Malam itu Alya tidak bisa tidur. Bima sudah terlelap di sampingnya, tapi gelisah jelas terpancar dari wajah sang suami. Alya tahu, pertanyaan yang dilontarkan Bima tadi bukan pertanyaan biasa—itu sudah tanda peringatan keras bahwa waktunya hampir habis. Ia berbaring menatap langit-langit, tangannya memeluk erat selimut, seolah kain tipis itu bisa melindunginya dari badai yang sedang mengintai. Suara detak jam di dinding terasa begitu nyaring. Satu per satu detik bergulir seperti hitungan mundur menuju hari kehancuran. Sesekali, bayi mereka menangis kecil di boks, membuat Alya cepat-cepat bangun, menggendong, dan menenangkan. Saat menatap wajah mungil itu, hatinya semakin tersayat. “Kenapa harus kamu yang lahir dari kesalahan, Nak?” bisiknya lirih, sambil mencium kening anaknya. Air matan

