Bab 5 Salah Memilih Lawan

1265 Kata
Dia membuka aplikasi pesan hijau dan melihat beberapa pesan dari teman-teman di group alumni. Rupanya ada seorang tetangga di apartemen yang sempat memposting foto saat Fabian dan Talita berdiri di lorong apartemen dengan tubuh nyaris telanjang dan acak-acakan. Rupanya insiden alarm kebakaran efektif juga. Lyora tersenyum sinis, sekaligus prihatin mengingat imbasnya bukan hanya pada Fabian dan Talita, tapi juga pada dirinya. Pada keluarganya juga. Itu sangat memalukan. Terlebih lagi kalau orang-orang yang telah menerima undangan pernikahan mereka menerimanya, pasti keluarganya akan lebih malu lagi. Lyora, masih dengan tangan gemetar menggulir layar, dan melihat pesan dari Fabian. [Sayang, tolong beri aku kesempatan untuk bicara,] [Tolong angkat teleponnya, Sayang. Aku akan jelasin semuanya.] [Aku cemas, please... tolong jangan diam kayak gini, sayang,] Semua pesan itu cuma dibaca sekilas. Lalu dia hapus. Hatinya sudah terlalu penuh. Sakit. Lelah. Tidak sanggup lagi berpura-pura kuat. “Ya Allah... kenapa semua harus kayak gini?” gumamnya pelan, hampir seperti desahan. Tangisnya meledak lagi. Bahunya berguncang, napasnya sesenggukan. Padahal… tiga hari lagi mereka harusnya menikah. Hari itu juga dia dan Jenia akan berulang tahun yang ke-24. Ia sengaja pilih hari itu sebagai simbol syukur dan pengingat atas doa yang dulu ia panjatkan waktu ulang tahun mereka yang ke-15. Waktu itu, untuk pertama kalinya dia meminta dengan sungguh-sungguh untuk dipertemukan dengan anak laki-laki kecil itu. Sosok yang terus mengisi hatinya hingga masa remaja yang ceria dan dia melihat teman-temannya mulai antusias membicarakan lawan jenis. Doa itu dia panjatkan berulang-ulang terus selama bertahun-tahun. Doa yang akhirnya dikabulkan oleh Tuhan beberapa tahun kemudian lewat kehadiran Fabian. Pria itu datang dalam hidupnya—Fabian Hartanto. Satu-satunya laki-laki yang berhasil membuka hatinya, memenangkan cintanya, dan membawa kebahagiaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sampai beberapa jam lalu, Lyora masih menganggap pria itu sebagai sebuah keajaiban. Dan sekarang? Semua itu terasa seperti lelucon kejam dari semesta. Dengan suara parau, Lyora berbisik lirih di antara isaknya, “Ya Allah... kalau dia bukan orangnya... kenapa Kau izinkan aku jatuh cinta sedalam ini?” Kamar itu hening, seolah memahami kehancurannya. Suara ketukan keras di pintu mendadak membuat Lyora tersentak. “Sayang, tolong buka pintunya… Ini aku, Sayang…” Lyora meringkuk di atas kasur, memeluk lututnya sendiri seperti anak kecil yang ketakutan. Wajahnya tertutup, isakannya tertahan di balik lutut. Air mata terus mengalir, tanpa bisa dihentikan. “Sayang…” “Sayang, tolong buka pintunya…” Suara itu. Fabian. Akhirnya datang juga setelah semua panggilannya diabaikan, semua pesannya dibaca lalu dihapus begitu saja. Mata Lyora terasa panas. Rasa sakit dan benci yang menggunung membuat dadanya sesak. Hatinya bergemuruh hebat, dan untuk sesaat, muncul dorongan kuat dalam dirinya—ingin membuka pintu itu dan menumpahkan semua amarah. Ia ingin melihat wajah b@jingan itu hanya untuk menyakitinya dengan kata-kata. Lyora turun dari ranjang, menjejak lantai dingin, dengan langkah sedikit goyah dia berjalan menuju pintu. Kemarahan yang bergumpal di dadanya mendorongnya untuk mencari pelampiasan. Dan Fabian berada di luar kamarnya. Tapi ketika tangannya sudah menyentuh kenop pintu, gerakannya terhenti. ‘Nggak. Aku nggak mau lihat wajahnya lagi. Nggak sekarang.’ Ia menggigit bibirnya, lalu perlahan berbalik. Tubuhnya lemas, kedua kakinya gemetar saat ia melangkah kembali ke ranjang. Dia duduk lagi, memeluk dirinya sendiri. Lyora tahu... Fabian masih jadi kelemahannya. Dan dia benci fakta itu. Dia tidak mau terlihat rapuh di hadapan pria yang sudah menghancurkan hatinya. “Sayang… aku minta maaf. Aku bisa jelaskan. Tolong, buka pintunya dulu…” Lyora tersenyum sinis mendengar suara Fabian. Dia melihat mereka di atas ranjang itu, tapi pria itu bahkan masih punya muka, masih berani datang ke rumahnya. Bisa jelaskan? Yang benar saja. Bayangan tubuhnya sedang menggauli Talita dengan penuh nafsu masih tergambar jelas dalam benaknya, apa yang akan dijelaskan oleh pria b@jingan itu? Benar-benar tidak tahu malu. Masih juga berusaha menipunya? Memang dikira dia perempuan id1ot apa? Lyora menarik napas panjang. Wajah Fabian—yang dulu selalu membuat jantungnya berdebar—kini justru membuatnya muak dan jijik. Mengingat apa yang telah dilakukan pria itu bersama Talita membuat perutnya mual. Kalau Fabian bisa masuk ke dalam rumah, itu berarti orang tuanya belum mengetahui apa yang telah terjadi. Tapi pasti juga akan segera mengetahuinya. Ini hanya soal waktu saja. “Sayang.. Tolong maafkan aku..” Kembali terdengar ketukan di pintu dan suara Fabian, menghiba. Lyora tersenyum sinis. ‘Cukup. Aku nggak akan biarin hidupku dirusak lebih jauh oleh pengkhianat macam dia.’ Perlahan, Lyora meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjang, tak jauh darinya. Jemarinya bergetar saat mulai mengetik. [Pa, aku baik-baik aja. Tolong suruh Fabian pulang. Aku akan jelaskan semuanya setelah dia pergi.] Begitu pesannya terkirim, ia membaringkan diri di ranjang. Tubuhnya terasa lemas, seperti tak punya tenaga lagi untuk sekadar bergerak. Bukan hanya karena tangis yang belum berhenti sejak tadi, tapi karena luka yang lebih dalam dari sekadar patah hati—malu, kecewa, dan dikhianati. Yang paling menyakitkan bukan cuma diselingkuhi dan dia menangkap sendiri perselingkhan itu. Tapi karena semua itu terjadi tepat sebelum mereka akan menikah. Hari pernikahannya sudah begitu dekat. Undangan sudah disebar. Orang-orang sudah menantikan hari H-nya. Keluarganya pasti akan menanggung rasa malu yang besar. Papanya akan dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan dari para relasi bisnisnya. Mamanya pasti akan menunduk saat para sosialita mulai bergosip dan menyebarkan cerita ini seperti wabah. Ini bukan cuma skandal biasa—ini akan jadi aib keluarga yang dibicarakan orang untuk waktu yang lama. Dan Lyora? Ia tahu, dia tidak akan sanggup hidup dengan tatapan iba dan bisikan di belakang punggungnya. Tapi dia juga tidak akan lari. Tidak akan. Dia menggeleng pelan, seolah menegaskan tekadnya. Selama dia masih hidup dia akan berjuang menjaga nama baik keluarga Dirgantara. Dia bukan orang yang akan menangis berhari-hari tanpa ujung. Hidupnya terlalu berharga untuk dikubur dalam drama pengkhianatan. Kalau dia menyerah, berarti dia membiarkan dua orang itu—Fabian dan Talita—menghancurkan semua yang telah ia jaga selama ini. Talita, sahabat yang sudah dianggap saudara sendiri, tega menusuk dari belakang. Dan Fabian, pria yang katanya cinta sejatinya, malah membawa aib ke depan pintu rumahnya. Tapi Lyora tidak akan tinggal diam. Dia tidak akan membiarkan mereka menjatuhkan keluarganya. Dia sudah memutuskan. Dia bukan korban. Dia pemeran utama dalam cerita hidupnya sendiri, dan tidak akan membiarkan siapa pun menulis ending yang menyedihkan untuknya. Fabian dan Talita telah salah memilih lawan. Suara Fabian yang frustrasi masih terdengar di luar pintu kamarnya. Lyora memejamkan mata, mengabaikannya. Dia sudah mengirim pesan pada ayahnya, yang pasti akan segera melakukan apa yang dia minta. ** Lyora membuka mata perlahan. Matanya terasa perih dan bengkak, akibat terlalu banyak menangis. Suasana begitu hening. Tidak ada lagi suara di pintu. Pria itu pasti sudah pergi. Lyora bangun, duduk di atas ranjang sambil mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan dengan cahaya remang yang berasal dari lampu dari taman. Dia mengulurkan tangan, menyalakan lampu baca di samping ranjang, dan seketika kamarnya menjadi lebih terang. Lyora mengarahkan pandangannya ke arah kaca di dinding di depannya, yang memantulkan bayangan dirinya yang terlihat menyedihkan. Rambut kusut, mata bengkak, dan wajah pucat. Seolah bukan dirinya. Lyora Dirgantara sebelumnya tidak pernah terlihat seperti ini. Dia dibesarkan di tengah keluarga yang penuh kasih sayang, selalu mendapat dukungan penuh dan perlindungan dari saudara-saudaranya. Hidup terasa begitu sempurna dan dia bertumbuh menjadi gadis yang optimis. Namun, dia dihancurkan dalam sekejap oleh pria yang dia kira adalah takdirnya dan sahabatnya sendiri yang sangat dia percaya. Lyora mengepalkan tangannya, meremas seprai dengan kuat. Kembali pandangannya tertuju ke bayangannya di cermin. Dia tidak akan membiarkan mereka menghancurkannya. Tidak. Dia seorang Dirgantara, dan dia akan bangkit untuk menunjukkan dirinya tidak serapuh kelihatannya. Dia sudah mengambil keputusan. Tidak ada seorang pun yang bisa menyakiti keluarganya, mempermalukan mereka. Dia akan tetap berdiri untuk memperjuangkan nama baik keluarganya, walaupun untuk itu dia harus membuang semua ego.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN