Pagi-pagi Alan kembali ke rumahnya.
"Mas ... Mas dari mana saja? Kenapa baru pulang? Aku mencemaskan Mas." Pertanyaan Putri menyambut kedatangan Alan.
"Mencemaskanku? Bukannya kamu senang aku tidak pulang?! Kamu bebas bersama laki-laki itu?!"
"Laki-laki? Siapa?"
"Pantas saja kamu tidak marah saat melihatku dan Luna berciuman. Ternyata kamu sudah biasa begitu dengan pria lain."
"Mas! Apa maksud Mas?! Apa maksud Mas mengatakan aku terbiasa begitu dengan pria lain?!"
"Kamu pura-pura tidak mengenalku, karena kamu takut selingkuhan kamu cemburu!"
"Tuduhan Mas tidak beralasan."
"Cukup beralasan. Kamu tertawa lepas dengan pria yang bukan suamimu. Bahkan kamu tahu suamimu sedang berada di tempat itu. Bagaimana jika tidak ada aku!"
"Mas salah paham. Jika yang Mas maksud pria yang berada di cafe kemarin, dia adalah sepupuku. Dan cafe itu adalah milik temanku. Aku membantunya karena cafe kamarin sangat ramai. Aku sudah menghubungi Mas, tapi Mas susah dihubungi. Mas sibuk bersama wanita itu, menemani wanita itu. Bukan salahku jika Mas tidak tahu tentang aku, tapi salah Mas yang tidak pernah mau tahu, dan mencari tahu tentangku. Satu lagi, aku bukan wanita seperti mantan kekasih Mas, yang bisa dengan mudahnya bermesraan dengan pria yang bukan mahramnya. Dan yang harusnya marah itu aku, bukan Mas. Lihat saja! Tanda yang wanita itu berikan, cukup membuktikan bagaimana dia puas melewati malam yang indah bersama Mas!" Akhirnya habis sudah kesabaran Putri. Ia yang tidak melakukan apa-apa justru dituduh Alan selingkuh. Padahal Alan-lah yang tampak seperti orang berselingkuh. Putri meninggalkan Alan dalam diamnya.
**
Alan memasuki kamar. Ia mencerna kata-kata yang Putri ucapakan. Selama ini, ia memang tidak pernah mau mencari tahu tentang Putri. Bahkan nama panjang Putri pun, ia lupa. Kakinya berjalan ke arah cermin, di sana ia terperanjat kaget. Banyak tanda merah di lehernya. Mungkinkah Luna sengaja melakukannya, agar Putri mengetahui perbuatannya?
**
Seminggu berlalu. Hubungan Alan dan Putri masih juga belum membaik. Putri kini bersikap dingin pada Alan. Bahkan untuk tidur pun, ia memilih tidur di kamar tamu. Hal itu cukup membuat konsentrasi Alan terganggu. Ia juga kini memilih untuk menghindari Luna. Ia sudah memutuskan untuk memperbaiki pernikahannya. Luna terus saja menghubungi Alan, tapi Alan tidak menanggapinya. Bahkan ia meminta agar sekretarisnya mengatakan Alan tidak ada, jika Luna datang ke kantor untuk mencari Alan.
Siang ini, Alan mampir ke toko bunga. Ia berniat membeli bunga untuk diberikannya pada Putri. Ia akan meminta maaf pada sang istri.
Sesampainya di rumah, ia mencari keberadaan Putri. Menemukan istrinya sedang berdiri di dapur mencuci piring, Alan tersenyum. Ia berjalan mendekat. Tangannya melingkari perut Putri. Bunga mawar yang dipegangnya berada tepat di depan d**a Putri.
"Bunga mawar yang cantik, untuk wanita yang cantik," ucap Alan. Tubuh Putri menegang.
"Maafkan aku atas tuduhanku, maafkan aku atas perbuatanku. Maukah kita memulainya dari awal?" Putri masih diam. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sudah memaafkan suaminya itu. Namun, ia ingin melihat seberapa jauh Alan akan berjuang mendapatkan maafnya.
"Tidak maukah kamu memaafkanku?"
"Maukah kamu menjauhi wanita itu?! Hanya itu yang bisa dilakukan untuk mendapatkan maafku." Alan diam sesaat, sebelum akhirnya ia menjawab.
"Tentu saja! Aku tidak akan menemuinya lagi."
"Aku pegang omongan Mas."
"Terima kasih," ucap Alan. Bibirnya menyentuh puncak kepala Putri. Ia berharap bisa memperbaiki rumah tangganya.
**
Hubungan Alan dan Putri makin membaik. Alan menepati janjinya untuk tidak menemui Luna lagi. Luna kelimpungan. Ia tidak mau kehilangan Alan. Sampai pada akhirnya, ia memiliki s*****a agar Alan mau bertahan di sisinya.
Luna menemui Alan di kantor. Ia memaksa agar Alan mau bertemu dengannya.
"Ada apa lagi?! Aku sudah bilang, aku tidak ingin bertemu denganmu lagi!"
"Bagaimana aku tidak menemuimu, aku ingin memberitahumu kalau aku hamil anakmu!"
"Apa?! Itu tidak mungkin!"
***