Herawati menyentuh lengan putrinya lembut. “Sayang, kalau kamu tak sanggup, kita semua akan mengerti. Tak ada beban yang harus kamu tanggung sendiri.”
Namun Lyora perlahan mendongak, matanya tidak sekosong sebelumnya. Ada sesuatu di sana. Luka, tentu. Tapi juga tekad.
“Pa…” katanya dengan suara pelan namun jelas. “Kalau Papa yakin dia pria baik… aku akan bertemu dengannya. Aku akan menikah, bukan untuk menutupi aib, tapi karena aku juga ingin memulai lagi. Dengan seseorang yang tidak berpura-pura mencintaiku, lalu menikamku dari belakang.”
Ridwan mengangguk. “Kamu memang Dirgantara sejati, Nak. Papa bangga padamu.” Ridwan merangkul putrinya erat.
Senyum tipis mengembang di bibir Herawati.
Kayla, yang sejak tadi memeluk perutnya, ikut tersenyum lega. “Kamu tidak sendiri, Lyora,” ucap Kayla lembut. “Sebentar malam, kita semua akan ada di sana.”
“Kalau dia macam-macam, aku duluan yang hantam,” tambah Hans dengan nada ringan, membuat semua tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak tragedi itu.
Suasana sedikit mencair. Tapi di dalam hati semua orang, ada tanda tanya besar: siapa pria itu?
Dan di benak Lyora, muncul satu harapan kecil, semoga pria itu bukan seseorang yang hanya berpura-pura baik di depan. Semoga bukan lagi pembawa luka. Tapi mungkin… seseorang yang akan membangun awal baru yang lebih baik.
Setelah percakapan hangat di meja makan, mereka berpindah ke ruang keluarga. Hans dan Kayla langsung pamit untuk bersiap-siap berangkat kerja.
Lyora duduk bersama orang tuanya di sofa, menikmati kebersamaan itu. Setelah ketegangan semalam, semua wajah yang duduk di sofa pagi ini sudah lebih santai.
Suasana santai itu berubah menjadi ramai saat Elang dan Elenora datang, membawa si kembar Gilang dan Galih.
“Ayo, Gilang dan Galih, peluk sayang dan cium Tante Ly,” kata Elang sambil membawa si kembar mendekati Lyora.
Kedua bocah lucu itu langsung naik ke atas sofa dan berebutan mencium Lyora.
Lyora tertawa melihat kedua keponakannya. Hatinya yang sebelumnya terluka seolah disiram oleh air sejuk, saat kedua bocah itu memeluknya erat.
Suara tawa mereka memenuhi ruangan luas itu.
Diam-diam Lyora membersit ujung matanya. Dia menangis terharu karena limpahan kasih sayang yang dia terima. Fabian dan Talita boleh mengkhianatinya, tapi dia masih memiliki keluarga yang sangat menyayanginya. Bahkan dua malaikat kecil yang menatapnya dengan kedua pasang mata yang begitu jernih, kehadiran mereka saja sudah menguatkannya.
Elang lalu mengajak si kembar bermain di luar, tapi Galih tetap bertahan duduk di pangkuan Lyora. Gilang yang langsung berlari mengikuti pengasuh.
Lyora memperhatikan Galih yang menarik-narik lengan blusnya. Bocah berambut tebal dengan mata bundar dan pipi tembam. Tawa kecilnya mengalir alami, seolah tak ada beban hidup yang bisa menodainya.
"Dia mirip kamu waktu kecil, Bang," ujar Lyora pelan, senyumnya mengembang setengah.
Elang mendongak, mengalihkan pandangan dari anaknya. "Iya? Banyak yang bilang gitu, sih."
Elenora terkekeh. "Tapi tabiatnya lebih kayak aku. Suka ngomel kalau mainannya hilang."
"Tentu saja," celetuk Lyora, ikut tertawa kecil. “Kalau Bang Elang sejak kecil rada pendiam. Benar kan, Ma?” lanjut Lyora sambil menatap ibunya.
“Iya. Kalau wajah Galih, sangat mirip Elang. Coba lihat, persis, kan?” Herawati menunjuk foto keluarga saat anak mereka baru Hans dan Elang. Foto itu dibuat saat Elang berusia tiga tahun dan Hans lima tahun.
“Iya, persis, Ma,” Elenora yang ikut menoleh, melihat foto itu, ikut mengiyakan. “Terutama alis yang tebal. Ini benar-benar Elang,” sambungnya sambil memeluk lengan Elang.
Tawa kecil terdengar. Dan untuk pertama kalinya sejak kejadian mengerikan itu, Lyora merasa jiwanya bernapas kembali.
Namun sejurus kemudian, raut wajah Lyora berubah lebih serius. Matanya mengarah pada Elenora, lalu pada Elang yang kini menepuk-nepuk punggung putranya, menenangkannya agar betah dipangku.
"Aku lihat sendiri, Bang," gumamnya. "Gimana Papa dan Mama pilihkan pasangan hidup buat abang. Mbak Nora bukan cuma cantik dan cerdas, tapi juga penyabar. Setia. Penuh kasih. Lihat kalian berdua… kalian tumbuh bareng. Nggak cuma rumah tangga kalian yang utuh, tapi kalian bikin rumah ini juga tetap hangat."
Elenora menoleh, terharu mendengar itu. Ia menggenggam tangan Lyora. "Terima kasih, Ly."
Lyora menatap wajah kakak iparnya itu dalam. “Aku ingat waktu kamu pertama kali datang ke rumah. Waktu itu aku nggak terlalu antusias, aku pikir Papa aja yang terlalu cepat yakin, mungkin karena bang Elang udah berkali-kali disuruh nikah tapi nggak pernah terwujud. Kalau dibilangin, jawabnya iya iya aja, tapi kenyataannya, pacar aja diputusin. Seolah bang Elang kena kutukan jauh jodoh. Tapi lihat sekarang... ternyata Papa benar. Kamu memang pantas untuk Bang Elang.”
Elang menyahut dengan suara dalam namun lembut, “Papa tidak pernah asal. Dia tidak pernah cari yang sekadar sempurna di atas kertas. Dia selalu cari yang bisa saling mengisi, saling menguatkan.”
Lyora mengangguk pelan. "Dan aku pikir… mungkin aku harus percaya. Percaya kalau Papa juga melihat sesuatu yang aku belum tahu. Percaya kalau dia akan selalu melindungiku dengan caranya. Termasuk memilih calon suami yang tepat untukku."
Elenora mengeratkan genggamannya. “Kamu akan melihatnya setelah bertemu dengannya.”
Elang menambahkan, “Kalau ternyata pria itu baik, beri dia kesempatan. Tapi kalau dia menyakitimu… bahkan satu helai rambut… dia akan berhadapan langsung denganku.”
Lyora tertawa kecil, meski air mata mulai membasahi sudut matanya. “Kalian terlalu sayang sama aku…”
“Karena kamu adik kami,” ujar Elang, “dan karena kamu pantas bahagia, Ly.”
Dalam diam, Herawati yang sedari tadi memperhatikan dari tempatnya duduk, tersenyum haru. “Dan Papa selalu tahu apa yang terbaik. Percayalah, Sayang…” ujar Herawati, semakin menguatkan putrinya.
Pelan-pelan, Lyora memejamkan mata. Ia menghela napas panjang. Semalam, ia masih terluka—tapi saat ini, untuk pertama kalinya, ia membuka ruang kecil dalam hatinya untuk harapan baru.
Sebentar malam, ia akan bertemu dengan lelaki pilihan ayahnya. Entah apa yang akan terjadi… tapi satu hal pasti: Ia tidak akan menangis lagi karena dikhianati. Dia tidak akan hancur. Ia akan berdiri sebagai Lyora Dirgantara—putri yang tangguh, dan perempuan yang layak dicintai.
***
Pukul 09.30 pagi.
Sebuah mobil hitam elegan berhenti di depan gedung pencakar langit milik Dirgantara Group. Dari dalamnya, Lyora melangkah keluar dengan sepatu tumit tinggi dan langkah pasti, seolah tak ada badai semalam yang merobek isi hatinya.
Rumah kembali sepi setelah Elang dan Elenora pulang ke rumah mereka, membawa si kembar yang kelelahan setelah bermain di halaman. Lyora berpikir untuk mengisi waktu dengan pergi ke kantor. Dia tidak bisa diam saja di rumah, setelah semua kekacauan semalam.
Penampilannya sempurna seperti biasa: setelan kerja putih gading berpadu celana bahan abu muda, rambut disanggul rapi, wajah tanpa cela—dandanannya ringan, tapi menonjolkan keanggunan yang menyatu dengan aura dinginnya pagi itu. Tidak ada yang bisa menebak bahwa malam sebelumnya ia menangis tanpa henti hingga mata sembab dan kepalanya nyeri.
Seorang staf keamanan menyambutnya dengan sedikit kaget.
“Selamat pagi, Nona Lyora! Saya kira… Anda sudah—maksud saya… Anda sudah mulai cuti..”
Lyora menyunggingkan senyum tipis. “Memang seperti itu, Pak Sony,” sahutnya. “Tapi saya ingat masih ada laporan yang harus saya periksa kembali. Saya tidak tenang kalau belum memastikannya.”
Petugas itu tersenyum kikuk dan memberi hormat kecil. “Kalau begitu, semangat bekerja, Nona.”
Lyora hanya mengangguk dan melangkah ke dalam lobi. Di depan meja resepsionis, karyawan divisi marketing—seorang perempuan muda berkacamata menyapa Lyora.
“Eh, Mbak Lyora, acara pernikahannya dua hari lagi. Dekorasinya pasti keren banget nanti. Aku lihat vendor-nya tuh yang biasa dipakai acara fashion week, ya?”
Lyora tersenyum, mengangkat alis santai. “Wah, aku juga baru lihat preview-nya kemarin. Banyak bunga putih dan lampu-lampu kecil, katanya mau dibuat kayak taman musim semi. Tapi jangan tanya detailnya ke aku. Aku cuma... pengantin.”
Wanita itu tertawa. “Cuma pengantin, katanya. Padahal yang paling sibuk pasti Mbak Lyora sendiri.”
“Yah, sibuk mikirin ini itu, padahal semua udah ada yang mengurus.” Lyora mengedip jahil.
Mereka tertawa kecil bersama. Saat itu juga, pintu kaca otomatis kembali terbuka. Seorang pria muda dengan potongan rambut rapi dan kemeja biru gelap masuk ke dalam lobi. Penampilannya bersih dan formal, wajahnya tenang tapi fokus, membawa map hitam tebal di tangan kiri.
Langkahnya terarah, penuh percaya diri. Ia berhenti tepat di depan meja resepsionis.
“Selamat pagi,” sapanya sopan. “Saya Wira Laksana. Pagi ini saya ada janji dengan Pak Ridwan Dirgantara.”
Resepsionis, Rasti, segera tersenyum ramah. “Oh, ya, Pak Wira. Anda memang sudah ditunggu. Silakan langsung ke lantai paling atas, ruang CEO.”
“Terima kasih,” ucap Wira sambil membungkukkan badan singkat. Gerakannya halus, penuh kesopanan.
Lyora yang masih berdiri di sisi meja menyipitkan mata, memperhatikan pria muda itu tanpa menunjukkan ekspresi terlalu kentara. Ia bukan orang yang mudah terkesan, tapi ada sesuatu dalam cara pria itu membungkuk dan menatap resepsionis—tenang, penuh kendali.
Tanpa melirik sekitar, pria muda bernama Wira itu berjalan menuju lift.