Bab 6 Tekad Lyora

1447 Kata
Lyora memutar kunci pintu kamar dan melangkah keluar. Di ruang keluarga, ia melihat Herawati dan Ridwan sedang duduk, wajah mereka penuh kekhawatiran. “Ma… Pa…” Herawati langsung bangkit dan memeluknya erat. Air mata menetes dari mata wanita itu, tapi pelukannya tetap hangat. “Lyora… Astaga, Nak… Kamu kenapa? Kamu bikin Mama dan Papa khawatir…” Lyora hanya diam, membiarkan pelukan itu menguatkannya. Sepertinya ayah dan ibunya belum mengetahui skandal itu, padahal dia yakin, setelah insiden alarm kebakaran, pasti ada yang memposting gambar Fabian dan Talita. Kecuali ada yang berhasil menghalangi, dengan kekuatan besar tentunya. Lyora duduk, membuka tas kecilnya, dan mengeluarkan beberapa lembar foto dan test pack yang sebelumnya dibawa oleh Talita. Ia meletakkan semua itu di atas meja. Herawati memandang bingung. “Ini… apa, Sayang?” “Fabian… selingkuh sama Talita, Ma. Dan sekarang Talita hamil. Semua bukti itu Talita sendiri yang kasih ke aku tadi. Dan aku juga memergoki mereka di apartemen Fabian.” Suaranya pelan dan sedikit bergetar, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Ia menahan semuanya, karena ia tidak ingin membuat orangtuanya makin sedih. Herawati ternganga. “Tapi… tiga hari lagi pernikahan kalian. Ya Allah, gimana ini?” Ridwan yang dari tadi diam, akhirnya bersuara dengan nada tenang tapi tegas. “Biar Papa yang urus semuanya. Papa yang akan menyelesaikan ini.” Lyora terkejut. Dia tadi mempertimbangkan untuk memperlihat foto-foto Fabian dan Talita, namun, dia merasa tidak seharusnya kedua orang tuanya ikut menyaksikan hal yang sangat menjijikkan itu. Sudah cukup dengan bukti yang ia perlihatkan. Berarti ayahnya sudah tahu. ‘Tentu saja, tidak mungkin papa nggak tahu.’ Cetus Lyora dalam hati. Sudah pasti ada orang yang akan memberitahu. Namun, sepertinya ibunya belum tahu mengenai skandal Fabian dan Talita. Lyora menatap ayahnya dengan pandangan sedih. “Menyelesaikan bagaimana, Pa? Pesta pernikahannya tinggal tiga hari lagi. Semua sudah siap… dekorasi, katering, undangan, semuanya,” suara Lyora pecah di akhir kalimat. Ruang tengah rumah keluarga Dirgantara yang biasanya hangat dan penuh canda berubah menjadi sunyi. Lampu kristal di langit-langit bersinar temaram, menciptakan bayangan yang bergelantung seperti rasa tak percaya yang memenuhi ruangan. Ridwan tanpa sadar mengepalkan tangan. Napasnya berat. Di sampingnya, istrinya terduduk dengan ekspresi bingung, kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah bisa menahan waktu agar tak bergulir lebih jauh ke arah kehancuran. Sementara itu, Lyora duduk di sofa tunggal di hadapan kedua orang tuanya. Wajahnya pucat, tapi tatapannya tajam, penuh keteguhan. “Pestanya harus dibatalkan, Lyora,” ujar Ridwan Dirgantara dengan suara serak namun tegas. “Papa tidak akan membiarkan kau menikahi pria sekeji itu. Tidak setelah apa yang dia dan… Talita lakukan padamu.” Kekecewaan terpeta jelas di wajah Ridwan Dirgantara. Mereka juga sangat mengenal teman Lyora bernama Talita itu. Sungguh tidak menyangka, seseorang yang mereka terima dengan kehangatan di rumah ini, yang mereka perlakukan dengan sangat baik, seolah keluarga sendiri, tega mengkhianati putrinya. Kalau mengikuti dorongan hati, Ridwan bisa saja menghancurkan wanita itu hanya dengan kedipan mata. Lyora melihat wajah ayahnya. Dia menelan ludah. Hatinya masih terasa seperti dirajam, tapi ia mengangkat dagunya. “Nggak, Pa!” Sela Lyora cepat dengan nada tegas. “Pernikahan itu harus tetap berlangsung. Aku nggak akan membiarkan mereka merusak nama baik keluarga kita. Pa, Ma… Aku yang bersalah dalam hal ini, karena sembarang memilih laki-laki. Begitu bodoh hingga dengan mudahnya tertipu. Jadi aku harus memastikan kerusakannya tidak separah itu.” Ibunya membelalakkan mata. “Apa maksudmu, sayang? Kau tidak harus menikahi Fabian! Kita bisa urus semuanya. Tak apa kalau orang tahu pembatalan ini—lebih baik daripada kau mengorbankan hidupmu!” Ridwan berbalik cepat. “Tidak ada yang bisa menyalahkanmu, Lyora. Nama baik keluarga bisa dipulihkan. Tapi hidupmu, kebahagiaanmu, tidak bisa dibeli dengan uang! Kamu nggak perlu mengorbankannya dan menikahi laki-laki laknat itu!” Namun Lyora menggeleng perlahan. “Aku nggak akan menikahi Fabian, Pa.” Sejenak, hening membungkus mereka. Lalu suara ibunya terdengar ragu, “Tapi kau barusan bilang…?” “Aku tetap akan menikah,” ucap Lyora. Ia menarik napas dalam, lalu menatap ayahnya. “Bukan dengan Fabian, tapi dengan laki-laki yang Papa dan Mama pilihkan. Siapa pun dia. Asal dia bersedia menikah denganku.” Tuan Dirgantara tampak tercengang. “Kau... yakin?” Lyora mengangguk. “Aku tahu ini bukan keputusan biasa, Pa, Ma. Tapi pesta tinggal tiga hari lagi. Undangan sudah tersebar. Nama keluarga kita dipertaruhkan. Aku nggak mau keluarga kita menanggung malu karena ulah dua pengkhianat.” Suara Lyora sedikit bergetar saat menyebut kata “pengkhianat,” tapi ia tak membiarkan air matanya jatuh. Ia sudah menangis berjam-jam. Kini, hanya ada tekad tersisa. Ibunya beranjak dari sofa dan meraih tangannya. “Tapi… menikah itu bukan hanya soal menjaga nama baik, Lyora. Itu soal hidupmu. Masa depanmu.” “Aku tahu, Ma,” gumam Lyora. “Dan mungkin aku akan hidup dalam pernikahan tanpa cinta. Tapi lebih baik seperti itu daripada aku membiarkan mereka menang. Aku bisa belajar mencintai suamiku.” Ridwan Dirgantara perlahan mendekat, menatap putrinya dalam-dalam. “Apa kau yakin tidak akan menyesal?” Lyora memalingkan wajah, matanya menatap foto keluarga mereka di dinding. Di dalamnya, ia tersenyum cerah bersama kedua orang tuanya, dan keempat saudaranya, seolah masa depan begitu pasti dan hangat. “Aku sudah cukup menyesal karena pernah percaya buta pada cinta,” jawabnya lirih. “Sekarang aku memilih untuk percaya pada kalian… pada keluarga. Dan kalau ada satu hal yang bisa menyelamatkan harga diri ini, maka aku akan melakukannya.” Ridwan terdiam, lalu perlahan mengangguk. Ada kebanggaan dalam tatapannya—campur aduk dengan kesedihan. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan menekan beberapa angka. “Baik. Ayah akan atur semuanya.” Dia lalu beranjak menjauh, berbicara tegas di telepon, pada orang yang dia hubungi, untuk membuat pengaturan. Dia juga menelepon Elang dan Hans. ** Menit berlalu. Suasana rumah keluarga Dirgantara masih dipenuhi ketegangan yang menggantung pekat di udara. Lampu-lampu ruang tamu menyala terang, namun tak bisa mengusir bayang muram yang bersembunyi di setiap sudut. Pintu utama terbuka. Sepasang kaki melangkah masuk, disusul langkah elegan sepasang kaki anggun yang berjalanl di belakang. Elang Dirgantara mengenakan setelan jas hitam yang sudah agak kusut. Di sebelahnya, Elenora tampil anggun dalam gaun berwarna champagne, rambutnya digulung rapi, meski tampak lelah setelah menghadiri pesta pernikahan kolega mereka. “Papa, Mama, Lyora…” sapa Elang sambil duduk di sofa. “Papa meminta kami segera datang, saat menjelang tengah malam seperti ini, ada masalah apa, Pa?” Elenora mengamati wajah kedua mertuanya dan berakhir di wajah Lyora. Dia langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres. “Ada apa ini? Lyora…?” Belum sempat ada yang menjawab, suara mesin mobil berhenti di susul pintu mobil dibanting pelan, terdengar dari luar. Tak lama, Hans muncul bersama istrinya, Kayla, yang sedang hamil. Hans memegangi lengan Kayla dengan hati-hati. “Maaf, kami agak telat. Tadi sempat mampir sebentar ke rumah Mama Kayla,” ujarnya sambil membantu istrinya duduk di sofa. Kayla tampak cemas melihat wajah-wajah tegang yang menyambut mereka. “Ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Hans, tatapannya langsung berpindah ke Ridwan. Ridwan memijat pelipisnya sebentar, lalu menatap anak-anaknya dengan serius. “Ada insiden... besar. “Elang, Hans,” ucapnya tegas, suaranya berat. “Kalian harus tahu. Fabian… dia mengkhianati Lyora.” Seketika, ruangan menjadi sunyi. Elang menegakkan tubuhnya. “Apa maksud Papa?” Ridwan menoleh ke arah istrinya yang masih duduk, lalu menatap Hans dan Elang. “Talita, sahabat Lyora… dia tidur dengan Fabian. Di apartemen pria itu. Lyora yang memergoki mereka.” Elenora menyentakkan tangan ke d@da. “Ya Allah…” “Dan...” suara Ridwan terdengar geram, “Lyora melihat semuanya. Wanita itu sebelumnya sudah mengaku hamil anak Fabian. Kabar ini bisa menyebar dengan sangat cepat.” Hans berdiri. “Gila. Mereka benar-benar gila!” Kayla menatap Lyora yang duduk di sofa tunggal dengan wajah pucat dan mata bengkak, tapi menatap mereka dengan tegar. “Bang Elang…” gumam Lyora, matanya menatap kakak sulungnya penuh luka. Elang mendekat, duduk di lengan sofa dan merangkul bahu adik perempuannya. “Jangan khawatir, Ly. Kami di sini. Kami akan mendukungmu, karena kita keluarga.” “Terima kasing, Bang.” Elang mengangguk, menepuk bahu Lyoran pelan. “Jadi... kamu masuk ke apartemennya sendiri?” tanya Elang perlahan. Lyora hanya mengangguk. Hans mengerutkan dahi. “Tunggu, kamu bilang kamu memotret mereka? Kamu simpan gambar itu, Ly?” “Ya,” jawab Lyora pendek. “Untuk bukti. Untuk mereka yang mungkin tidak percaya kalau Fabian dan Talita—” Ridwan mengangkat tangan, menghentikannya. Tidak tahan melihat kesedihan di wajah dan sorot mata putrinya. “Nggak usah membahas mereka lagi. Sudah cukup. Sekarang kita harus segera bertindak untuk menghentikan efek dari masalah ini.” “Aku yang akan urus ini,” ucap Hans mantap. Ia sudah menyalakan ponselnya. “Kita harus bergerak cepat sebelum media atau pihak luar mencium ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN