"Apanya yang tidak mungkin?! Aku positif hamil. Dan aku melakukannya hanya denganmu." Luna memberikan surat keterangan dokter yang ia dapat. "Sudah empat minggu."
Alan meremas rambutnya frustrasi.
"Aku tidak akan memintamu menikahiku, tapi aku mohon! Jangan jauhi aku! Jangan tinggalkan aku!"
"Itu tidak mungkin! Aku sudah berjanji pada Putri untuk menjauhimu."
"Apa anakmu tidak lebih penting dari wanita itu?! Aku sedang mengandung anakmu! Calon penerusmu! Sementara dia, apa dia sudah memberikanmu keturunan?! Dengan anak ini, aku yakin, orang tuamu akan menerimaku kembali. Jika tidak mau, paling tidak jangan rampas hak anak ini."
"Beri aku waktu untuk berpikir!"
"Berpikirlah! Tapi jangan terlalu lama, karena anak ini membutuhkanmu."
**
Alan sungguh tidak menyangka, jika apa yang dilakukannya dengan Luna akan membuahkan hasil. Padahal ia melakukannya hanya sekali. Saat ini ia benar-benar bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Ia tidak mungkin mengatakan apa yang terjadi pada Putri. Baru saja ia memperbaiki hubungannya dengan Putri. Belum genap satu bulan, ia dan Putri dapat menjalankan rumah tangganya sebagaimana suami-istri pada umumnya. Namun, badai harus kembali menerpanya.
**
"Saya mengandung anak Alan, Tante." Luna nekat menemui orang tua Alan. Ia harus bisa mendapatkan Alan kali ini.
"Tidak mungkin! Bukankah kalian sudah tidak berhubungan?"
"Sudah setahun terakhir ini kami kembali menjalin hubungan, Tante."
"Kalian sudah gila?! Alan sudah menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa mengandung anaknya."
"Kenyataannya seperti itu, Tante."
"Saya tidak habis pikir, bagaimana jika Putri sampai tahu."
"Saya tidak akan menuntut pertanggungjawaban Alan, Tante. Saya hanya ingin Tante dan Om tahu jika Alan memiliki anak."
Papa Alan menghubungi Alan. Ia meminta agar Alan segera datang ke rumah orang tuanya.
"Ada apa, Pa?" suara Alan terdengar saat ia memasuki ruang tengah kediaman orang tuanya. Di sanalah ada mama, papa, juga Luna dengan ekspresi wajahnya masing-masing.
"Duduk!" Papa Alan memerintahkan agar Alan duduk di kursi di depannya.
"Ada apa, Pa?" tanya Alan lagi.
"Nikahi Luna!"
"Apa?!" Alan terlihat kaget. Berbeda dengannya, senyum justru terlihat di wajah Luna. Meskipun tidak terlalu jelas.
"Dia hamil anakmu. Sudah seharusnya kamu bertanggung jawab!"
"Tapi itu tidak mungkin, Pa. Aku sedang berusaha untuk memperbaiki hubunganku dengan Putri."
"Dan kamu akan menelantarkan anakmu? Cucu yang sudah lama papa dan mama harapkan?"
"Tidak begitu juga, Pa. Luna sudah mengatakannya padaku, kalau dia tidak akan memintaku untuk menikahinya. Aku tidak akan menelantarkan anakku."
"Tapi wanita hamil membutuhkan seorang suami."
"Papa dan Mama tidak memikirkan perasaan Putri?"
"Kalian menikah, setelah anak itu lahir, kalian bisa bercerai."
"Pa ...." Alan mengiba kepada papanya.
"Papa akan mengurus pernikahan kalian. Papa akan mengatakan pada Putri, jika kamu ada bisnis di luar negeri selama satu tahun. Dengan begitu, kamu bisa fokus pada Luna dan calon anak kamu."
"Pa ...."
"Luna, kamu tidak apa kan jika Alan hanya akan menemanimu hingga kamu melahirkan?"
"Tidak apa, Om."
**
"Kamu tidak apa kan, Put?" usai membicarakan pernikahan Alan dan Luna, papa Alan menemui Putri di rumah Alan. Papa Alan mengatakan, jika Alan harus mengurus bisnis di luar negeri, dan Alan tidak bisa membawa Putri ikut serta.
"Apa Putri tidak boleh ikut, Pa?"
"Kamu bisa menyusulnya, jika nanti usaha di sana sudah stabil." Papa Alan terpaksa melakukannya. Sudah lama ia menginginkan cucu. Dan ia tidak akan menyia-nyiakannya saat Tuhan memberinya kesempatan.
"Kalau begitu, Putri bisa apa Pa, selain menurut saja."
Alan hanya bisa diam pasrah. Sungguh, ia tidak ingin menyakiti Putri lagi. Tetapi memang tidak ada satu pun yang bisa menentang keinginan papanya.
**
Setelah papanya pulang, Alan lebih banyak diam. Dia merasa jika sesuatu akan terjadi setelah ini. Ada ganjalan dalam hatinya yang ia sendiri tidak tahu apa itu.
"Mas, minum dulu teh hangatnya. Mas terlihat tegang." Putri menyerahkan secangkir teh hangat untuk Alan.
"Terima kasih." Alan menerima cangkir itu, kemudian meminumnya sedikit demi sedikit.
"Mas tidak perlu memikirkanku. Mas harus fokus pada pekerjaan Mas. Aku di sini akan baik-baik saja."
Alan tersenyum. Senyum penuh kegamangan.
"Sini ... aku ingin memelukmu."
Putri menaiki ranjang, kemudian mendekat ke arah Alan. Kepalanya ia letakkan di atas d**a Alan yang setengah terlentang.
"Kok jadi melow gini, sih?" Putri melihat titik bening di ujung mata Alan.
Alan mencium kening Putri, mungkinkah kamu akan baik-baik saja setelah tahu apa yang terjadi sebenarnya?
****