Ponsel Alan terus berdering. Tentu saja, Luna-lah yang sedari tadi menghubunginya. Sejak makan siang kemarin, mereka memang tidak bertemu lagi. Dan hari ini, Luna meminta Alan agar menemuinya.
"Siapa, Mas? Luna?"
"Iya."
"Temui saja!"
"Tentu saja, aku akan menemuinya." Jujur saja, Putri masih bingung dengan sikap Alan yang seperti bunglon. Kadang bersikap baik padanya, tetapi kadang juga bersikap dingin.
"Mas, apa Mas percaya kalau aku jatuh cinta sama Mas?" Putri mendekat ke arah Alan. Alan sedang sibuk membalas chat Luna. Tangan Putri terulur. Ia usap pipi Alan hingga rahang suaminya itu.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Karena aku ingin Mas percaya, dan aku ingin, perasaanku itu terbalas."
"Apa bisa kita tidak membahas ini?"
"Why? Kenapa?"
"Karena aku belum tahu isi hatiku sendiri."
"Aku ingin punya anak dari Mas. Mungkin saja dengan itu, Mas jadi bisa mencintaiku." Putri mengalungkan tangan di leher Alan.
"Sebelum Mas pergi, Mas mau kan melakukannya?" Putri makin merapat. Tubuh depannya sudah menempel di tubuh bagian depan Alan. Tangan Alan pun sudah memosisikan diri di pinggang Putri. Hingga detik berikutnya Putri mendapatkan apa yang diinginkannya.
**
"Ada apa?" tanya Alan begitu sampai di apartemen Luna.
"Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?"
"Kita sudah membahasnya, Lun, dan ini bukan sekadar mencintai atau tidak–"
"Iya, tapi juga masalah restu orang tua kamu. Iya, kan?!"
"Itu kamu tahu."
"Tapi apa kamu tahu, aku cemburu melihat istrimu dengan agresifnya menyentuhmu? Dan kamu tidak menolaknya?!"
"Kita harusnya bersyukur, karena dia tidak marah waktu melihat kita berciuman."
"Iya, dia memang tidak marah. Tapi dia lakukan berbagai cara untuk menghancurkanku."
"Dia melakukan itu, untuk mempertahankan apa yang dia punya."
"Apa aku juga tidak berhak mempertahankan perasaan cinta aku ke kamu?! Karena itu juga yang aku punya!"
"Luna ... please!"
"Kenapa kamu sekarang membelanya?!"
"Aku tidak membelanya, aku hanya–"
"Hanya apa?!" Luna menghela napas. "aku sampai lupa, ini ada undangan reuni teman SMA kita. Dan aku harap, kamu tidak menolak untuk datang bersamaku."
**
Alan akhirnya menuruti keinginan Luna untuk datang ke acara reuni teman SMA-nya. Seharian ini, waktu Alan dihabiskan untuk menemani Luna. Dari yang ke butik untuk membeli baju, sampai ke salon. Alan setia menunggu Luna.
Pukul tujuh malam, Alan dan Luna datang ke cafe di mana dijadikan tempat reuni. Mereka tampak sangat serasi. Bagi yang tidak tahu, pasti akan menganggap jika mereka adalah pasangan kekasih. Bahkan bisa jadi, mengira mereka adalah pasangan suami-istri. Memang, teman lama Alan tidak ada yang tahu jika Alan telah menikah. Karena saat itu, Alan memang tidak menginginkan pernikahannya dengan Putri.
Yang tidak Alan tahu adalah, cafe itu cafe milik teman Putri. Selama ini Alan memang tidak pernah mau tahu apa pun urusan tentang istrinya. Dan kebetulan, teman Putri juga meminta bantuan pada Putri untuk membantunya. Putri pun mengiyakan. Tadinya, ia ingin meminta izin pada Alan, tapi ponsel Alan sangat sulit dihubungi. Akhirnya Putri pergi tanpa izin dari Alan terlebih dahulu.
Saat Alan dan Luna sampai di cafe, keadaan cafe sudah cukup ramai. Apalagi meskipun rombongan teman Alan sudah mem-booking-nya, cafe itu tetap membuka cafe untuk umum.
Alan dan Luna menghampiri teman-temannya.
"Wahh, couple kita udah datang, nih," seloroh teman Alan.
Luna tersenyum sumringah, ia senang teman-temannya masih menganggapnya sebagai kekasih Alan.
"Kalian memang jodoh ya, si Alan udah ditinggal nikah, tapi Tuhan tetap menakdirkan kalian bersama," ujar teman yang lain.
Luna tersenyum lagi. Sementara Alan hanya tersenyum simpul.
"Kapan lo nikahin dia, Lan? Enak lho nikah ...."
"Ditunggu aja undangannya. Ya, kan Sayang?" Di depan teman-temannya Luna mencium pipi Alan.
"Halalin, Lan! Halalin ...."
"Permisi, mau pesan sekarang?"
****