bc

BERTEMU SUAMI DAN SELINGKUHANNYA

book_age18+
1.5K
IKUTI
9.2K
BACA
love-triangle
family
HE
kickass heroine
drama
like
intro-logo
Uraian

Kebaikan Aina nyatanya dibalas pengkhianatan. Orang yang selama ini dia bantu nyatanya malah merebut sang suami dari sisinya.Aina pernah memaafkan dan memberi kesempatan satu kali. Lalu bagaimana ketika kesalahan itu terulang lagi?Akankah Aina masih bersedia memberi kesempatan dan menerima kehadiran orang lain dalam rumah tangganya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Tak Sengaja Bertemu
Mas Adipati!" Suamiku yang tengah mengendarai motor dengan seorang wanita yang memeluknya itu langsung menoleh ke samping. Aku yang sedang menggunakan jasa ojol ini pun tersenyum dan berusaha menyejajari motor dia. Raut wajah Mas Adi jelas terlihat kaget. Begitu juga dengan raut wajah wanita di boncengannya. "Hati-hati nabrak, Mas. Lihat ke depan!" ucapku memperingatkan seraya menunjuk ke jalan. Mas Adi sesekali melihat jalan, lalu menatap padaku lagi. Pelukan wanita itu pun langsung terlepas dan mundur memberi jarak. Tawa yang terdengar dari keduanya pun lenyap seketika. Memang sepertinya aku sudah ditakdirkan bertemu dengan mereka secara tak sengaja di jalan seperti ini. "Aku tunggu di rumah, ya, Mas! Aku duluan!" kataku dengan sedikit berteriak. "Lebih cepat jalannya, Bang," pintaku yang langsung dituruti oleh pengemudi ojol ini. Bertepatan dengan motor ojol yang berlalu meninggalkannya, air mataku luruh membasahi pipi. Napas terasa sesak dan pendek-pendek. Ternyata gosip yang pernah kudengar bukanlah isapan jempol belaka. Dari cara mereka berinteraksi dan berpelukan tadi saja, sudah cukup menjelaskan bahwa tak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan spesial lagi. ??? Sesampainya di rumah, Bagas yang sedang berada di halaman depan pun menoleh. "Ibu ...." Putra semata wayang kami yang berumur empat belas tahun itu mematikan dan meletakkan selang air, lalu mendekat. "Ibu dari mana saja? Kenapa baru pulang? Aku khawatir, lho, Bu. Ibu pergi dari siang. Di telepon juga tidak diangkat-angkat." "Ibu ...." Ucapanku terhenti ketika kaki yang terasa lemas ini tak lagi mampu menopang badan. Namun, Bagas dengan cepat dan sigap langsung menahan tubuh ini sebelum sempat terjatuh. "Ibu kenapa?" Dia menatapku khawatir. Aku tersenyum dengan hati perih. "Ibu tidak apa-apa." "Dijaga baik-baik ibunya, ya, Dek. Jangan ditinggal sendirian," kata pengemudi ojol sebelum dia pergi. "Maksud abang ojol itu apa, Bu? Ibu sakit?" Aku menggeleng. "Bantu ibu masuk, Bagas." "Iya, Bu. Ayo." Bagas memapahku ke ruang keluarga dan mendudukkanku di sofa. "Boleh minta tolong ambilkan ibu minum?" Bagas mengangguk patuh, lalu kembali ke sini dengan membawa segelas air minum. "Ibu sebenarnya habis dari mana? Katanya mau bertemu teman sebentar. Tapi kok sore-sore begini malah baru pulang?" tanyanya sembari ikut duduk di sampingku. "Ibu ...." Aku lagi-lagi tak sanggup melanjutkan ucapan. Rasanya sangat sesak dan sakit untuk sekadar berkata-kata. "Ibu? Ibu kenapa nangis?" tanyanya khawatir ketika melihat air mataku berjatuhan lagi tanpa mampu dicegah. "Maafkan ibu, Nak. Ibu ... ibu sudah tidak sanggup bertahan lagi." "Ibu kenapa bicara begitu? Ibu kenapa?" Bagas merangkul dan mencoba menenangkanku yang sedang terisak lirih ini sampai dada dan tenggorokkan terasa nyeri. Indira adalah sepupu Mas Adipati. Tak kusangka dia akan mengecewakan dan menghancurkanku untuk kedua kalinya. Dulu, dia yang butuh pekerjaan setelah putus kontrak sengaja merantau ke kota ini dengan bantuan Mas Adipati. Aku pun setuju saja dan mengizinkan dia untuk tinggal sementara waktu di rumah kami sebelum menemukan kost-an. Namun, dua bulan setelah dia tinggal di sini hatiku rasanya tak enak. Kedekatan antara Mas Adi dan Indira seperti bukan hanya kerabat. Aku mengeluhkan tentang kekhawatiran dan ketidaknyamanan atas sikap keduanya ini langsung pada Mas Adi. Akan tetapi, dia terus menyangkal dan berkata bahwa aku terlalu berburuk sangka. Aku mencoba untuk percaya. Sayangnya, kepercayaan ini dihancurkan ketika tak sengaja melihat keduanya berpelukan dan hampir berciuman di dapur. Waktu itu aku hendak berangkat untuk mengecek toko kue. Namun, aku terpaksa kembali ke rumah untuk mengambil ponsel yang tertinggal. Saat itulah kejadian yang tidak pernah diduga itu disaksikan langsung oleh mata kepala sendiri. Mas Adi dan Indira tak mampu berkelit, tapi keduanya kompak meminta maaf dan mengaku khilaf. Mereka sama-sama berjanji takkan mengulangi kesalahan tersebut. Meskipun sakit dan sedikit ragu, aku mencoba percaya lagi dan memberi Mas Adi kesempatan untuk memperbaiki semua. Dia juga setuju dengan keinginanku yang menginginkan Indira segera pergi dari rumah ini. Namun sayang, hari ini hatiku telah dipatahkan kedua kalinya oleh mereka. Tidak. Bukan hanya patah, tapi hancur sehancur-hancurnya. Aku yang baru pulang bertemu teman lama untuk membahas pesanan kue, tiba-tiba tak sengaja melihat mereka di jalan. Kuminta ojol untuk diam-diam mengikuti. Ke mana pun mereka pergi, aku selalu membuntuti dengan mengambil beberapa foto dan video kebersamaan Mas Adi dan Indira. Sakit ini tak bisa ditepis, tapi aku berusaha menguatkan diri. Lebih hancur lagi ketika mendapati keduanya masuk ke sebuah hotel murah dan baru keluar lagi dari sana satu jam kemudian. Bisa saja aku masuk dan langsung menghardik keduanya, tapi kaki ini seakan terpaku di tempat. Lagipula, tak mudah menggerebek mereka di hotel karena pasti dihalangi petugas, kecuali datangnya dengan membawa pihak berwajib. Hal yang mampu kulakukan saat itu hanyalah mematung dan gemetar seiring goresan luka yang semakin terasa nyeri. "Bu ... cerita padaku Ibu kenapa? Aku telepon Ayah, ya." "Jangan, Nak!" larangku seraya mencegah tangannya yang hampir menelepon Mas Adi. "Sebentar lagi juga ayahmu pasti datang." "Lho, bukannya Ayah lagi ada tugas di luar kota?" Aku hanya tersenyum perih. Bukan tugas ke luar kota, tapi tugas menghabiskan waktu bersama wanita idaman lain. "Aina." Mendengar suara Mas Adi, lekas kuhapus jejak-jejak air mata di pipi, lalu menoleh ke pintu. Di sana, dia datang bersama Indira yang menatap sungkan padaku. "Ayah sudah pulang? Bukannya ada tugas di luar kota selama dua hari?" tanya Bagas ketika Mas Adi mendekat ke sini dengan Indira yang mengekori. "Anu, ayah ...." Mas Adi tak melanjutkan ucapan seiring matanya yang melirik padaku. "Kenapa? Batal? Kok, bisa ke sini dengan Mbak Indira?" cecar Bagas. "Bagas," panggilku seraya menyentuh tangannya. "Tolong masuk ke kamar dulu, ya. Ada hal yang harus ibu bicarakan dengan ayahmu." Aku tersenyum lembut. "Memangnya ada masalah apa, Bu?" tanya Bagas penasaran. "Biarkan kami bicara bertiga dulu, Nak. Nanti ibu akan cerita padamu juga. Ya?" kataku. Terlihat ada kekhawatiran dari sorot matanya yang menatapku, tapi akhirnya Bagas mengangguk patuh. Dia beranjak bangun, lalu pergi menuju kamarnya di lantai dua sambil sesekali menoleh ke sini. "Bisulan?" sindirku pada Mas Bagas yang masih berdiri. "Tidak. Kenapa bicara begitu?" "Ya sudah duduk," titahku. Tanpa mengalihkan pandangannya dariku, Mas Adi duduk di sofa single dengan jemarinya yang saling bertautan. Terlihat jelas sekali dia gelisah. "Sampai kapan kamu mau berdiri di situ?" tanyaku pada Indira. "Duduk." Indira menatap sungkan, lalu duduk di sofa single lain yang berhadapan dengan Mas Adi. "Mbak Aina, aku—" "Bisa tolong diam dulu?" Aku memotong ucapan Indira. "Aku hanya mau bantu menjelaskan kalau—" "Diamlah," potongku lagi. "Kamu baru boleh bicara kalau kutanya." "Aina, dengarkan aku dulu. Kami ...." "Kali ini biarkan aku duluan yang bicara, Mas." Aku juga menyela ucapan Mas Adipati. ???

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook