Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar, tapi tidak mampu mengusir rasa berat di d**a Alya. Ia duduk di meja rias, menatap wajahnya sendiri di cermin. Pucat. Mata sembab. Rambut tergerai berantakan. “Apa yang sudah kau lakukan pada dirimu, Alya…” bisiknya pada pantulan itu. Ia mencoba merias wajahnya, menutup lingkar hitam di bawah mata dengan bedak tipis. Namun, tidak ada yang benar-benar bisa menutupi kegelisahan yang mengendap jauh di dalam hati. Setiap kali ia ingat tatapan Nadira semalam di dapur, tubuhnya gemetar. Pintu kamar terbuka. Bima berdiri di sana dengan kemeja kerja rapi, dasi hitam melingkar di leher. Pandangannya singkat, datar, lalu beralih pada jam di dinding. “Kau belum siap juga?” suaranya berat, tanpa ekspresi. Alya menelan ludah, memaksakan senyum. “Sebenta

