Zia mempercepat langkahnya saat mendapati gue turut menunggunya di ruang tunggu kepolisian. Air matanya mengalir deras, menerbitkan rasa khawatir yang sangat besar di hati gue. Apakah Shanna lagi-lagi menyakitinya? Di titik temu, kami berpelukan. Dad4 gue meredam suara tangisnya. Tadinya, gue ngga mau datang ke sini karena dongkol dengan kekeraskepalaan Zia. Tapi, diam di rumah dan menunggu justru bikin gue berasa gila. Kadang-kadang ya begitu … dilarang susah, diturutin gue yang stress! “Dia bilang apa lagi, bear?” tanya gue, mulai ngga sabaran. Zia bernapas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Setelah isaknya tak menghambat kata, barulah ia menjelaskan. Tentang Shanna yang akhirnya mengucap maaf, tentang kelakuan orangtua dan abang-abangnya Shanna, tentang dirinya yang adalah trig