Talak Terucap

1790 Kata
Sepanjang perjalanan, pikiranku masih terbayang-bayang Karin yang berada sendirian di rumah. Sampai-sampai, Papa menegur dan memintaku tetap fokus mengemudi. Namun, baru setengah jalan kami pergi, Mama tiba-tiba memerintahkanku untuk memutar balik karena hadiah untuk Bude tertinggal. Lagi-lagi, aku terpaksa harus menuruti kemauannya. Ketika sudah sampai di depan rumah, Mama menolak turun dan memintaku yang mengambil hadiah itu. Namun, dahiku berkerut saat mendapati ternyata pintu rumah tidak dikunci. Apa Karin lupa? Aku masuk, lalu menyalakan saklar lampu ruang tamu. Sepi. Mungkin saja Karin sudah tidur. Lekas kuambil kado yang dimaksud Mama dari kamarnya, lalu segera keluar. Tadinya mau langsung pergi tanpa menemui Karin karena takut membuatnya semakin sedih. Akan tetapi, aku penasaran dan ingin memastikan dulu kalau dia baik-baik saja di sini. Aku berlari kecil menuju kamar Karin dengan menyunggingkan senyum tipis. Namun, senyum ini langsung lenyap saat samar-samar terdengar erangan kecil dari dalam sana. Dengan cepat kudorong pintu yang memang sedikit terbuka. Mataku seketika membelalak kaget saat melihat pemandangan di depan mata. Di depan sana, seseorang tengah memeluk Karin erat hingga punggung prianya saja yang terlihat. Dengan d**a bergemuruh hebat dan jantung yang berdetak cepat, aku berlari, lalu menarik kerah kemeja pria itu dari belakang dan menghantam wajahnya sekuat tenaga. Hingga akhirnya, pria itu terhuyung beberapa langkah. Aku menoleh tajam pada Karin. Dia menitikkan air mata dengan pakaiannya yang sudah terbuka di bagian resleting depan. Bahkan, hijab sudah tak lagi melekat menutupi kepalanya. "Kurang ajar! Siapa kamu berani menyentuh istriku?" Aku kembali maju dan berhasil menendangnya penuh emosi hingga pria tersebut tersungkur ke lantai. Setelahnya, aku naik ke atas tubuh pria itu, lalu memukuli wajahnya bertubi-tubi. Sayang, pria itu melakukan perlawanan. Dia mendorong tubuhku dan balik menendang hingga aku terjengkang. "Aku kekasihnya! Apa dia tidak pernah memberitahumu?" Pria muda itu menyunggingkan senyum miring sembari menyeka darah dari hidungnya. Aku menoleh pada Karin yang langsung menggeleng cepat dengan kedua tangannya gemetar di depan d**a. "Jangan sembarangan bicara kamu! Kamu pikir aku akan percaya omong kosong itu, huh?" Aku hampir berhasil memukul wajahnya lagi, tapi dia mengelak. Pertarungan sengit kembali terjadi. Kami saling memukul dan menendang tanpa mempedulikan Karin yang berteriak ketakutan dan meminta kami untuk berhenti. ??? "Cukup, Malik!" Tanganku yang hendak meninju kembali wajah pria itu, langsung terhenti di udara saat mendengar teriakan Papa. "Ada apa ini?" Aku bangun dari tubuhnya dengan emosi yang masih menggebu-gebu hingga kepala dan wajahku terasa panas. "Kita harus panggil polisi, Pah! Pria itu hampir menodai Karin kalau saja aku tidak datang!" jelasku dengan d**a kembang kempis dan tangan mengepal kuat. "Apa?" Mama dan Ayu serempak terkejut. "Tunggu dulu, Malik! Kamu tidak boleh gegabah seperti itu," kata Mama sembari maju mendekat. "Apa benar yang dikatakan putraku itu, huh? Berani sekali kamu melakukan itu!" "Menodainya? Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Bagaimana bisa itu dikatakan menodai?" Pria itu tertawa mengejek. "Bohong, Mas. Jangan percaya kata-katanya!" ucap Karin dengan suara gemetar. Hijab itu sudah kembali menutupi kepala meskipun tidak rapi. "Jangan munafik, Sayang! Kamu, 'kan, yang tadi telepon dan minta aku ke sini karena suamimu pergi?" Pria itu mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum pada Karin. Karing menggeleng cepat. "Dia memfitnahku, Mas. Aku ... aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Tahu-tahu dia bisa masuk ke kamar ini. Padahal, pintunya sudah kukunci semua," lirihnya sambil terisak. "Kurang ajar!" "Sudah, Malik, sudah! Tenang!" Papa menahanku yang hendak menghajarnya kembali. "Apa kamu punya bukti? Kalau tidak, saya akan memasukkanmu ke dalam penjara!" hardik Papa. "Bukti? Tentu saja aku punya," sahutnya santai. Pria itu menyeka darah dari sudut bibirnya, lalu mengeluarkan ponsel. "Lihatlah ini!" Dia menyerahkan ponselnya padaku. Mataku membulat sempurna melihat banyaknya foto mereka berdua yang tengah saling memeluk mesra. Hatiku seperti akan meledak saat pria itu menunjukkan riwayat chat mesranya. Tak hanya itu, Karin bahkan menjelek-jelekkanku dalam obrolan mereka. Aku menoleh tajam pada Karin dengan d**a bergemuruh hebat. "Sejak kapan kamu mengkhianatiku, hm?" geramku dengan gigi gemeletuk. Aku maju mendekat, tapi Karin mundur perlahan. Karin menggeleng. "Aku tidak pernah melakukan itu, Mas. Jangan percaya ucapannya!" lirihnya dengan suara bergetar. Dengan penuh emosi aku mendekat, lalu mencengkeram pipinya kuat-kuat. "M–Mas ... s–sa–sakit," lirihnya terisak. "Aku pikir kamu itu wanita sempurna, Karin. Aku pikir kamu wanita terbaik yang ada di dunia ini, tapi nyatanya?" Tanganku yang mencengkeram pipinya sampai gemetar karena menahan amarah yang sudah memuncak. Karin menggeleng pelan, menatapku sendu dengan tetesan air matanya. "Apa aku tidak berarti di matamu, Mas? Semudah itukah kamu percaya dengan fitnah ini?" lirihnya dengan suara bergetar. Tak hanya suara, tapi bisa kurasakan sekujur tubuhnya pun gemetar. "Tapi buktinya apa? Kamu berselingkuh!" sentakku tepat di depan wajahnya hingga mata sendu itu terpejam karena kaget. Beberapa detik kemudian, Karin membuka matanya lagi dengan perlahan. "Aku bersumpah, Mas. Ini fitnah! Aku tidak pernah mengenal pria itu." Bibirnya gemetar dengan air mata yang menetes deras membasahi pipinya. "Jangan percaya dia, Malik! Dasar menantu kurang ajar! Berani-beraninya kamu mengkhianati putraku!" hardik Mama menghampiri kami. "Sudah, Malik, sudah. Lepaskan tanganmu darinya. Kamu menyakiti Karin," ujar Papa sembari menyentuh lenganku. Masih dengan emosi yang menggebu-gebu, kulepaskan cengkeramanku dari pipinya dengan kasar. Hingga membuat Karin terisak lirih saat tubuhnya terdorong kasar ke belakang. "Aku kecewa padamu, Karin." Setetes bulir bening menetes dari kedua mataku. "Mas ...." Karin hendak maju mendekat, tapi Mama menghalangi, lalu mendorong tubuhnya lagi. "Jangan mendekati putraku, w************n!" hardik Mama. "Mas ... tolong percaya padaku, Mas. Ada yang sengaja memfitnahku di sini." Karin terisak lirih. "Apa kebersamaan kita selama ini tidak cukup membuatmu mengerti aku orang yang seperti apa?" Aku diam menunduk dengan emosi yang masih menguasai. "Maksudmu apa berkata seperti itu, huh? Kamu menuduh mama?" "Aaaarrgh!" Aku melemparkan semua barang-barang di meja rias dengan penuh emosi, lalu memukul cerminnya sampai pecah. "Mas, sudah, Mas! Jangan menyakiti diri sendiri hanya karena wanita tidak tahu malu itu!" Ayu menghentikan tanganku yang terus memukuli cermin. Darah menetes dari buku-buku tangan, tapi aku tidak peduli itu. Rasa sakit dan marah membuatku rasanya ingin membunuh keduanya. ??? "Kumohon ... tolong katakan pada suamiku kalau ini tidak benar. Ini hanya fitnah." Aku menoleh dan mendapati Karin tengah bersimpuh di hadapan pria itu. "Katakan padaku siapa yang memerintahkanmu melakukan ini? Kumohon ...." Karin menunduk dengan bahu yang berguncang hebat. "Aku tidak pernah mengenalmu. Apa dosa dan kesalahanku sampai kamu tega memfitnahku seperti ini?" Karin kembali mendongak menatap pria itu. "Cukup, Karin!" Karin mengaduh dan jatuh terduduk saat hijabnya ditarik dari belakang dengan kasar oleh Mama. "Dasar menantu kurang ajar kamu!" Aku diam mematung saat Mama memukul kepala Karin hingga tersungkur. Otakku tidak bisa berpikir jernih. Emosi dan hasutan setan sudah benar-benar menguasaiku. "Wanita tidak tahu diuntung! Anak haram sepertimu memang tidak punya akhlak! Pantas saja kamu dibuang! Dasar sampah!" "Ma, sudah, Ma! Hentikan!" Papa menahan Mama yang sedari tadi dengan penuh emosi menendang-nendang kaki Karin. "Duduk, Mas. Tenangkan emosimu," ucap Ayu, tapi tak kuhiraukan. "Ceraikan saja dia, Malik! Entah sudah berapa lama mereka berhubungan! Jangan-jangan, sudah berkali-kali mereka tidur bersama!" "Tidak!" pekik Karin. "Aku ... aku bukan w************n seperti itu! Mas ...." Karin menatapku dengan tatapan memohon. "Buka mata hatimu, Mas. Istighfar. Aku difitnah, Mas." "Masih tidak mau mengaku rupanya!" "Ma, jangan, Ma!" Papa dengan cepat menahannya saat Mama hendak kembali menyiksa Karin. "Sudahlah, Sayang. Jangan memohon-mohon padanya seperti itu! Aku sudah berjanji akan menikahimu bukan, kalau kalian bercerai?" "Diam! Tutup mulut busukmu itu!" desis Karin penuh penekanan. "Ingat ini! Kamu akan mendapatkan balasan atas apa yang kamu perbuat padaku. Allah tidak tidur. Dia melihat semua yang terjadi di sini." "Berhenti bicara atas nama Allah! Sudah bersalah, masih saja mengelak!" Ayu ikut bersuara. "Diam!" bentakku pada Ayu hingga dia tersentak kaget. Aku kembali menatap benci Karin dan pria itu. "Sudah berapa lama kalian berhubungan, hm?" Aku maju mendekat dengan kedua tangan mengepal kuat. "Apa kalian juga pernah tidur bersama?" geramku dengan gigi gemeletuk. "Menurutmu?" Pria itu tersenyum miring. "Tentu saja kami sudah melakukannya dan itu ... lebih dari satu kali!" "Berengsek!" Aku kembali memukul wajahnya, tapi Papa dengan cepat menarik tubuhku. "Lepas, Pah! Pria ini harus dihajar sampai mati!" "Percuma, Malik! Untuk apa kamu menghajarnya kalau memang kenyataannya mereka memiliki hubungan! Itu artinya, bukan dia saja yang salah, tapi wanita sampah ini juga!" sergah Mama. Aku melepaskan cekalan Papa, lalu berjalan mendekati Karin dengan emosi meletup-letup. "Katakan sesuatu!" desisku. Berjongkok di depannya dengan kedua tangan mengepal kuat di lantai. Karin terdiam menunduk. "Bicaralah, Karin! Apa kamu bisu, huh?" bentakku penuh emosi. Karin mengangkat wajahnya perlahan. Dia menatapku sendu, tapi tak lagi meneteskan air mata. "Apa pembelaan dariku masih ada artinya, Mas? Apa kamu akan percaya?" tanyanya pelan. "Sejak kapan kamu mengkhianatiku, hm? Sejak kapan?" Aku mengguncang-guncang bahunya dengan kasar. Karin hanya diam dengan mata terpejam. Tak ada perlawanan. Tak berselang lama, dia kembali membuka matanya. "Pukul aku, Mas. Siksa aku sepuasmu kalau itu bisa membuatmu kembali berpikir jernih." Wajah Karin berpaling. Aku yang tak bisa lagi menahan emosi dan rasa kecewaku padanya, tanpa sadar menampar Karin dengan begitu keras. Aku yang baru tersadar atas apa yang kulakukan pun langsung jatuh terduduk sembari memandangi telapak tangan yang gemetar. Karin perlahan menoleh kembali dan menatapku sendu. Tatapan yang penuh dengan luka, tapi tak ada lagi setetes air mata. "Talak aku sekarang, Mas. Jika kamu sudah tak lagi percaya padaku, maka tidak ada alasan lagi untukku bertahan di sini," ucapnya dengan tenang. Aku masih terdiam membisu dengan kepala tertunduk. "Sudah, Malik! Kamu talak saja dia! Menjijikan memiliki istri kotor sepertinya!" sergah Mama. "Iya, Mas. Ceraikan saja dia biar kapok! Jangan mau harga diri kamu diinjak-injak, Mas!" imbuh Ayu sedikit berteriak. "Diam kalian berdua!" hardik Papa. "Jangan dengarkan mereka, Malik! Pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan." Aku mengangkat wajah. Tatapan kami saling beradu. Aku dengan tatapan benci, sedangkan Karin menatapku sendu. "Silakan, Mas. Talak saja aku. Aku ikhlas," lirihnya dengan seulas senyum tipis. Aku memandangnya sinis, lalu berdiri. "Tanpa diminta pun, aku akan melakukannya," desisku dengan kedua tangan mengepal kuat di samping badan. "Karin Naila Maheswari, aku ceraikan kamu!" Mata Karin terpejam sembari menggigit bibir bawahnya yang bergetar. "Pergi dari rumah ini sekarang juga! Aku muak melihat wajahmu! Pergilah bersama kekasihmu itu!" ejekku dengan perasaan campur aduk. Sakit, marah dan kecewa bercampur aduk menjadi satu. "Benar kata Mama, kamu memang tidak layak diangkat derajatnya! Kembalilah ke tempat asalmu! Saat aku pulang, aku tidak ingin melihatmu lagi!" geramku, kemudian berlalu pergi. "Malik! Kamu mau ke mana, Malik?" teriak Mama, tapi tak kuhiraukan. Aku terus berjalan cepat dengan amarah yang masih membelenggu d**a. "Mas! Mau ke mana, Mas!" Ayu mengejar dan berhasil mencekal tanganku. "Jangan pergi dalam keadaan marah begini, Mas! Bahaya!" "Diam!" sentakku, lalu menepis kasar tangannya hingga terlepas, dan kembali melanjutkan langkah tanpa peduli teriakannya di belakang sana. Karin ... aku benar-benar kecewa padamu! Kamu terlihat begitu baik dan berharga, tapi nyatanya busuk di dalam! Kamu bahkan tega mengatai dan menjelek-jelekkan aku pada pria sialan itu! Aku membencimu, Karin! Aku membencimu! ★★★
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN