Qia, putrinya Mas Ara dan Teh Nina membawakanku segelas air es. “Does it hurt that much, Mamita?” Dan kebetulan, gelombang cinta tengah menyapa. “Iya. Maaf ya, Teteh Qia … ngga jadi jalan-jalan gara-gara Mamita.” “Ngga apa-apa, Mamita. Maminta dan adik bayi lebih penting,” tanggap Qia. Ia kemudian memelukku, melabuhkan ciuman singkat di pipiku. “Kasihan Mamita.” “Terima kasih, Teteh Qia.” Aku sudah mulai sakit pinggang sedari pagi, seingatku sekitar pukul tujuh pagi saat Rain akan berangkat bekerja. Aku mengecek ke kamar mandi, belum ada bercak darah yang keluar. Sensasi serseran juga tak kudapat. Rain yang kuminta pergi saja malah berubah ke mode batu, diam saja di sofa, bahkan kakinya yang baru memakai kaos kaki sebelah tak ia edit, maksudku entah dilepas atau pakai yang sebelah lag
Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari