Bab 2 Skandal Jelang Pernikahan

1106 Kata
Lyora berdiri terpaku di depan pintu unit apartemen itu. Kakinya sedikit goyah, memandangi pintu hitam di depannya. Tangannya menggenggam kartu akses yang terasa dingin dan tajam di telapak tangan. Apartemen ini dia yang membelinya untuk Fabian. Tahun lalu, saat Fabian belum lama menempati apartemennya setelah kembali ke tanah air, gedung apartemennya terbakar dan api menghancurkan seluruh unit miliknya. Lyora membelikan apartemen mewah ini tanpa pikir panjang. Karena cinta. Karena dia percaya Fabian adalah takdirnya. Mereka berbagi kunci, dan Lyora punya akses bebas di apartemen itu. Lyora masih termangu selama beberapa saat. Wajah Talita terbayang jelas di benaknya. Sorot mata wanita yang telah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu—tegas, dan penuh tekad. “Lyora! Ini nggak main-main! Dan anakku butuh ayahnya. Fabian harus tanggung jawab!” Talita mengucapkannya tanpa rasa bersalah. Dan sampai detik ini Lyora yakin itu hanya prank. Lyora menggesekkan kunci. Pintu terbuka dengan satu dorongan ringan. Sepi. “Fabian?” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Dia menutup pintu dan melangkah masuk, menelusuri lorong menuju ruang tamu. Tak ada suara televisi, tak ada musik jazz yang biasa diputar Fabian saat bersantai. Hanya lampu kecil menyala di sudut. Kamar utama ada di lantai atas. Mungkin Fabian sedang tidur. Atau… sedang istirahat sebelum menjemput keluarganya di bandara, seperti yang dia katakan tadi siang. Lyora melangkah melewati ruang tamu. Tangannya menyentuh meja kecil yang masih menyimpan foto mereka berdua saat liburan—senyum bahagia di Pantai Sanur, pelukan hangat di malam ulang tahun Fabian, tawa di balik candle light dinner pertama mereka. Semua itu menjadi bunga-bunga di sepanjang perjalanan mereka. Dia menaiki tangga. Langkah Lyora tiba-tiba membeku saat mencapai puncak tangga. Ada suara. Lirih. Terputus-putus. Suara napas… desahan dan rintihan erotis. Alis Lyora mengerut. Kakinya otomatis melangkah lebih cepat. Suara itu berasal dari kamar utama. Pintu kamar itu tak tertutup sempurna. Suara desahan lembut dan erangan tertahan menggema samar dari dalam. Langkah Lyora terhenti. Jantungnya berdebar kencang, namun bukan karena cemas—melainkan firasat buruk yang perlahan membungkam logika. Tangan kirinya gemetar saat mendorong pintu itu pelan-pelan. Dan di sanalah, dunia yang ia bangun selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Lyora mematung. Darahnya berhenti mengalir. Waktu terhenti. Jiwanya seperti ditarik keluar dari tubuhnya sendiri. Butuh waktu beberapa detik sebelum kesadaran benar-benar menghantam Lyora. Talita… sahabatnya. Fabian… takdirnya. Mereka di sana. Bersama. Dalam pengkhianatan paling menjijikkan. Di atas ranjang king-size dengan seprai abu-abu yang kusut, Talita, yang tak sampai dua jam yang lalu dengan penuh tekad mengaku sedang mengandung anak Fabian, sedang menggeliat dan mengerang di bawah tubuh pria itu. Kedua tubuh telanjang itu saling bertaut, sedang berpacu dalam lecutan birahi. Sama sekali tidak menyadari keberadaannya di dalam kamar itu. Di mata Lyora, mereka terlihat seperti hewan yang menjijikkan. Lyora memejamkan mata sejenak, merasakan mual dan pusing yang menghantam tiba-tiba. Kini semua pengakuan itu berdiri nyata di hadapannya. Tak terbantahkan. Tak butuh lagi klarifikasi. Tatapannya kosong saat dia membuka mata. Jantungnya seperti meledak dalam diam. Tapi kemudian, sesuatu di dalam dirinya bangkit—bukan hanya luka, tapi kemarahan. Perasaan terhina. Lalu… Dengan mata tajam dan napas tertahan, ia melangkah maju, menghampiri ranjang tanpa suara. Srett!! Dengan satu gerakan cepat, Lyora menarik selimut yang menutupi punggung Fabian, namun, tidak bisa menutupi aktivitas intim mereka. Dia membiarkan tubuh telanjang keduanya terekspos. “Astaga!” Talita menjerit, membalikkan tubuh dan buru-buru menutupi payudaranya dengan tangan. Fabian bangkit setengah tubuh, matanya melebar panik, tangannya susah payah menutupi benda di pangkal pahanya yang tercabut paksa dari tubuh Talita. “Sayang! Ini—bukan seperti yang kamu pikir—” “DIAM!” bentak Lyora tajam, suaranya bergetar oleh amarah. “Bukan seperti yang kupikirkan? Kalian TELANJANG dan saling menindih di ranjang yang dulu aku pilih sendiri untukmu, Fabian.” Talita memucat, tubuhnya bergetar. Bukan seperti ini yang dia harapkan. Reaksi Lyora ini di luar rencananya. Ini sungguh di luar dugaannya. Yang bisa dia lakukan hanya menatap Lyora, memohon, “Lyora… tolong…” “Jangan sebut namaku dengan bibir kotor itu.” Cetus Lyora. Tangannya masuk ke dalam tas kecil yang disandangnya—mengambil ponsel, dan tanpa ragu, klik! klik! klik! Kilatan cahaya dari kamera menyalak, menoreh luka terakhir di harga diri dua pengkhianat itu. “Kau—apa yang kau lakukan?!” Fabian berusaha bangkit, tapi Lyora mengarahkan ponselnya lagi. “Satu langkah lagi dan foto ini masuk ke grup keluarga. Aku akan pastikan semua orang tahu siapa sebenarnya Fabian Hartanto dan Talita Rahayu.” Talita menangis sambil memeluk dadanya, “Lyora… kumohon…” “Diam. Mulutmu sudah cukup menipu selama ini. Aku sedang mengabadikan kejatuhanmu, jadi kau akan selalu ingat: kau melacurkan dirimu pada calon suami sahabatmu sendiri.” Talita terisak keras. Fabian terlihat panik. “Tolong jangan seperti itu, sayang! Tolong hapus foto itu!” Lyora tertawa. Tawanya dingin dan menyakitkan, lebih seperti jeritan luka daripada kesenangan. “Aku mungkin hancur, tapi aku masih cukup waras untuk memastikan kalian nggak akan pernah hidup dengan damai setelah malam ini.” Dia berjalan menuruni tangga dengan langkah cepat dan mantap. Dadanya naik turun menahan gejolak emosi. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, wajahnya menegang. Sebelum benar-benar keluar dari apartemen, dia berhenti di lorong dekat dapur. Matanya menatap sebuah kotak merah—alarm kebakaran. Tanpa ragu, Lyora menekan tuasnya. “TIIIIIIIIIIIIIIITTT!!!” Suara alarm meraung keras. Lampu darurat berkedip merah. Sirene bergema di seluruh gedung. Lyora berjalan keluar dari pintu utama apartemen, membiarkannya terbuka lebar. Pintu-pintu apartemen lain di sepanjang lorong mulai terbuka. Para penghuni keluar, bingung dan panik. Seseorang sudah menelepon satpam, yang lain berlari panik dan bertanya-tanya apakah kebakaran sedang terjadi lagi? Di mana sumbernya? Dan dari unit 808, dua manusia muncul, tubuh mereka terburu-buru dibungkus kain seadanya, yang bahkan tidak bisa menyembunyikan sebagian kecil tubuh telanjang mereka. Dari penampilan mereka yang acak-acakan, orang-orang tahu apa yang sedang mereka lakukan saat alarm kebakaran itu berbunyi. Lyora berdiri di ujung lorong, menatap mereka dengan sorot mata dingin. Para tetangga tentu saja mengenal Fabian, dan ini akan menjadi pertunjukan yang menarik. Orang-orang yang segera menyadari kalau itu hanya alarm kebakaran palsu, berhenti panik dan segera mengalihkan perhatian pada Fabian dan Talita. Seseorang berteriak, “Itu Fabian, ya? Sama siapa tuh? Itu cewek lain, bukan tunangannya!” Bisik-bisik mulai menyebar. Ponsel-ponsel mulai diangkat. Kamera mulai merekam. Fabian dan Talita terlambat menyadari, sebelum kemudian berlari masuk ke dalam apartemen dengan sekujur tubuh terbakar oleh rasa malu. Lyora tersenyum tipis—senyum penuh luka dan kebencian yang tak tertahankan. “Anggap saja ini pesta perpisahan, Fabian. Pesta yang nggak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu.” Lalu Lyora melangkah pergi dengan dagu terangkat, menuruni tangga darurat, meninggalkan jejak rasa sakit dan kebusukan yang telah dibukanya untuk seluruh dunia lihat. Dia adalah Lyora Dirgantara. Tidak ada yang boleh menari di atas lukanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN