14 Tahun kemudian.
Sinar matahari menyelinap lewat tirai jendela besar, menari-nari di permukaan meja rias Lyora yang penuh dengan brosur dekorasi, buku tamu, dan map berisi daftar konfirmasi vendor. Di sisi kanan, gaun pengantinnya tergantung anggun dalam kantong transparan, siluetnya membayang sempurna—seputih mimpinya yang sebentar lagi akan jadi nyata.
Lyora memutar tubuh di kursi, mengangkat ponselnya dengan mata berbinar. “Fabian, vendor musik udah fix, ya. Mereka bisa datang jam delapan pagi di hari H buat setting.”
Suara di seberang terdengar hangat, dalam dan tenang. “Tenang, Ly. Semua udah aku cek juga. You’ve planned everything perfectly, my future wife.”
Kalimat itu membuat senyum Lyora makin lebar.
My future wife.
Betapa indah kedengarannya. Akhirnya, semua kisah hidup, luka, dan harapan-harapan masa kecilnya terjawab.
Tiga hari lagi mereka akan menikah.
Enam tahun lalu, saat awal masuk kuliah, Fabian datang seperti sebuah kebetulan yang tak bisa dijelaskan logika. Pria itu duduk di meja kafe kampus, memesan teh manis dingin yang sama, dan secara mengejutkan—mengenali Lyora lebih dulu.
“Dulu kamu pernah nangis karena rambutmu ditarik anak gendut,” katanya waktu itu, terkekeh pelan.
Lyora nyaris menjatuhkan gelasnya.
Fabian lalu menyebut detail demi detail—ayunan berkarat di sudut halaman sekolah, guru wali kelas yang cerewet, hingga pembatas buku bergambar matahari cerah yang dulu ia berikan padanya. Persis seperti catatan rahasia yang Lyora simpan di buku hariannya.
“Gimana kamu tahu semua itu?” Lyora menatapnya tak percaya.
“Karena itu kenangan kita. Kamu lupa, tapi aku enggak pernah.”
Sejak hari itu, Lyora merasa takdir benar-benar membawanya kembali pada seseorang yang membuatnya merasa aman, bahkan sebelum dia tahu apa itu cinta.
Fabian merupakan seniornya, ternyata dia adalah pria yang selalu mengisi mimpinya sejak kecil dulu.
Dan kini, dia akan menikah dengan pria itu. Pria yang tak hanya membuatnya jatuh cinta, tapi juga membuatnya percaya bahwa semesta bisa sangat baik… setidaknya, pada akhirnya.
“Tiga hari lagi…” gumam Lyora sambil menatap gaunnya, lalu beralih ke ponsel yang masih terhubung. “Fabian, aku gugup sekali. Kamu nggak ya?”
“Sedikit,” jawab Fabian, lalu terkekeh. “Tapi lebih banyak bahagia. Kita akhirnya sampai di sini. Oke, aku percayakan semua padamu ya, Sayang. Aku nggak mau banyak-banyak, hanya melihatmu memakai kebaya dan gaun pengantin di hari pernikahan kita, itu udah lebih dari segalanya bagiku.”
Lalu pembicaraan mereka harus disudahi karena Fabian masih harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum cuti.
Lyora menutup mata. Menggenggam ponsel erat di dadanya.
Tak ada yang lebih ia syukuri selain kenyataan bahwa cinta sejatinya bukan dongeng. Ia nyata. Berwujud dalam diri Fabian—pria dengan senyum yang pernah menyelamatkannya dari dunia yang jahat, dan kini menawarkan surga kecil bernama rumah.
Dan Lyora... benar-benar percaya, kebahagiaan mereka baru saja dimulai.
Lyora melanjutkan menghubungi vendor lain untuk memastikan persiapannya. Walaupun Fabian bilang tidak mau banyak-banyak, tapi ini pesta pernikahannya, dan dia menginginkan pesta pernikahan yang megah yang akan ia kenang seumur hidupnya.
*
“Aku hamil.”
Suara itu datang begitu saja, membuat Lyora otomatis mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Talita berdiri di ambang pintu kamarnya, tanpa permisi, tanpa salam.
Lyora mengerutkan kening. “Hah? Apa barusan lo bilang?”
Ia baru saja menyelesaikan obrolan kecilnya dengan Fabian lewat chat soal desain latar pelaminan mereka. Event Organizer-nya baru saja ngirim revisi terakhir, dan itu pas sekali dengan impian Lyora sejak dulu. Bahkan Fabian langsung setuju. Hari ini terasa begitu sempurna—jadi fokusnya belum terbagi ke hal lain.
“Aku hamil, Ly,” ulang Talita dengan nada datar tapi sorot mata yang menusuk. “Dan kamu tahu siapa ayahnya?... Fabian!” kata Talita pelan tapi tajam. “Calon suamimu adalah ayah anak ini.”
Lyora mengerjap, masih merasa ini semacam prank yang sepertinya telah Talita persiapkan.
“Kamu mau bilang, Fabian menghamilimu?” Lyora nyengir kecil, berusaha menahan tawa, “Kamu serius? Ini kamu lagi bercanda, kan? Cuma mau ngeprank aku kan?” tanya Lyora beruntun.
Dia sama sekali tidak percaya dengan berita itu. Dia yakin Talita bercanda, karena gadis yang tahu-tahu nongol di hadapannya ini adalah teman baiknya sejak SMA. Mereka bahkan jauh lebih dari sekedar teman, Talita sudah seperti saudara buat Lyora. Dia bahkan bisa nyelonong masuk ke kamarnya tanpa permisi, tanpa ketok pintu dulu.
Sedekat itu.
Namun, Talita tidak ikut ketawa. Dia malah maju dua langkah, lalu dengan tenang naruh satu test pack dan beberapa lembar foto di atas meja rias Lyora.
“Kalau kamu nggak percaya, ini buktinya.”
Dunia Lyora seakan pause. Test pack itu—positif. Dan foto-foto itu… satu per satu menghantamnya seperti palu.
Di salah satu foto, terlihat jelas dua orang di atas ranjang. Sudut pengambilan gambar menunjukkan kalau mereka sepertinya telanjang. Si pria memejamkan mata, tapi… wajahnya terlalu akrab untuk diabaikan.
Fabian.
Dan perempuan di pelukannya? Talita. Sahabatnya. Orang yang selama ini selalu ada di sekelilingnya, yang juga ikut bantu-bantu persiapan pernikahannya.
Lyora merasa seluruh napasnya tertahan di tenggorokan. Mulutnya kering. Dadanya sesak. Tangannya gemetar hebat saat menyentuh satu foto lagi, memastikan bahwa matanya tidak salah lihat.
“Ini bercanda kan, Ta?” Lyora mengalihkan pandangan, menatap sahabatnya, tersenyum.
“Lyora! Ini nggak main-main! Dan anakku butuh ayahnya. Fabian harus tanggung jawab!” Raut wajah Talita dingin.
“Kamu... beneran hamil?” Suaranya akhirnya keluar, parau, namun dia tetap tidak percaya.
Talita hanya mengangguk. Wajahnya begitu penuh tekad.
“Mereka bilang kamu nggak bakal percaya sama siapa pun,” ucap Talita lirih, “Dan aku rasa, mereka benar.”
Dia berjalan ke pintu. Menoleh sejenak.
“Aku akan minta Fabian tanggung jawab,” ucap Talita tenang.
Suara Talita menghilang di antara detak jantung Lyora yang menggema keras di telinganya. Tangannya gemetar, kakinya dingin. Tapi matanya tetap menatap kosong ke depan, tanpa kedip.
Tidak. Ini pasti salah. Talita pasti sedang bercanda. Atau—
Lyora kembali menatap testpack dan foto-foto yang Talita berikan. Hatinya sepenuhnya menolak kalau itu benar. Ini pasti prank yang sengaja mereka rancang untuk mengerjainya sebelum hari pernikahannya. Foto-foto ini pasti hanya hasil editan, dan testpack, bisa saja milik orang lain.
Fabiannya tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Fabian adalah laki-laki setia. Selama mereka berpacaran, tidak pernah aneh-aneh.
Ini pasti hanya rencana mereka untuk ngeprank dirinya.
Tanpa pikir panjang, Lyora bangkit. Dia mengambil foto-foto dan alat tespack yang tergeletak di atas meja riasnya dan memasukkannya ke dalam tas kecilnya. Dia harus menanyakan ini langsung pada Fabian.
Lyora merapikan penampilannya.
Dia akan pergi ke apartemen Fabian.