Bab 4 Hancur Dalam Sekejap

1027 Kata
Tawa renyah Fabian terdengar lagi di ujung telepon. “Tenang, Sayang. Aku udah setengah jalan ke sana.” “What?!” Lyora nyaris melompat dari kursinya. Dia pikir Fabian masih di kantornya. Tawa Fabian di ujung telepon makin keras. Sebelum Lyora bisa protes lebih lanjut, panggilan langsung diputus sepihak oleh pria itu. Lyora menggeleng-geleng pelan sambil tersenyum geli. Seberapapun kesalnya, ia tetap tidak bisa berhenti merasa... bahagia. Lyora memasukkan ponselnya ke saku blazer. Senyum belum juga lenyap dari wajahnya. Dia berjalan cepat ke toilet, untuk merapikan dandanannya. Dia akan bertemu kekasih tampan yang sangat dia cintai, tentu saja dia harus selalu menjaga penampilannya. Sambil memulas bibir dengan lipstik nude, Lyora memikirkan sikap misterius Fabian. Kejutan apa yang dia rencanakan? Dia bertanya-tanya dalam hati. Penasaran. Fabian benar-benar aneh hari ini. Biasanya dia terang-terangan kalau sedang merencanakan sesuatu, tapi kali ini—ada nada misterius yang belum pernah Lyora dengar sebelumnya. Meski begitu, dia tahu satu hal: Fabian terdengar sangat bahagia. Jadi apa kejutan yang dia maksud? Lyora semakin penasaran, dan tidak sabar ingin segera bertemu kekasihnya. Beberapa menit kemudian. Fabian membawa Lyora ke sebuah butik megah. Bangunan butik itu menjulang tinggi dan elegan, dengan papan nama desainer terkenal terpampang jelas di fasadnya. Begitu mereka sampai di depan pintu masuk, Lyora langsung menahan lengan Fabian, alisnya terangkat penuh curiga. “Sayang, kalau kamu mau kasih aku hadiah berupa gaun malam seksi, lupakan. Aku enggak akan pernah pakai itu,” katanya sambil menyipitkan mata. Fabian tertawa pelan, lalu menggeleng. “Tenang, bukan gaun malam.” “Lingerie seksi, mungkin?” “Kamu ini.” Fabian tertawa lebih keras, lalu meraih tangannya dan menariknya masuk. “Sudah, ikut aja dulu. Kamu akan lihat sendiri.” Mereka melewati deretan pakaian elegan dan mewah yang tertata rapi, memancarkan aura eksklusif di sekeliling ruangan butik itu. Kain satin, tulle, renda, semuanya memanjakan mata. Tapi Fabian tak berhenti. Dia terus berjalan sampai ke bagian belakang butik, ke sebuah ruangan semi-private. Di sana, dalam sebuah lemari kaca besar, terpajang satu gaun pengantin yang langsung membuat Lyora terpaku. Gaun itu berwarna putih, dengan desain punggung terbuka dan dihiasi kelopak bunga timbul seperti mahkota kecil yang melingkari bahu. Kilau taburan kristal Swarovski menambah kesan anggun dan memikat. Lyora terpaku. Nafasnya tertahan. Fabian menatapnya lekat-lekat, suaranya rendah namun menggetarkan saat dia berbicara perlahan, “Aku cuma ingin tanya… kamu mau pakai gaun ini, untuk menikah denganku?” Butuh beberapa detik bagi otak Lyora untuk mencerna makna di balik kalimat itu. Tapi begitu ia sadar... “Astaga, Fabian!” teriaknya nyaris tak percaya, lalu meloncat memeluk pria itu erat-erat. Tawa bahagia meledak dari bibirnya, sementara dadanya dipenuhi luapan rasa haru dan cinta. Tak ada makan malam romantis di bawah cahaya lilin. Tak ada bunga mawar atau iringan piano. Tapi bagi Lyora, lamaran itu sempurna. Sebuah cincin berlian mungil diselipkan Fabian di jari manis Lyora dalam perjalanan mereka kembali ke kantor. Tak banyak kata-kata manis, tapi senyuman pria itu... menyampaikan segalanya. Lyora merasa menjadi gadis paling bahagia di dunia. Kebahagiaan itu datang seperti keajaiban—mengalir deras, membuncah seperti ombak yang tak terbendung, dan hadir dengan caranya sendiri yang tak terduga. Cara yang sederhana, namun begitu menyentuh. Cara yang membuat Lyora jatuh cinta lebih dalam lagi pada Fabian. Ia adalah tipe gadis romantis yang mendambakan pelukan di bawah langit senja atau bunga mawar merah di setiap perayaan. Namun, lamaran Fabian yang sangat jauh dari harapannya justru terasa begitu istimewa. Tanpa basa-basi, tanpa drama, hanya kejujuran dan niat tulus yang memeluk hatinya erat. Dan dia mencintai pria itu. Dengan segenap hatinya. Fabian adalah cinta pertamanya—cinta yang datang tak lama setelah ia mengangkat doa dari tempat paling sunyi dalam hidupnya. Doa yang tak pernah berhenti dipanjatkan. Fabian datang begitu saja dalam hidupnya. Kakak seniornya di kampus, membawa kenangan masa kecil yang tak pernah hilang dari ingatannya. Saat itu Lyora yakin bahwa doanya telah dijawab. Hari itu, hubungan mereka sudah genap enam tahun. Dan Fabian melamarnya. Sebuah kebahagiaan yang meledak indah dalam hidupnya. Karena ia tahu—dalam segenap keyakinan yang tak tergoyahkan—bahwa Fabian adalah anugerah dari Tuhan. Pria yang selama ini ia nantikan. Jodoh yang datang tepat pada waktunya. Flashback off... Rencana Tuhan tak pernah terselami. Rencana manusia tetaplah menjadi rencana, sementara kenyataan berbicara lain. Hari ini, beberapa jam yang lalu, semua mimpi indah itu buyar. Dan kenyataan itulah yang dia dapatkan. Walaupun di depan kedua pengkhianat itu dia bisa bersikap tegas, namun sebenarnya hatinya hancur. Perasaan yang telah bertumbuh dan terjaga selama enam tahun, bahkan lebih lama dari itu, bukanlah sesuatu yang mudah dilepaskan. Seluruh dunia Lyora hancur dalam sekejap. * Suara dering ponsel yang nyaring terus-menerus membuat Lyora perlahan membuka mata. Ia masih meringkuk di lantai. Kedinginan. Lampu kamarnya mati, hanya diterangi sedikit cahaya kekuningan dari lampu taman yang menyusup lewat celah tirai. Kepalanya berat, matanya perih dan bengkak. Sejak sampai tadi dia cuma menangis. Tidak peduli siapa pun yang mengetuk pintu atau memanggil namanya dari luar, Lyora tetap bergeming. Suara Papa, Mama, dan kakak iparnya Kayla terus bergantian memanggilnya, mengetuk pintu berkali-kali. Awalnya tenang, lama-lama cemas, bahkan nyaris panik karena Lyora sama sekali tidak membuka pintu. Sepertinya mereka sudah mengetahui apa yang terjadi. Tapi dia tetap diam. Suara mereka cuma membuat air matanya makin deras. Untuk pertama kalinya, Lyora merasa jadi beban buat keluarganya. Bukan cuma malu—dia merasa hancur. Benar-benar hancur. Badannya lemas, hatinya seperti dipelintir. Sakitnya serasa sampai ke tulang. Lyora menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan isakan, tidak ingin didengar oleh orang-orang yang menyayanginya yang mungkin masih berada dibalik pintu. Dengan tubuh kaku dia bangkit dan berjalan pelan menuju ke ranjangnya. Tubuhnya gemetar. Kedinginan. Lyora naik ke atas ranjang dan menutupi kakinya dengan selimut. Dia duduk sambil bersandar di kepala ranjang, masih merasa begitu hancur. Dering ponselnya yang sempat berhenti selama beberapa saat kembali terdengar. Kali ini nadanya membuat jantungnya ikut nyeri. Fabian. Lyora tersenyum sinis. Bahkan setelah semua yang terjadi, pria itu masih berani menghubunginya. Betapa tidak tahu malu. Tanpa pikir panjang, Lyora menekan tombol “Tolak”. Tapi pria itu tidak nyerah. Ponselnya berbunyi lagi. Dan lagi. Sampai akhirnya berhenti sendiri. Dengan tangan gemetar, Lyora menatap layar yang penuh notifikasi. Puluhan panggilan tak terjawab dan juga begitu banyak notifikasi pesan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN