Setelah mengetahui calon istrinya mendesah untuk pria lain, Niko menjadikan kelab malam sebagai pelarian. Ia berharap tempat berisik itu menenggelamkan rasa jijik yang menumpuk di benaknya. Entah berapa gelas minuman beralkohol yang Niko tenggak, yang pasti pria itu kini mabuk se-mabuk-mabuknya.
Teman-teman Niko yang menyadari bahwa Niko tak akan berhenti minum jika tidak pingsan, akhirnya mereka bekerja sama menyeret Niko pulang ke rumah yang ditempatinya. Sengaja hanya sampai teras lalu buru-buru pergi setelah mengetuk pintu.
Bukannya apa-apa, mereka takut disemprot amarah orangtua Niko karena keadaan Niko se-parah itu. Mereka tidak tahu saja kalau orangtua Niko sebenarnya sedang tidak ada di rumah. Ya, mereka tidak tahu kalau di rumah hanya ada Bina, sepupu Niko.
Sampai pada akhirnya, situasi jadi tak terkendali begini….
Niko yang berada di bawah pengaruh alkohol, mengunci tubuh sepupunya di sofa ruang tamu yang gelap itu. Sebenarnya Bina tidak diam saja, ia meronta dan berontak tapi tenaga pria mabuk yang menindihnya ini bukan hal mudah untuk dikalahkan. Terlebih saat bibir Niko mulai melumat bibirnya, Bina terkejut sekaligus merasakan sensasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Apakah disebut nge-freeze? Ya, seperti itulah Bina sekarang. Ia seakan membeku. Sedangkan Niko dengan lihai tak henti-hentinya menelusuri area bibirnya yang terasa nikmat, tentunya sambil memegangi tangan Bina agar tidak memberikan perlawanan.
Perlahan tapi pasti, Bina malah ikut-ikutan kehilangan akal sehatnya. Ia tahu sepupunya mabuk, sedangkan dirinya sadar sepenuhnya. Bagaimana bisa ia mulai terbuai? Bahkan, saat ini Niko tak lagi memegangi tangannya, tapi alih-alih menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan diri, Bina justru ikut lepas kendali sehingga menikmati permainan berbahaya yang sepupunya mulai.
Hasrat yang menumpuk, membuat ciuman yang semula tenang seolah menciptakan bola api yang semakin membara. Mereka sama-sama memejamkan mata, saling mengimbangi permainan bibir yang kini dipenuhi gairah yang menggila.
Saat ciuman Niko merambat ke telinga Bina lalu turun ke lehernya, secara spontan Bina mengeluarkan desahan halus yang membuat Niko semakin ingin melakukan yang lebih jauh.
Terlebih bathrobe yang Bina kenakan sudah ditarik talinya, membuat tubuh putih dan mulus wanita itu terpampang nyata sekalipun dalam suasana ruang tamu yang gelap. Tubuh yang saat ini telah Niko lukis menggunakan jejak-jejak kissmark yang diciptakannya lebih dari satu.
Bina sadar sepenuhnya bahwa ini salah, tapi tubuhnya tak bisa bohong. Ia telanjur masuk dalam perangkap gairah yang Niko ciptakan. Itu sebabnya ia seolah pasrah membiarkan sang sepupu menjamah sekaligus menikmati titik-titik sensitif di tubuhnya.
Saat Niko akan melanjutkan pada permainan yang paling berbahaya, barulah Bina bisa lebih tegas pada tubuhnya sendiri. Ia mendorong Niko, membuat pria itu tersungkur ke lantai lantaran yang Bina lakukan sangatlah tiba-tiba. Niko berbaring telentang sekarang, kali ini pria itu sudah tidak sadarkan diri lagi.
Bina jadi bertanya-tanya … jika dirinya tidak mendorong Niko barusan, apakah pria itu tetap berakhir tidak sadarkan diri seperti sekarang? Entahlah.
Beranjak dari sofa, Bina kembali memakai bathrobe-nya dengan benar sambil bersiap kabur ke kamar. Sejenak ia memperhatikan Niko yang tetap pada posisinya. Sambil ogah-ogahan, ia menaikkan kembali celana sepupunya yang sudah melorot. Sungguh, ini pertama kalinya Bina menyaksikan pemandangan gila seperti ini.
Jujur, Bina sempat kesulitan menaikkan kembali celana Niko lantaran benda keras milik Niko itu mencuat ke atas, tapi tanpa menyerah … Bina akhirnya berhasil. Ia tidak mau Niko bangun dalam keadaan celana melorot sehingga terpaksa melakukan ini.
Setelah itu, Bina bergegas menuju kamar dan mengunci pintunya dari dalam. Sambil melepaskan bathrobe dan menggantinya dengan setelan tidur, pikiran Bina sempat melayang memikirkan permainan berbahaya yang ia lakukan dengan sepupunya barusan.
“Bin, kamu pasti gila,” gumam wanita itu, sambil memperhatikan cermin untuk melihat jejak yang Niko tinggalkan di tubuhnya.
Sungguh, Bina berharap Niko tidak perlu ingat apa yang mereka lakukan. Bukankah sepupunya mabuk parah?
“Pasti Kak Niko nggak ingat,” gumam Bina lagi.
*** 
Keesokan harinya….
Bina berangkat kerja dan Niko masih tertidur di ruang tamu. Bedanya, jika semalam sepupunya itu tergeletak di lantai, kali ini pria itu berbaring dengan nyaman di sofa. Hal itu membuat Bina lumayan tenang karena Niko dalam keadaan baik-baik saja.
Di kantor, Bina tak bisa memungkiri kalau dirinya tak bisa fokus bekerja. Seharian ia tak henti-hentinya memikirkan kejadian semalam. Bahkan, sampai jam pulang pun wanita itu masih terbayang sentuhan yang Niko lakukan terhadapnya. Terutama ciuman panas mereka.
“Aku bisa gila,” batin Bina.
“Bin, kamu lagi ada masalah, ya?” tanya Tiwi, teman dekat Bina di kantor.
Tiwi sekaligus menjadi teman berangkat dan pulang kerja Bina karena arah rumah mereka se-arah. Setiap hari, Bina yang tidak bisa naik motor sendiri, pulang-pergi dibonceng oleh Tiwi.
Tiwi sama sekali tidak keberatan. Selain karena mereka teman satu frekuensi, dengan naik motor berdua secara otomatis bisa patungan bensin. Ini seperti win-win solution. Bina tak bisa nyetir motor, sedangkan Tiwi jadi hemat pengeluaran bensin.
“Masalah? Enggak, kok,” sanggah Bina.
“Kirain,” balas Tiwi. “Kalau gitu ayo pulang.”
Bina mengangguk-angguk. Ia segera memasukkan tumbler ke dalam tasnya. Setelah itu, mereka berdua bergegas keluar kantor yang semakin sepi karena para stafnya berangsur-angsur pergi lantaran jam kerja sudah usai.
Di depan kantor, Tiwi tiba-tiba menahan tubuh Bina. “Bin, itu saudara kamu, kan?”
Tiwi memang pernah secara tidak sengaja melihat Niko beberapa kali saat mengantar atau menjemput Bina. Ia sempat mengira itu pacar Bina, tapi kemudian paham kalau pria tinggi dan tampan itu adalah sepupu temannya.
Bina kemudian melihat ke arah yang Tiwi tunjuk. Betapa terkejutnya ia saat melihat pria yang tadi pagi masih memejamkan mata di sofa, kini ada di depan kantor. Jangan ditanya apa yang Bina rasakan saat ini. Wanita itu deg-degan parah. Terlebih saat Niko kini berjalan menghampirinya.
“Mau pulang?” tanya Niko tepat setelah berada di depan Bina.
“I-iya. Kak Niko ngapain di sini?”
“Gue habis ambil motor di rumah teman dan kebetulan lewat sini. Gimana kalau kita pulang bareng?”
“Maaf, Kak. Sebelumnya makasih, tapi aku pulang sama temenku,” jawab Bina sambil menunjuk Tiwi di sampingnya.
“Ada yang mau gue omongin dan ini penting,” ucap Niko. “Enggak apa-apa ya, lo pulang sama gue aja.”
Penting? Jangan-jangan Kak Niko ingat kejadian semalam….
Untungnya Tiwi sangat pengertian dan dengan santai mempersilakan Bina pulang dengan sepupunya. Lagian Tiwi mana mungkin melarang dua saudara pulang bersama?
Sampai pada akhirnya, di sinilah Bina berada. Wanita itu duduk di jok belakang motor besar milik Niko yang secara otomatis membuat tubuhnya menempel dengan punggung sepupunya itu.
Terbiasa naik motor matic bersama Tiwi, sungguh Bina sangat tidak nyaman duduk di motor Niko yang mengharuskannya berpegangan pada besi belakang karena mustahil memeluk pria itu. Apalagi jika ingat kejadian semalam … itu lebih membuat canggung.
“Jadi, apa yang ingin Kak Niko omongin?” tanya Bina yang saat ini duduk berhadapan dengan Niko di sebuah kafe.
Sekalipun hari mulai gelap, Niko sengaja mengajak Bina mampir di kafe untuk membicarakan hal penting dengan jauh lebih nyaman. Bahkan, dua gelas kopi dingin sudah ada di meja mereka.
Dengan tatapan yang sulit Bina artikan, Niko berkata, “Bina—”