“Berlin sudah belum?” “Beyum.” “Mama, Berlin lama gendong Naomi. Teteh kan juga mau gendong,” rengek Sydney ke Vienna. “Nanti keburu Naomi nangis ih.” “Ayo, Berlin … gantian dong sama Teteh,” tanggap sang ibu, berusaha membujuk. Yang dibujuk malah geleng-geleng. “Beyum.” Sydney menghentakkan kaki, kesal sendiri. “Berlin, Papa hitung sampai enam puluh ya? Habis itu gantian sama Teteh.” Dion menyetel hitung mundur di jam tangannya, mengarahkan layar kecil penunjuk waktu tersebut pada Berlin. Berlin memberengut, namun tak kuasa melawan titah sang ayah. Kata Mami, harus selalu ada yang disegani di rumah, dan baiknya itu adalah ayah. Disegani ya, bukan ditakuti. Pemuda yang baru berusia 18-bulan itu mengangguk-angguk. “Teteh nayis adik Nao, Papa.” “Ngga, Teteh kan juga sayang Naomi, ngg