianya terbongkar. Arga takut kehilangan segalanya. Dan Nadira… untuk pertama kalinya dalam hidupnya, siap menjadi hakim sekaligus algojo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN