Hingga pukul sepuluh malam, Alan belum juga kembali. Putri merasa cemas. Apalagi, ponsel Alan tidak bisa dihubungi sama sekali.
Sementara di lain tempat, Alan sedang menemani Luna yang tadi meneleponnya, hingga membuat Alan mengabaikan Putri. Alan memang memiliki janji untuk makan siang bersama Luna. Akan tetapi, karena kehadiran Putri di kantornya, apalagi Putri yang tampak berbeda, membuatnya lupa akan janji itu. Hingga membuat Luna tidak nafsu makan dan membuat penyakit maagnya kambuh.
"Harusnya kamu makan, tidak perlu menungguku."
"Mana bisa aku makan, sementara kamu berjanji akan menemuiku untuk makan bersama. Tapi kamu mengingkari janji itu, ponselmu juga susah dihubungi."
"Maafkan aku."
"Dari mana saja kamu?"
"Tidak kemana-mana. Hanya di rumah bersama istriku." Luna mengamati setiap inci tubuh Alan, hingga ia menemukan beberapa tanda merah di leher pria itu.
"Di rumah? b******a dengan istrimu? Hingga membuatmu lupa padaku?" Luna tersenyum miring. Dalam hatinya ia berkata, ternyata Putri tidak main-main dengan ucapannya.
"Kamu bicara apa?"
"Tanda di lehermu sudah bisa menjelaskan semuanya."
"Tanda apa?"
"Jangan pura-pura bodoh, Alan! Kamu pikir tanda apa yang bisa membuktikan jika seseorang habis b******a?"
"Kamu marah?"
"Ya! Aku marah! Aku cemburu! Kenapa kamu tega melakukannya?! Kamu tahu kalau aku masih mencintaimu, tapi kenapa kamu melakukan itu?!"
"Lun, kami suami istri. Tidak ada hukum mana pun yang bisa melarang kami untuk melakukan itu."
"Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?"
"Jangan tanyakan itu. Kalau aku tidak mencintai kamu, mana mungkin aku ada di sini. Hanya saja–"
"Hanya saja apa?!"
"Apa tidak sebaiknya kita berteman saja? Ehm, maksudku, ya ... kita memang saling mencintai. Tapi entah hubungan apa yang sedang kita jalin ini. Kita bukan pasangan kekasih, tapi kita sama-sama posesif. Apa tidak sebaiknya kamu mencari pria lain untuk kamu jadikan kekasih?"
"Alan! Kamu gila?! Nggak semudah itu kita jatuh cinta sama orang. Jangan bilang, kamu jatuh cinta pada istrimu!"
"Tidak! Itu tidak terjadi. Hanya saja, aku merasa bersalah setahun terakhir ini aku mengabaikannya. Aku lebih memedulikanmu."
"Kalau begitu nikahi aku, Lan!"
"Aku tidak bisa! Orang tuaku masih belum bisa menerimamu kembali. Kamu tahu, bagaimana hancurnya aku dulu saat kamu tinggalkan."
"Kita sudah sepakat untuk tidak membahasnya lagi."
"Oke. Maaf." Alan melihat ke arah jam yang menggantung di dinding kamar Luna, karena ia tak sempat memakai jam tangannya. "Sudah jam sepuluh, aku harus pulang."
"Apa kamu tidak mau menginap di sini?"
"Lun, kamu tahu aku tidak pernah melakukan hal melampaui batas. Tidak mungkin aku bermalam di sini."
"Baiklah, silakan kamu pulang. Tapi tolong, jangan pernah tinggalkan aku!"
Alan tersenyum, tangannya terulur kemudian mengusap kepala Luna.
"Besok kita bisa bertemu lagi."
"Aku akan datang ke kantormu."
"Datanglah."
Luna bangkit dari berbaringnya, ia berdiri di samping Alan yang juga sudah berdiri. Luna mendekat ke arah Alan, berniat ingin mencium pipi Alan. Namun, sebelum Luna sempat mencium Alan, pria itu menghindar.
"Maaf, aku pulang dulu."
Luna kesal. Tetapi sebisa mungkin ia menahan rasa kesalnya.
**
Alan sampai di rumah saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Begitu mendengar deru mobil, Putri langsung bergegas berlari ke arah pintu, kemudian membukanya.
"Dari mana saja? Aku mencemaskanmu. Nomormu tidak bisa dihubungi."
"Maaf, tadi ada urusan sebentar. Kenapa kamu belum tidur?"
"Aku menunggu Mas. Aku takut terjadi sesuatu sama Mas."
"Aku baik-baik saja. Sekarang lebih baik kita tidur."
"Hanya tidur?"
"Lebih dari itu pun aku mau, asal kamu tidak merasa lelah."
Putri tersenyum, "Aku tidak lelah. Tapi mungkin Mas yang lelah."
"Justru obat mujarab bagi suami yang merasa lelah adalah tidur sambil mendekap istrinya. Dan tentu saja dengan berbagai macam kegiatan yang bisa membuatnya berkeringat."
"Oh, ya?!"
"Tentu saja."
Jika ada yang bertanya tentang perasaan Alan pada Putri, Alan juga bingung. Ia belum bisa memastikan apa yang dirasakannya terhadap istrinya itu.
**
Esoknya Luna mendatangi kantor Alan. Saat berada di lobi kantor, Luna melihat sosok Putri sedang turun dari taksi. Dengan tergesa, Luna segera masuk ke dalam lift agar ia bisa sampai lebih dulu ke ruangan Alan. Di depan meja sekretaris Alan, Luna menanyakan keberadaan Alan. Setelah sekretaris Alan mengatakan keberadaan bosnya, Luna langsung masuk ke ruangan Alan. Sambil memperlihatkan mimik yang terlihat menahan rasa sakit, Luna menghampiri Alan.
"Kamu kenapa?" tanya Alan dengan cemas.
"Perutku sakit lagi. Apa kamu punya minyak kayu putih?"
"Sepertinya ada di kotak p3k. Sebentar aku ambilkan."
Setelah mendapatkan yang dibutuhkannya, Alan menghampiri Luna yang sudah duduk di sofa yang berada di ruangannya.
"Ini." Alan menyodorkan botol minyak kayu putih itu kepada Luna.
"Maukah kamu mengoleskannya."
Alan menghela napas, "Berbaringlah!"
Luna membaringkan tubuhnya, kemudian mengangkat baju di bagian perut. Alan menuangkan sedikit minyak kayu putih di telapak tangannya. Lalu dioleskannya pada permukaan perut Luna. Luna memejamkan mata. Ia menggigit bibir bawahnya, seolah sedang menahan rasa sakit. Sesekali Luna merintih. Luna membuka mata. Ia menatap mata Alan, Alan juga tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tanpa aba-aba, Luna meraih bibir Alan dengan bibirnya. Ia mencium bibir Alan dengan penuh gairah. Gairah yang sejak tadi ditahannya. Alan pun tak mampu menolak. Apalagi yang melakukannya, wanita yang pernah ia cintai melebihi dirinya sendiri. Alan menggeram, hingga tanpa ia sadari ada yang membuka pintu.
"Mas?!"
***