Tapi rasa sakit karena terkhianati ternyata lebih sakit dari apapun.
Lyora terduduk lemas di belakang kemudi mobilnya. Semua ketegaran yang dia tunjukkan sebelumnya runtuh.
Tangannya gemetar saat menutup pintu, dan seketika kesunyian menyelimuti kabin mobilnya—sunyi yang membuat hatinya menggigil. Pandangannya kosong menatap dashboard, lalu matanya perlahan terpejam.
Emosi yang tertahan meledak bersama isakan pilu yang tak tertahankan.
Dia membenamkan wajahnya di lengan di atas setir, mengguncang tubuhnya sendiri karena emosi yang sudah tidak bisa ditahan.
Air mata jatuh deras, mengalir melewati pipi yang memerah karena marah dan kecewa. Suaranya parau, sesak, tersedak oleh tangis dan luka yang tidak terlihat.
Sakit. Terlalu sakit.
Dia datang ke sana dengan satu harapan kecil, bahwa semua itu hanya kebohongan Talita. Bahwa Fabian akan tertawa bingung dan bilang, “Kau jangan percaya sama omongannya.” Bahwa dia akan memeluknya dan meyakinkan semuanya akan baik-baik saja.
Tapi kenyataan lebih kejam dari mimpi buruk.
Tangisnya kembali pecah, keras. Penuh sesak. Liar dan lepas, seolah hendak memuntahkan semua luka yang tertahan sejak melihat tubuh calon suaminya menindih tubuh sahabatnya.
“Kenapa…?” bisiknya di antara tangis. “Kenapa harus seperti ini…?”
Lyora memukul-mukul setir. Frustrasi. Marah. Tapi yang paling kuat dari semuanya: hatinya hancur.
Pernikahan mereka tinggal tiga hari lagi. Gaun pengantin yang sudah tergantung di lemari. Nama mereka yang sudah tercetak di ribuan undangan yang sudah disebar. Tapi semuanya kini hanya jadi abu di hatinya.
“Bodoh…” gumamnya, menatap kosong ke depan. “Aku bodoh banget… Aku terlalu percaya pada cinta sejati yang datang dari masa lalu…”
Bayangan masa lalu muncul seperti siluet dalam hujan. Seorang anak laki-laki, yang memberinya pembatas buku dengan gambar pemandangan dan matahari cerah, dengan tulisan cantik “You are the sunshine after the rain.” Fabian yang mengaku sebagai anak laki-laki itu. Segala kenangan yang terasa seperti takdir… kini berubah jadi belati.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi dadanya terasa kosong. Perih. Bagian dirinya yang paling dalam terasa terkoyak.
Tangisnya perlahan mereda, namun bukan karena sudah tak sakit lagi. Tapi karena tubuhnya lelah. Jiwanya kehabisan tenaga.
Dan malam terus berjalan, menyaksikan seorang perempuan yang kehilangan segalanya dalam sekejap, di dalam mobil yang membungkusnya dalam kesunyian dan duka. Lyora merasa seolah dirinya sudah mati.
Suara notifikasi dari ponselnya terdengar, membawanya kembali pada kenyataan bahwa dia masih hidup. Tapi justru itu masalahnya. Dia masih hidup, sementara hatinya telah mati malam ini.
Sepertinya skandal Fabian dan Talita sudah mulai menyebar, dan orang-orang yang mengenalnya mulai bereaksi. Tentu saja, berita itu pasti sangat mengejutkan.
Dia tidak pernah terpikir akan membuat kekacauan di apartemen, tapi dorongan itu muncul begitu saja, sebagai luapan kekecewaannya. Walaupun reaksi orang-orang pasti beragam, tidak semua orang akan berpihak padanya yang telah dikhianati, tapi setidaknya dia tidak membiarkan semuanya terlalu mudah untuk kedua pengkhianat itu.
Setidaknya dia tidak berakhir hanya sebagai pihak yang terkhianati dengan mengenaskan.
Suara notifikasi kembali terdengar. Tapi Lyora mengabaikannya. Dia tidak butuh berbicara dengan siapa-siapa.
Dia hanya ingin pulang. Karena tempat yang aman untuknya malam ini hanya rumah.
**
Rumah besar itu berdiri tenang di balik pagar besi hitam. Lampu-lampu taman menyala hangat, memandikan halaman dalam cahaya kekuningan. Dari balik jendela ruang keluarga, samar terdengar suara tawa—suara ayah dan ibu Lyora yang tengah berbincang penuh semangat.
Mereka sedang bahagia. Tiga hari lagi, salah satu putri mereka akan menikah.
Mobil Lyora berhenti perlahan di depan garasi. Ia menatap rumah itu tanpa bergerak. Tangannya masih gemetar, wajahnya basah dengan sisa air mata yang tak sempat ia bersihkan. D@da terasa sesak, nyeri seperti dihantam ribuan palu.
Ia menelan ludah. Mencoba berdiri tegak, meski tubuhnya hampir tak sanggup.
Perlahan ia keluar dari mobil dan masuk ke rumah melalui pintu samping.
Langkah Lyora senyap, tanpa suara, seperti bayangan yang mengendap masuk ke dalam kegelapan. Rumah itu terasa sunyi, hanya terdengar denting jam dinding dan suara televisi dari ruang keluarga.
Ia menahan napas saat melihat siluet ibunya di ruang makan, sedang tertawa kecil sambil berbicara dengan sang ayah.
“Semua persiapannya beres, Pa. Putri kita akan menjadi pengantin paling cantik.” kata Herawati, bahagia.
“Bagus. Kita harus memastikan acara pernikahan ini mulai dari Akad sampai resepsi benar-benar sempurna. Fabian itu pria yang beruntung.” Sambut Ridwan dengan bersemangat dan wajah berseri.
Lyora menunduk. Napasnya tercekat. Dadanya bertambah sakit mendengar percakapan ayah dan ibunya.
Air mata hampir jatuh lagi, tapi dia menelannya. Tidak sekarang. Untuk saat ini dia belum siap menghadapi kedua orang yang paling dia sayangi itu, belum siap melihat mereka terluka. Walaupun, sebentar lagi mereka juga pasti akan segera mengetahui apa yang telah terjadi.
Tanpa suara, dia melangkah melewati lorong, langsung menuju kamarnya di lantai dua. Tangannya gemetar membuka pintu kamar. Begitu pintu tertutup rapat di belakangnya, dan tangannya memutar anak kunci, seperti kain lusuh, tubuh Lyora tersungkur di lantai.
Dia meringkuk di sana, tangisnya kembali pecah. Di benaknya kembali berputar kenangan saat Fabian melamarnya dengan cara yang sangat unik, yang membuat dia semakin mencintai pria itu.
Flashback on…..
Sebulan yang lalu.
Sore itu, hujan awal bulan Mei turun deras. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun beterbangan dan udara terasa dingin menusuk. Tapi di dalam ruang kerjanya yang hangat, Lyora tetap fokus dengan tumpukan dokumen yang sedang dia susun rapi.
Besok dia akan melakukan perjalanan bisnis ke Singapura bersama ayahnya. Setelah lulus S2, Lyora memilih langsung bergabung di Dirgantara Group, perusahaan keluarga untuk menambah pengalaman. Dia belajar bekerja dengan menjadi staf administrasi.
Dan ini adalah perjalanan bisnis ke luar negeri pertamanya.
Lyora menyenandungkan lagu pelan-pelan sambil mengecek kembali dokumen kontrak, paspor, dan perlengkapan yang akan dibawa. Semuanya harus sempurna.
Tiba-tiba—
Drrt... drrt...
Nada dering ponsel disertai getar mengalihkan fokusnya. Bukan sembarang nada, ini nada khusus yang cuma dia pakai untuk satu orang.
Fabian.
Seketika senyum mengembang di wajah Lyora. Bahkan udara dingin tak lagi terasa.
Begitu dia mengangkat, suara bariton Fabian langsung terdengar di telinganya, terdengar santai dan penuh kejutan.
“Sayang, aku mau tunjukin sesuatu ke kamu. Ada surprise!”
Lyora tersenyum makin lebar. “Apa tuh? Kasih tahu aja sekarang.”
“Eh, kalau aku kasih tahu sekarang, bukan surprise lagi namanya dong.” Fabian tertawa kecil. “Aku jemput kamu 15 menit lagi, ya?”
Lyora mendesah pelan. “Yaa... tapi aku lagi sibuk banget, Bi. Masih banyak yang harus dicek.”
“Enggak lama, nggak sampai setengah jam. Aku janji. Habis itu aku langsung anterin kamu balik ke kantor.” Nada suara Fabian berubah sedikit tegas.
Hati Lyora dilema, tapi... ah, kalau sudah begini, siapa yang bisa menolak Fabian? Suaranya, caranya bicara, semuanya selalu bisa membuat hati Lyora meleleh.
“Oke deh. Tapi beneran ya, nggak lebih dari setengah jam?”