One Night Stand diluar Prediksi
"Let's have fun tonight!!!" pekik Ariana mengangkat gelas cooktail miliknya.
Gadis cantik berusia dua puluh dua tahun yang mengenakan mini dress seksi dengan rambut tergerai sedang merayakan kelulusannya sebagai sarjana psikolog bersama sahabat dan juga kekasihnya, Max Shawn.
"Selamat untuk kelulusan kita, B*tch!" sambar antusias Barbara Lorona, sahabat Ariana yang juga sama-sama lulus kuliah jurusan psikolog.
Tak lama, Max meraih tubuh ramping Ariana dan berbisik, "you are so f*cking gergeous, Beb."
Malam itu, adrenalin yang terpengaruhi oleh alkohol membuat desiran nafas mulai tak teratur. Max mendekatkan bibirnya ke leher Ariana, menci*mi belahan ranum yang selama ini memikat imajinasi. Efek alkohol membuat pikiran mereka kabur, hasrat yang biasanya tertahan kini mulai meleleh dalam desakan yang semakin intens. Tangan Max meraba lebih dalam, suaranya berbisik meminta lebih—sesuatu yang selama ini selalu Max idamkan. "Let's make love, Baby."
Namun, sayangnya, seperti biasa, Ariana menggeleng pelan. "Aku belum siap, Max," tolaknya halus tapi tegas, menahan nafsu Max yang sudah memburu di ujung kesabaran.
Max lantas menarik diri, wajahnya memerah bukan hanya karena mabuk, tapi juga oleh kekecewaan yang mendidih. Sudah enam bulam mereka menjalin hubungan kekasih bahkan tunangan, Ariana terus menolak setiap kali Max mencoba melangkah lebih jauh. Bagi Max, ini bukan sekadar soal keinginan fisik, tapi juga tentang kedekatan yang ia rasa tak kunjung terpenuhi.
"Apa yang salah, Ari? Kukira chemistry kita begitu kuat," protes Max kecil, melerai dekapan Ariana.
"Oh, my God, Max. Bukankah kita sudah membicarakannya. Aku akan memberikannya padamu saat waktunya tiba."
"Whatever, Ari. Kurasa aku ingin mencari udara segar untuk memadamkan birah*ku yang selalu kau ghosting." Max memutar bola matas dengan malas, kemudian beranjak pergi
"Sorry, Beb," seru Ariana sedikit merasa bersalah pada Max yang sudah berlalu.
"Hey, Beb. Apa kau tidak keterlaluan pada Max?" Barbara yang sedari tadi pura-pura minum padahal sebenarnya menyaksikan perdebatan sahabatnya dengan Max kini mulai mendekati Ariana.
"Aku belum siap, Ra," balas Ariana singkat yang lalu menenggak minuman cooktail miliknya.
"Pria punya kebutuhan dan kalian bukannya sudah tunangan. Apa salahnya?" Barbara seakan membela Max daripada sahabatnya.
"Please, respect me, Ra. Kau sahabatku, bukan."
"Baiklah, terserah kau saja. Justru sebagai sahabat aku menilai Max adalah pria yang baik dan cukup sabar yang bahkan setia setiap kau hanya meng-ghosting bi*ahinya saja."
Barabara lantas berlalu pergi menari ke arah kerumunan dance floor, sementara Jayden, teman Max yang bersikap netral sedari kini membuka suaranya.
"Hey, jangan terlalu diambil hati. Keputusanmu sudah benar karena itu adalah hakmu."
"Thank, Jay. Terkadang saran dari pria pendiam sepertimu yang kubutuhkan."
"Ch! Pendiam? Kau tidak tau aku yang sebenarnya, Ari. Aku tidak sependiam yang kau kira."
Keduanya pun memutuskan bersulang tanpa sembari menikmati kemeriahan club malam.
Meski sebenarnya, dalam lubuk hati terdalam Ariana tak enak hati kerap menolak kekasih sekaligus tunangannya itu, tetap saja baginya menyerahkan kesucian itu hal berbeda. Ia berencana memberikan pada Max saat menikah nanti.
"Aku ke toilet dulu, Jay." Tak lama, Ariana izin ke toilet, sementara Jayden pun hendak mencari Max yang tak kunjung kembali setelah 10 menit berlalu.
Sayangnya, Ariana yang sudah sedikit teler malah salah jalan. Bukan menuju toilet, tapi malah menuju sebuah pintu keluar belakang.
Dengan sedikit terhuyung dia membuka pintu dan pemandangan tempat sampah yang ia lihat. "Ergh, aku salah."
Namun, saat hendak menutup pintu, pendengarannya menangkap sesuatu. Yakni suara absurd pria dan wanita yang terdengar seolah-olah sedang bersenang-senang.
"Ahh ...."
Sempat tak ingin ikut campur, akan tetapi suara desahan wanita yang selanjutnya membuat Ariana penasaran.
Ariana lantas melangkah penuh hati-hati dan ....
DEG!
Matanya terbuka lebar kala pemandangan sepasang manusia sedang melakukan adegan kuda-kudaan nikmat dengan posisi berdiri.
"Harder, Max," pinta Barbara mendesak agar Max mengobrak-abrik miliknya lebih cepat.
"Pelankan suaramu, Bar," titah Max penuh penekanan.
"Max dan Barbara ...." Ariana menutup mulutnya yang menganga agar tak berteriak dan spontan bersembunyi di balik tembok. Hatinya jelas tersayat sangat perih karena baru saja menyaksikan kekasih dan sahabatnya berkhianat.
Inikah sebabnya aku aku tak siap menyerahkan kesucian pada Max? batin Ariana meronta.
Gadis itu pun memutuskan untuk kembali ke dalam Club dengan perlahan, melampiaskan sakit hati pada minuman beralkohol.
Tak lama, Ariana pun berlalu keluar Club malam. Tak ingin kedua orang tuanya marah karena mabuk berat. Ia menelpon taksi dengan niat menginap di hotel hingga tersadar dari mabuknya.
"Ari, kau mau kemana?" Jayden meraih tangan Ariana saat memergoki gadis itu di tepi jalan.
"Lepas, Jay. Aku ... baru saja tau Max dan Barbara selingkuh," lirih Ariana menahan air mata.
Jayden sendiri spontan berdecih kesal imbas sahabat yang nyatanya berkhianat.
"Tolong rahasiakan ini sampai aku yang mengambil keputusan. Aku tidak ingin membuat kedua pihak orang tua masing-masing kecewa," pinta Ariana setengah mabuk. "Terutama kedua orang tuaku."
Ariana terpaksa menelan pil pahit sendiri. Nyatanya, dibalik hubungan pertunangan dirinya dan Max, ada sebuah kerjasama proyek penelitian besar antara sang ayah dan calon besan alias keluarga Max.
"Baiklah, akan kuantar kau pulang," tawar Jayden.
"Tidak perlu. Aku akan ke hotel."
Tak ingin mendengar penolakan, Jayden tetap mengantar Ariana sekalipun ke hotel.
Beberapa saat kemudian.
Sesampainya di hotel, Jayden terpaksa meninggalkan Ariana sendiri karena gadis itu memintanya untuk tak ditemani.
Setelah mendapatkan kunci kamar, Ariana sempoyongan menuju kamar yang dimaksud.
"Hey, biar kubantu." Seorang pria menyambar tubuh Ariana yang hampir tersungkur. Hati yang lelah imbas pengkhiatan dan juga pengaruh alkohol membuat tubuh Ariana lemas dan terpaksa menerima bantuan.
Sesampainya di kamar, tubuh Ariana dibaringkan di atas ranjang. Sesaat, sang pria mengamati wajah dan tubuh Ariana.
Tunggu? Dia menangis? batin sang pria merasa prihatin saat menyadari air mata keluar dari ujung mata Ariana yang terpejam.
"Kurasa aku sebaiknya segera pergi sebelum ia bangun," batin sang pria.
GREB!
Tak sampai sepersekian detik, tangan Ariana meraih lengan sang pria.
"Jangan pergi, Tuan," pinta Ariana. Gadis itu lantas mengambil posisi duduk.
Sang pria pun turut duduk di tepi ranjang. "Kau kenapa? Ada yang bisa aku bantu," tawar sang pria.
"Hmmm ..."
"Bicaralah."
Tak lagi merespon dengan kata, otak Ariana yang tak bisa berpikir jernih lagi malah memagut lembut bibir pria itu.
Sementara, reaksi sang pria malah seakan terdiam tak menolak.
"Tuan, bercintalah denganku," pinta Ariana memohon. "Tolong, bebaskan aku dari rasa sakit ini," lirih Ariana.
Untuk sejenak, otak pria itu berpikir keras. Namun, seakan sedang memiliki permasalahan yang sedang menimpanya. Tanpa, banyak kata pria itu bertanya untuk memastikan.
"Apa kau yakin?"
"Hmm, setelah malam ini, kita yang tak saling mengenal bisa kembali pada kehidupan masing-masing," tegas Ariana.
Bibir keduanya kembali saling bertaut, kali ini giliran sang pria yang mengambil kendali.
Dalam remang lampu kamar hotel, seolah memiliki visi misi yang sama, Ariana dan pria itu melakukan olahraga panas.
"Ahhh .... "
Saking nikmat luar biasa, pria itu terus memacu walaupun Ariana memekik cukup kuat karena baru pertama kalinya berhubungan panas dengan pria.
Tak hanya kontak fisik, kontak batin pun tercipta begitu selaras dalam setiap irama pergerakan mereka.
Setiap sentuhan mengalirkan desiran darah mendebarjan, memacu adrenalin seolah keduanya adalah pasangan yang saling mencintai. Tak ada pemaksaan, yang ada hanyalah aksi melampiaskan hasrat liar yang mengangumkan.
Bagaimana bisa, satu malam dengan pria asing terasa sesempurna ini? batin Ariana kagum.
Bagaimana bisa, satu malam dengan gadis asing terasa sesempurna ini? Begitupun dengan batin sang pria.