Bab 9 Siapa Dia?

1621 Kata
Sedikit penasaran, ingin melihat wajah pria bernama Wira Laksana dari dekat, Lyora menyusul menuju lift. "Selamat pagi, saya Wira Laksana. Saya mau ke lantai kantor CEO." Pria itu menyapa ramah dua orang karyawan yang sudah berdiri menunggu di depan pintu lift. Langkah Lyora sedikit tertahan. Suara itu… Nada suaranya empuk, lembut tapi berisi. Ada semacam ketenangan yang jarang Lyora temui dalam percakapan sehari-hari. Ucapan pria itu melayang di telinganya, dan entah kenapa, mengganggu ritme pikirannya yang sedari tadi ia paksa tenang. Lyora menatap pemilik suara yang sudah berdiri membelakanginya—tenang, tegak, menunggu. Punggungnya lurus, bahunya kokoh, tapi tidak kaku. Sikapnya mencerminkan kendali diri yang matang. Ada sesuatu. Mungkin karena senyumnya yang sopan tadi. Mungkin karena tatapannya yang tidak mengganggu, tapi terasa... seolang dia pernah melihatnya sebelumnya. Lyora masih terpaku di tempatnya, sampai kemudian menyadari lift berbunyi pelan dan pintunya mulai tertutup. Dia segera berlari kecil. "Maaf, saya ikut," ucap Lyora cepat sambil menjulurkan tangan menahan pintu. Salah satu karyawan pria di dalam lift segera menekan tombol agar pintunya terbuka kembali. "Oh, Mbak Lyora, silakan," sambut seorang staf perempuan dari divisi administrasi yang masuk beberapa saat sebelum Lyora datang tergesa. Lyora masuk dan berdiri di antara mereka. Ia mengangguk dan melempar senyum kecil pada keduanya. Lalu matanya bertemu dengan tatapan milik pria muda di ujung kiri, berdiri dengan sopan, tangan kanannya memegang map hitam itu di samping tubuhnya. Kemeja biru gelap yang lengannya digulung hingga siku dipadu celana hitam yang rapi membuatnya terlihat seperti karyawan lain yang bediri di dekatnya. Tidak ada tanda-tanda mencolok pada penampilannya, tapi cara pria itu berdiri, cara ia mengangguk kecil sambil tersenyum pada Lyora… terasa sangat berkelas, lebih terlihat sebagai satu kebiasaan, bukan sekedar tradisi kesopanan. Lyora membalas senyum itu secara otomatis. Tapi detik berikutnya, hatinya seperti dijambak oleh sesuatu yang tak terlihat. Bukan karena wajah tampannya yang begitu tenang, tapi tatapan pria itu… senyumnya… Dia seperti pernah melihat mata itu sebelumnya. Di mana? Seketika ruangan lift yang kecil menjadi hening dalam kepalanya. Matanya menatap pria itu lebih lama dari seharusnya, seolah mencoba mengorek kenangan yang terkubur. Namun ting—suara lift menginterupsi lamunannya. Pintu terbuka, menandakan lantai yang dituju Lyora telah sampai. Dengan satu tarikan napas kecil, Lyora melangkah keluar dari lift. Kedua karyawan di belakangnya mengikuti. Namun langkahnya terhenti sejenak di depan lorong. Ia menoleh sedikit. Pria bernama Wira Laksana itu masih di dalam lift, memandangi tombol panel di depannya, tak menyadari kalau sedang diamati. Dia tidak ikut keluar. Tentu saja dia akan ke lantai paling atas. Tadi dia mengatakan sudah punya janji dengan ayahnya. Dalam hati, Lyora menebak. Pasti pelamar kerja. Saat ini divisi HRD memang sedang rekrut kandidat untuk divisi strategik. Bisa jadi dia salah satunya yang telah dipanggil untuk wawancara. Tapi kalau wawancara langsung dengan CEO, berarti kandidat unggulan dong... Sambil menarik nafas pendek, Lyora menatap pria itu sekali lagi. Tanpa sadar, senyum kecil muncul di bibirnya. Bukan senyum basa-basi, tapi seperti refleks dari ketertarikan yang belum bisa dia jelaskan. Dan saat pintu lift mulai tertutup, mata mereka bertemu lagi. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat hati Lyora kembali digelitik rasa aneh. Ia pun berbalik dan berjalan menyusuri lorong menuju ruang kerjanya. Langkahnya terdengar ringan di lantai marmer yang dingin, tapi pikirannya mulai terasa hangat oleh satu pertanyaan: Siapa sebenarnya pria itu? Langkah Lyora terdengar mantap saat menyusuri lorong panjang yang familiar menuju ruangannya. Di kanan kirinya, beberapa karyawan yang sedang berjalan atau mengetik di meja masing-masing sempat melirik, beberapa menyapa dengan senyum ramah. “Pagi, Mbak Lyora.” “Wah, nggak nyangka hari ini masuk,” gumam salah satu staf keuangan sambil buru-buru menutup file presentasi. Lyora hanya tersenyum hangat dan mengangguk. Ia tak mau terlalu mencolok. Tak ingin menjadi pusat perhatian, apalagi setelah insiden yang sempat membuat nama Fabian dan Talita mencuat semalam. Syukurlah, semua postingan itu telah lenyap—pasti ulah kakaknya, Hans dan Elang, yang tahu betul bagaimana menutup jejak digital secepat membalik telapak tangan. Saat menarik tuas alarm kebakaran, Lyora tidak sempat berpikir kalau itu akan berdampak langsung pada keluarganya. Dia hanya ingin memberi mereka pelajaran. Dia bersyukur ayahnya dan kakak-kakaknya cepat bertindak. Saat pintu kaca ruangan terbuka dengan bunyi gesekan halus, kesibukan pagi yang khas menyambutnya. Dia melihat beberapa staf sudah sibuk di kubikel masing-masing, mengetik atau berdiskusi kecil. Salah satunya adalah Latifa, yang duduk tidak jauh dari mejanya, menunduk sambil membuka lembaran laporan keuangan triwulan sebelumnya. "Lyora?" suara Latifa naik satu oktaf saat melihat sosoknya melangkah masuk dengan tenang, seolah tak ada badai yang baru saja menghantam hidupnya. "Astaga, kamu beneran masuk hari ini?" Melihat tatapan Latifa, Lyora bisa menebak, Latifa sepertinya sempat mengetahui skandal itu. Lyora berusaha bersikap tenang, tersenyum dan meletakkan tas kerjanya di meja kecil di sudut, lalu duduk santai seperti biasa. Ia membuka laptop dan mulai menyalakan perangkatnya. "Nggak ada alasan untuk nggak masuk kerja, Latifa. Laporannya terus membayangiku kayak mimpi buruk, jadi, aku harus memeriksanya kembali biar lebih yakin." ucapnya ringan, seolah tak terjadi apapun semalam. Latifa bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekat, melipat tangan di d@da sambil menatap Lyora tajam. Lyora merasa melihat sorot prihatin melintas di sepasang mata hitam Latifa, namun gadis yang hampir seusianya dan telah menjadi teman akrabnya itu dengan cepat mengubah ekspresinya. "Ly… kamu itu calon manten. Harusnya hari ini udah sibuk spa, luluran, perawatan wajah, perawatan kuku, segala macam. Bukan malah ke sini, memeriksa laporan. Itu bisa aku tangani, Ly!" ujarnya dengan nada gemas. "Ini tanggung jawabku, say," jawab Lyora, tetap fokus menyalakan laptopnya. "Laporan audit proyek Dirgantara Tower itu belum final. Aku nggak tenang kalau belum cek sendiri." Latifa menghela napas. "Laporan itu udah kamu kasih ke aku kemarin. Dan aku udah selesai review-nya, tinggal kamu acc aja. Kamu tuh gimana sih…" Lyora menoleh pelan, lalu menatap rekan kerjanya itu dengan senyum teduh. “Justru karena kamu yang pegang, aku jadi tenang. Tapi aku tetap harus cek ulang. Bukan karena nggak percaya kamu, tapi aku janji ke Pak Haris kalau aku yang akan presentasiin minggu depan. Masa aku nyerahin semua ke kamu?” Latifa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, lalu menghela napas panjang. “Kamu itu ya… padahal kalau kamu mau, tinggal angkat telepon, dan semua anak accounting sampai ke divisi legal pasti beresin kerjaan kamu. Tapi kamu malah pilih duduk bareng kita-kita di sini. Nggak ngerti lagi.” Latifa geleng-geleng kepala. Lyora tersenyum kecil dan kembali menatap layar laptopnya yang kini menampilkan dashboard laporan. “Karena aku memang bukan putri kerajaan, Latifa. Aku cuma anak magang… yang kebetulan bapaknya CEO.” “Magang dari Oxford!” seru Latifa, terkekeh. “Biarpun S2 dari luar negeri, kamu nggak pernah songong. Itu yang bikin semua orang di sini sayang kamu, Ly.” Lyora melirik sahabatnya itu dan terkikik kecil. “Makanya jangan bikin aku jadi bahan pujian. Mending bantuin aku buka data terakhir dari tim QC. Aku mau pastiin proyek ini bisa di-approve sebelum aku cuti.” Latifa membalikkan badan, mengangkat tangan menyerah. “Baiklah, nona pekerja keras. Tapi setelah ini kamu harus janji, pulang cepat. Minimal jam tiga kamu udah spa. Titik.” “Oke, aku coba,” jawab Lyora. “Bukan coba. Harus!” ujar Latifa tegas. Lyora sempat melihat cahaya di mata Latifa meredup. Dia sontak menunduk, menghindari tatapan itu. Sebagai rekan kerja yang peduli, dan sudah mendengar banyak cerita tentang hubungannya dengan Fabian, Latifa bisa saja akan bertanya, dan dia tidak siap untuk menjawabnya. “Kamu baik-baik saja, Ly?” Nah, kan? Latifa akhirnya bertanya. Lyora mengangkat wajahnya dengan perasaan tegang. Dia sudah siap menunjukkan senyum terbaiknya, namun senyumnya tidak mengembang sempurna, demi melihat ekspresi marah yang telah menggantikan kesedihan yang tadi membayang di wajah Latifa. Lyora jadi merasa heran sendiri. Ada apa? Latifa mendekat, mencengkeram tangan Lyora sambil sedikit membungkuk. “Senang melihat kamu kuat, Ly.” Ucap Latifa sambil menegakkan tubuhnya kembali. “Aku nggak akan komentar atau bertanya apa-apa, asal jangan nikahi pria bajing@n menjijikkan itu, oke?” “Oke!” Lyora menjawab bersemangat, membuat alis tebal Latifa bertaut. “Aku akan menikah dengan pria pilihan orang tuaku. Aku percaya mereka akan memilih yang terbaik.” Baru Latifa, selain keluarganya yang mengetahui ini. “Oh, hebat, Ly. Senang sekali mendengarnya.” Latifa tertawa. Seolah beban berat telah terangkat. Dia berjalan ke mejanya dengan langkah ringan. Lyora geleng-geleng kepala, seraya kembali menatap layar laptopnya dengan perasaan lega. Sebelumnya, hatinya masih berusaha mengejar ketertinggalan dari rasa percaya yang remuk. Tapi hari ini, dengan teman-teman seperti Latifa dan pekerjaan yang menyita perhatian, setidaknya ia punya ruang untuk bernafas sejenak dari luka yang belum sembuh. Dan di sela-sela fokusnya, wajah pria bernama Wira Laksana itu sempat melintas di benaknya—sekilas, seperti bayangan yang belum sempat dikenali. *** Cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela kaca besar di ruang CEO lantai tertinggi Dirgantara Group. Ruangan luas itu berbalut interior kayu jati dan sentuhan marmer abu yang elegan. Meja kerja besar milik Ridwan Dirgantara berdiri gagah menghadap panorama kota yang sibuk. Di sofa panjang di sisi kanan ruangan, Elang duduk bersandar sambil menggulir layar ponsel, sementara dokter Hans berdiri di dekat meja kopi dengan secangkir teh hitam. Ridwan Dirgantara—berdiri di dekat jendela, tangan di belakang punggung, mata menatap ke arah skyline kota—tampak tenang namun penuh wibawa. Tak butuh banyak kata untuk menunjukkan bahwa dialah kepala keluarga dan pemilik tahta perusahaan raksasa itu. “Elang,” ucapnya pelan, suaranya berat namun bersih. “Hans.” Kedua putranya menoleh bersamaan. Ridwan berbalik, lalu perlahan berjalan menuju mereka. “Aku ingin kalian tahu… soal pria yang akan makan malam dengan kita nanti.” “Mama udah cerita sedikit,” sahut Elang sambil menegakkan duduknya. “Tapi aku belum tanya lebih jauh. Siapa dia, Pa?” Hans, yang sejak tadi diam, kini mengalihkan pandangannya dari cangkir teh ke arah ayahnya. “Keputusan ini cukup mengejutkan, Pa. Maksudnya… ini cepat sekali,”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN