Episode 8

1748 Kata
Sebuah pesta keluarga diselenggarakan di kediaman Ace dan Shizuku, semua keluarga berkumpul kecuali Chaeri yang memiliki penelitian yang tidak bisa diganggu gugat. Felica ingin sekali mengundang Prince, tetapi ia tidak bisa melakukan itu karena harus memperkenalkannya dahulu pada semua orang. Di tengah keramaian Felica memilih pergi ke teras mansion untuk menghirup udara segar. Ace dan Shizuku yang melihat Felica keluar segera menghampiri putri kandung mereka. Suara gelak tawa dan canda terdengar hingga keluar mansion. Ace mengerti Felica tidak akan kuat mendengar banyak suara di sekitarnya, karena itu wanita itu memilih keluar mansion. "Felica," panggil Ace, wanita bersurai merah itu menoleh dan tersenyum ke arah Ace dan Shizuku. "Papa, Mama." Felica menyambut kedatangan kedua orangtuanya. "Seperti biasa, kau tidak kuat mendengar banyak suara." Shizuku menarik tubuh Felica dan memeluk putrinya yang tidak pernah menua sepertinya. "Ada apa Mama membuat pesta seperti ini?" tanya Felica yang masih memeluk Shizuku dengan erat. "Untuk dikenang tentunya," jawab Ace dan Felica tertawa mendengar perkataan Ace. "Papa dan Mama tidak menggunakan alive water, bukan?" Ace tertawa kecil sambil menarik Felica ke dalam pelukannya. "Felica, putriku yang berharga. Kau pasti lelah menjadi kepala keluarga Mafia Roulette." "Tidak juga, aku hanya menikmati apa yang sedang aku lakukan saat ini."  Shizuku tertawa renyah sambil memeluk Felica dan Ace. Entah sudah berapa lama mereka tidak berpelukan seperti sekarang ini, Felica terlalu sibuk dan jarang datang ke mansion mereka berdua. Wanita bersurai merah itu merasakan pelukan hangat dan penuh cinta dari kedua orangtuanya, kali ini ia meraskaan hal yang begitu berbeda dalam hidupnya. "Felica, dengarkan aku." Felica mendongak saat Shizuku dan Ace melepaskan pelukan mereka. Wajah Ace masih dengan senyuman dan mengelus wajah putrinya. Ia sudah tua dengan wajah yang mulai mengeriput di usianya yang menginjak tujuh puluh lima tahun lebih. Dengan bulu-bulu halus yang memutih di sekitar wajahnya, semakin memperlihatkan Ace yang mulai menua. "Hidup ini tidak hanya sebatas kau dan aku, kau dan mereka ataupun kau dengan orang sekitarmu. Ada saatnya untuk melepas pergi, dan ada saatnya kau menggenggam erat apa yang kau miliki." Felica menatap serius wajah Ace yang masih tersenyum ke arahnya. "Kau hanya perlu melihat isi dunia luar yang belum kau ketahui, janganlah terpaku pada mereka yang saat ini ada di tanganmu. Karena suatu saat nanti, tanpa sadar kau akan melepaskan mereka." Felica tersenyum, ia mengerti apa yang dikatakan Ace padanya. "Saat langit berkata 'kau akan terjatuh dan terhempas oleh angin, hanya ada satu yang dapat membuatmu bertahan' maka saat itulah kau akan merasakan apa yang di namakan kepercayaan," kata Shizuku dan Felica menoleh ke arah wanita yang menjadi panutan hidupnya. "Jika langit berkata 'hempaskan semua memori, mengecap indahnya kebersamaan, berlari beriringan dengan harapan yang melaju bersamamu. Lepaskan, tatkala kau tidak bisa merengkuh untuk yang kedua kalinya' maka terimalah jika kau harus pergi untuk meninggalkan bayangan," sambung Felica, Shizuku tersenyum ketika Felica mengingat bait puisi yang ia buat saat ulang tahun Ace yang ke enam puluh. "Tali yang kuat tidak akan pernah terputus, karena sejarah tidak akan pernah terhapus. Dan langit akan berkata 'pergilah saat Nirwana memanggil, sampaikan pesan terindah yang pernah kau dengar. Karena petuah sulit untuk diartikan daripada perasaan yang dijabarkan' kau akan mulai mengenalnya dengan apa yang disebut dengan kehidupan," sambung Ace yang sangat mengingat puisi indah dari istri tercintanya. "Pesan apa yang ingin kalian sampaikan?" tanya Felica dengan senyum yang menghiasi wajahnya. "Angin berbisik 'Kasih, dengarkan laraku. Kisah ini mungkin akan berakhir saat fajar menyingsing, kenanglah udara yang selama ini kau hirup dalam memori. Rasa kasih yang tidak terbatas selalu menyertai langkah kakimu. Doa dan harapan akan selalu berada di sisimu dalam gelapnya dunia yang disebut dengan kehidupan'," jawab Ace dan Shizuku secara bersamaan. "Percayakaan kisah ini pada dedaunan yang terhempas oleh angin, karena pesan itu akan terkirim ke dalam kalbu," jawab Felica yang lalu memeluk Ace dan Shizuku. "Aku menyayangi kalian," bisik Felica yang entah mengapa ia akan merindukan masa-masa saat ini. "Kami sangat menyayangimu, Felica." Jawab Ace dan Shizuku yang menutupi air mata mereka berdua. "Ayo, kembali masuk atau kalian akan sakit karena udara malam." Felica mendorong tubuh Shizuku dan Ace untuk masuk kembali ke dalam mansion. Felica tersenyum saat melihat Ace dan Shizuku bergandeng tangan, mereka berdua memanglah pasangan serasi. Rasa rindu yang ia rasakan tentu milik Felica yang asli, Varsa tersenyum sambil menyentuh dadanya. "Kau benar-benar merindukan mereka berdua, bersabarlah hingga hari itu tiba, kau akan kembali pada mereka berdua, Felica," gumam Varsa yang langsung melangkah masuk mengikuti Ace dan Shizuku. Felica tersenyum saat melihat kegaduhan yang dibuat oleh anak-anaknya, sesekali ia melihat Ace dan Shizuku memeluk mereka semua. Entah mengapa perasaannya menjadi aneh, ia tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Menyesap wine merah di tangan, Felica masih menikmati kebersamaan mereka, hingga ia melihat Cancri keluar dan di ikuti oleh Ace. Mencoba mencuri dengar, Felica terdiam dengan apa yang Cancri katakan. Meski begitu, ia tidak bisa membatalkan apa yang telah terjadi selama ini. Ia melihat Xavier yang mulai terlihat mabuk, menghembuskan napas panjang, hari ini akan menjadi hari yang melelahkan untuk Felica. "Xavier, berhenti minum. Kau sudah mulai mabuk!" ujar Felica sambil menarik Xavier menjauh dari meja bar. "Xavier sudah minum tujuh puluh sembilan gelas wine dan vodca hari ini," ujar Vicente sambil tersenyum lebar ke arah Felica. "Dan kau membiarkannya?" tanya Felica sambil menatap tajam suami ketiganya. "Maafkan aku, Felica. Xavier hanya ingin mencoba mabuk malam ini," jawab Vicente sambil mengecup bibir Felica dan berlalu meninggalkan istrinya yang sedang memapah tubuh Xavier. "Lica?" Xavier yang terlihat sudah mulai mabuk tersenyum ke arah Felica. "Ada apa? Lagi-lagi kau berulah di mansion Papa, Xavier," jawab Felica sambil membawa tubuh Xavier ke kamar miliknya. "Aku tidak mabuk, my Lica," jawab Xavier sambil tertawa kecil dan mulia menciumi pipi Felica. "Masih ingin mengelak?" Felica menatap tajam suami keempatnya itu. Xavier hanya tertawa sambil membiarkan Felica memapah tubuhnya memasuki sebuah kamar mewah dengan ranjang yang begitu besar. Felica langsung saja menjatuhkan tubuh Xavier di atas ranjang dan membiarkan pria itu meracau sambil menyebutkan namanya. "Lica, aku mencintamu, sangat dan sangat mencintaimu. Kau adalah matahariku, Lica. Hahaha." Felica memutar bola matanya menahan kejengkelan, memang baru kali ini ia melihat Xavier yang mabuk. Saat Felica ingin pergi, Xavier sudah menarik tangannya hingga mereka berdua berbaring di atas ranjang. Xavier langsung menindih tubuh Felica dan menatap iris istrinya dengan tatapan tajam. "Lica, mengapa kau tidak menjawabku? Mengapa kau tidak menjawab perasaanku!"  "Hei, hei, tenanglah Xavier. Aku akan menjawabnya, jadi tenanglah." "Apa kau mencintaiku?"  tanya Xavier yang seperti anak kecil yang bertanya pada ibunya. "Aku mencintaimu, Xavier," jawab Felica sambil menyentuh kedua pipi Xavier. Baru kali ini ia melihat sifat kekanakan Xavier saat mabuk, Felica tertawa kecil melihat tingkah Xavier yang menurutnya menggemaskan. "Apa kau menyayangiku?" lagi-lagi Xavier bertanya dengan ekspresi seperti anak kecil. "Aku menyayangimu, Xavierku sayang," jawab Felica sambil tertawa kecil melihat tingkah Xavier yang mabuk. "Kalau begitu malam ini kau harus bersamaku," suara Xavier kini berubah menjadi menjadi serius. Felica membulatkan kedua matanya saat Xavier langsung saja menciumnya dengan buas, Xavier seperti memiliki kepribadaian ganda sepertinya. Namun, ia tahu jika Xavier memang berbeda saat dalam keadaan mabuk berat. Malam panas itu berlanjut hingga Xavier terus memompa pinggulnya untuk menikmati surga milik Felica. Tepat pukul lima pagi Felica membuka kedua matanya, sepertinya ia habis tertidur karena Xavier terus bercinta dengannya tanpa istirahat. Felica turun dari ranjang dan memilih untuk membersihkan tubuhnya, Xavier masih terlihat tertidur pulas sambil bergumam kecil. Setelah membersihkan tubuhnya, Felica berniat untuk ke kamar Shizuku karena setiap pagi Mama akan terbangun dan membuat kue ringan untuk sarapan. Mengetuk pintu, Felica tidak mendapatkan jawaban dari dalam kamar. Felica mencoba pergi ke arah dapur dan tidak mendapati Mama yang sudah biasa berada di sana sejak pagi hari. Felica mengerutkan keningnya, ia kembali menuju kamar Papa dan Mama. Di saat suana sepi seperti ini, Felica semakin curiga karena tidak ada orang yang berlalu lalang. Felica membuka pintu kamar Ace dan Shizuku dengan perlahan, dalam hitungan detik aroma terbakar begitu menyengat keluar dari dalam kamar Ace dan Shizuku.  Felica terbatuk-batuk saat menghirup aroma seperti daging terpanggang itu. Tidak ada asap ataupun barang-barang yang terbakar di sekitar pintu.  "Papa, Mama, kalian di dalam?" tanya Felica. Tidak ada jawaban membuat Felica memasuki kamar luas itu. Mengedarkan pandangan kesekitar, ia tidak mendapati ada hal yang aneh seperti benda terbakar. Pandangannya langsung saja tertuju ke arah ranjang dan tubuhnya seketika menegang saat melihat ke arah ranjang. "Tidak ... tidak ... ini tidak mungkin." tangannya yang bergetar terulur ke arah Ace dan Shizuku yang terbujur kaku dengan tubuhnya yang menghitam. "Papa, Mama, kalian sedang tidak mengerjaiku, bukan?" gumam Felica dengan air mata yang terjatuh di kedua pipinya. "Felica!" seketika Alucard dan yang lainnya masuk ke dalam kamar dan segera menarik tubuh Felica. "Alucard." Kedua kaki Felica terasa seperti jeli saat suaminya itu merengkuh tubuhnya. "Jangan lihat!" Alucard memeluk erat tubuh Felica agar istrinya itu tidak melihat apa yang terjadi di hadapan mereka. "Alucard, Papa ... Mama, ini bohong bukan?" Alucard tidak menjawab, ia hanya memeluk tubuh Felica dengan bahu yang bergetar. Sebisa mungkin ia menahan air matanya untuk tidak jatuh di hadapan Felica. "Katakan padaku, semua ini bohong, bukan?" Felica mendorong tubuh Alucard sekuat tenaga dan menciptakan jarak di antara mereka. "Felica." Alucard menatap sendu ke arah wanitanya. Felica kembali menoleh ke arah ranjang, ia berjalan mendekat dan mencoba menggapai tubuh Ace dan Shizuku yang saling berhadapan sambil berpegangan tangan. Dengan tangan yang bergetar Felica mencoba menyentuh tubuh Ace dan  tubuh Ace dan Shizuku menjadi abu seketika. Tubuh Felica di tarik langsung oleh Alucard untuk keluar dari kamar. "Papa, Mama!" teriakan Felica terdengar begitu pilu, ia mengingat percakapan mereka bertiga tadi malam. "Angin berbisik 'Kasih, dengarkan laraku. Kisah ini mungkin akan berakhir saat fajar menyingsing, kenanglah udara yang selama ini kau hirup dalam memori. Rasa kasih yang tidak terbatas, selalu menyertai langkah kakimu. Doa dan harapan akan selalu berada di sisimu dalam gelapnya dunia yang disebut dengan kehidupan'." Felica masih mencoba bertahan di tempatnya sampai sinar matahari masuk melalui jendela dan abu hitam itu mulai sedikit demi sedikit berterbangan. "Papa!" "Bawa Felica pergi!" teriak Nero pada Alucard. "Mama!" Felica mencoba menggapai abu yang mulai berterbangan ke arahnya, tangannya terulur ke depan seperti ingin menggapai sesuatu di hadapannya. Hingga ia kembali mendengar suara Ace dan Shizuku yang menggema di telinganya. "Kami sangat menyayangimu, Felica." Dengan terpaksa Alucard memukul tengkuk leher Felica agar istrinya tidak sadarkan diri. Pukulan yang cukup kuat Felica dapati hingga kedua matanya perlahan menutup dengan bibir yang masih terus berucap. "Papa ... Mama ... tolong." Tubuh Felia lunglai dalam pelukan Alucard, dengan usaha terakhirnya Felica masih mencoba berbicara. "Bawa aku ... bersama kalian." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN