Elang mengiyakan kata-kata Hans. “Benar, Pa. ini terlalu cepat. Papa serius?” tanya Elang, menatap tajam pada ayahnya.
Ridwan hanya mengangguk pelan. “Tentu saja. Kamu pikir Papa main-main soal ini?”
“Tidak juga. Tapi cepat sekali, Pa.” Elang menggeleng, seolah tak percaya. Padahal pembicaraan mengenai hal itu sudah dibahas sejak semalam. Tapi tetap saja masih terasa mengejutkan, terlebih sekarang dia dan Hans ada di sana untuk bertemu pria pilihan ayah mereka itu.
“Aku sempat berpikir, Lyora mungkin butuh waktu untuk tenang dulu. Sekarang kita malah akan segera bertemu calon pengganti buat—”
“Untuk masa depan Lyora,” potong Ridwan tenang. “Bukan untuk mengganti siapa pun.”
Hans meletakkan tabletnya yang untuk sesaat sempat menyita perhatiannya, dan menghela napas pendek. “Aku sih nggak kaget Papa bisa bergerak secepat ini. Tapi yang bikin aku penasaran… siapa sih pria ini?”
“Orangnya masih muda, tapi konsep dan cara berpikirnya sangat matang. Dia tahu apa yang dia cari.”
Elang menatap ayahnya penuh selidik. “Papa biasanya butuh waktu panjang untuk menilai orang. Tapi yang ini… langsung dipuji habis-habisan. Bahkan langsung dipilih jadi menantu.”
Ridwan tertawa kecil, namun tak ada kesan main-main dalam matanya. “Kamu tahu sendiri Papa tidak mudah terkesan. Tapi pria ini... dia berbeda.”
“Berarti memang sehebat itu?” Hans bersedekap. “Tunggu dulu. Jangan-jangan dia anak konglomerat yang diam-diam punya saham besar di hotel berbintang?”
“Tidak,” jawab Ridwan. “Justru itu yang membuat Papa makin percaya. Dia merintis sendiri. Dengan uang sendiri. Jaringan sendiri. Papa sudah telusuri rekam jejaknya, dan yang Papa lihat adalah orang yang tidak hanya cerdas, tapi juga punya prinsip dan kendali emosi yang luar biasa.”
Elang mengerutkan kening. “Kendali emosi?”
“Iya,” Ridwan mengangguk. “Dia datang dengan tawaran kerja sama yang ditolak oleh tiga perusahaan besar sebelumnya. Tapi dia tidak membawa dendam atau ambisi kosong ke sini. Dia membawa rencana matang, pengetahuan pasar, dan—yang paling penting—cara bicara yang tidak melebih-lebihkan apa pun.”
Hans menyipitkan mata. “Kalau benar begitu... sepertinya dia memang sempurna.”
“Bukan sempurna, karena yang sempurna itu hanya Allah. Tapi aku bisa lihat, dia punya potensi untuk menjadi suami yang baik untuk adik perempuan kalian.”
“Tapi tetap saja, ini terlalu cepat, Pa. Perbuatan Fabian pasti sangat melukai Lyora. Walaupun dia tidak terlalu menunjukkannya, tapi hatinya pasti hancur sehancur-hancurnya. Dia menjalin hubungan dengan laki-laki b******k itu selama enam tahun, lalu dikhianati, dengan sahabatnya pula. Gila aja, Pa. Lyora pasti menurut dicarikan pengantin pengganti karena sedang bingung, tidak bisa berpikir jenih. Apa ini tidak terlalu cepat untuk Lyora, Pa?” Elang menatap ayahnya khawatir.
Ridwan menggeleng tenang. “Memang terlalu cepat. Tapi bukan keputusan tergesa. Aku sudah lama memperhatikan pemuda itu, sejak dia pertama kali mengajukan proposal kerja sama ke kita enam bulan lalu.”
Hans menaikkan alis. “Jadi dia memang benar-benar bukan orang sembarangan, sampai papa bisa begitu yakin?”
Ridwan menatap mereka dalam-dalam, lalu duduk di kursi kulit di dekat meja kopi, menyilangkan kaki dan menyandarkan punggung.
“Aku sudah menyelidiki semuanya. Nama keluarganya Laksana,” ucapnya mantap. “Usianya baru 27 tahun. Lulusan manajemen hospitality dari Swiss dengan beasiswa penuh dan Magister Bisnis Manajemen dari Udayana dengan biaya sendiri. Dia menolak keinginan ayahnya yang menginginkan dia mengikuti jejaknya yang seorang diplomat. Dia mengikuti dorongan hatinya sendiri, berjuang tanpa bantuan orang tuanya sama sekali. Dan tiga tahun terakhir dia membangun hotel butik, mulai dari satu properti kecil di Ubud—dan sekarang sudah empat properti aktif di kota-kota wisata. Semuanya berkonsep intimate, modern, dengan layanan bintang lima. Tim perusahaan kita sudah mengecek—bisnisnya tumbuh cepat, tapi stabil. Manajemennya bersih, modelnya kuat, dan dia tidak terlibat hutang besar.”
Hans menyipitkan mata. “Keluarga Laksana. Namanya kayak pernah aku dengar. Hotelnya yang ‘The Laksana Grasslight’ itu, bukan?”
Ridwan mengangguk. “Betul. Kamu pernah menginap di sana?”
“Waktu rapat tahunan, akhir tahun lalu. Waktu itu hotelnya baru selesai direnovasi dengan konsep baru. Mengesankan. Itu hotel nyaman banget. Tenang dan... bersih. Semua peserta rapat merasa puas dengan pelayanannya. Tapi tunggu…” Hans melirik ayahnya curiga. “Jangan bilang Papa udah mulai incar dia sejak itu.”
Ridwan tak menyangkal. “Aku tidak gegabah dalam memilih orang yang akan masuk ke keluarga kita, apalagi untuk menjadi suami adik kalian. Tapi waktu itu Lyora sudah memiliki pilihan sendiri. Aku hanya berharap dengan kejadian itu, Lyora bisa melanjutkan hidup dan bahagia dengannya. Mungkin sudah jalannya seperti ini.”
Hans masih menatap ayahnya dengan ekspresi antara penasaran dan heran. “Tapi kenapa dia, Pa? Dari semua anak konglomerat, atau direktur muda yang antre ingin dekat dengan Lyora, kenapa pilih pengusaha perhotelan yang bahkan belum lama papa kenal?”
Ridwan tersenyum kecil, lalu menjawab lirih namun jelas, “Karena dia bukan pengejar nama besar. Dia orang yang jujur. Dia membangun bisnisnya dengan kerja kerasnya sendiri, tapi tetap menggunakan nama keluarganya dengan bangga. Nama perusahaannya The Laksana Hotel and Property. Itu menjadi nila plus buatnya. Seorang laki-laki yang pasti mencintai keluarganya dan terus membangunnya.”
Ridwan menatap kedua putranya bergantian, lalu berkata tegas, “Hanya laki-laki seperti ini yang pantas menjadi suami Lyora. Menjadi menantu laki-laki pertama di keluarga Dirgantara.”
Elang tertawa ringan. “Naluri papa sudah tidak diragukan lagi kalau soal milih jodoh, mah. Aku sama Nora bukti hidupnya, Hans.”
“Okee. Aku percaya!” Hans nyengir.
Ridwan tertawa mendengar percakapan kedua putranya.
“Anak ini punya rasa hormat yang tidak dibuat-buat,” ujar Ridwan. “Waktu pertama kali kami bertemu, dia tidak menyanjung berlebihan. Tidak juga meremehkan. Dia tawarkan kerja sama, dia juga yang memimpin presentasi. Tegas, percaya diri, yakin dengan tujuannya, tapi sopan. Aku suka pria muda yang tahu caranya berdiri di kaki sendiri, namun tidak sampai lupa diri.”
Hans mengangguk perlahan. “Oke. Kalau Papa sudah yakin, aku dukung sepenuhnya. Tapi... Lyora gimana? Apakah dia siap?”
Ridwan terdiam sejenak. Lalu menghela napas. “Lyora butuh waktu untuk pulih. Tapi dia anak yang kuat. Dan aku tahu... dia pasti siap. Waktu yang akan membuktikan semuanya.”
Ridwan menatap kedua putranya dalam diam sesaat, lalu berkata, “Kalian akan melihatnya sendiri nanti.”
Elang bersiul pelan. “Wah, ini seperti trailer film yang bikin penasaran. Papa yakin banget sama pria ini sampai tidak memberi kami waktu buat interogasi dulu?”
“Justru karena yakin, Papa ingin kalian berkenalan tanpa prasangka. Lihat dan nilai sendiri. Tapi satu hal yang perlu kalian tahu—Papa tidak hanya memilih calon menantu. Papa juga memilih seseorang yang kelak bisa jadi bagian dari kita.”
Hans mengangguk pelan. “Berarti bukan hanya tentang perasaan Lyora, tapi juga soal keluarga ini ke depannya.”
“Benar,” ujar Ridwan. “Keluarga kita butuh fondasi yang kuat, dan Papa ingin Lyora punya seseorang yang bisa berjalan sejajar dengannya. Bukan hanya karena dia putri Ridwan Dirgantara, tapi karena dia pantas mendapatkan cinta yang utuh, bukan yang setengah-setengah.”
Elang menatap ayahnya lekat-lekat, lalu tersenyum. “Yah, kalau memang dia orang baik… kita akan segera melihatnya. Semoga dia tidak terkejut saat masuk ke dalam keluarga Dirgantara.”
“Dan cukup sabar untuk menghadapi Lyora yang rada keras kepala,” tambah Hans sambil tertawa pelan.
Ridwan ikut tersenyum, tapi tatapannya tetap penuh keyakinan. “Kalau dia bisa buat Lyora tersenyum dengan tulus… maka aku tahu, pilihanku tidak salah.”
Mereka bertiga saling pandang dalam diam. Di luar sana, hari masih panjang. Tapi di dalam ruangan itu, mereka sama-sama yakin, ini keputusan terbaik.
Hening sejenak. Elang memandang ke arah pintu.
“Jadi... kapan kita ketemu pria misterius itu?”
Ridwan menatap arlojinya sejenak. “Sebentar lagi.”
Suara ketukan di pintu membuat ketiganya menoleh bersamaan. Ketukan tiga kali itu terdengar tegas. Berkesan orang dibalik pintu mengetuk tanpa keraguan, penuh percaya diri.
“Masuk,” kata Ridwan tanpa jeda, seolah sudah tahu siapa yang ada di balik pintu.
Pegangan pintu berputar pelan. Seorang pria muda melangkah masuk dengan tenang. Dia mengenakan kemeja biru gelap sederhana yang digulung lengannya hingga siku dan celana bahan berwarna hitam dengan senyum santunnya. Sorot matanya jernih, tidak menunjukkan kecanggungan sedikit pun, hanya ketegasan yang terbungkus ketenangan.
“Itu dia!” seru Ridwan dengan semangat yang jarang terdengar dari pria sepuh itu. “Calon adik ipar kalian.”
Hans sontak menegakkan duduknya, sedangkan Elang membeku. Sejenak napasnya tercekat. Matanya membulat saat wajah pria muda itu semakin dekat, berdiri tegak beberapa langkah dari meja mereka.
“Selamat siang, Pak Ridwan.”
Ridwan berdiri dan menjabat tangannya erat. “Selamat datang kembali ke kantor kami, Wira. Mari, perkenalkan ini putra sulung dan kedua, saya. Hans dan Elang. Mereka ini dokter dan pilot.” Kata Ridwan dengan bangga.
“Selamat siang, Dokter Hans,” sapa pria itu sopan, lalu sedikit menunduk ke arah Elang, “Dan Tuan Elang Dirgantara.” Dia menjabat tangan mereka erat lalu berdiri tegak.
Elang melongo. “Kamu..”