Maaf Kesekian Kali

1356 Kata
Aku terperanjat bangun dan secepatnya menyibak selimut. Memunguti pakaian yang tercecer dan berlari masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai membersihkan diri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Ayu, bangun, Ay!" Aku mengguncang bahunya pelan. Ayu menggeliat malas dengan matanya yang masih terlihat berat. "Ada apa, sih, Mas?" "Bangun, sudah siang. Kamu tidak mau berangkat kerja?" Ayu langsung memposisikan dirinya duduk sembari mengucek mata. "Jam berapa memangnya?" "Setengah tujuh. Sudah cepat mandi! Aku tunggu kamu di meja makan," titahku, kemudian langsung pergi keluar kamar. Aku melangkah dengan jantung berdetak cepat dan kedua tangan yang saling meremas gelisah. Apa yang harus kukatakan pada Karin? Aku melirik meja makan. Sarapan sudah tersaji rapi, tapi tak terlihat Karin ada di sini. Aku melangkah cepat sambil sesekali membuang napas pelan demi mengontrol rasa gugup. Kubuka knop pintu dengan perlahan. Karin tengah berdiri membelakangi sembari menyiapkan pakaian kerja. Rasa sesal dan perasaan bersalah ini semakin mengungkung hati. Rasanya, aku tidak berani mendekat dan menunjukkan wajahku padanya. Aku masih berdiri di ambang pintu dengan perasaan tak karuan. Hingga akhirnya, suara Karin menyentakku dari lamunan. "Masuk, Mas. Aku bukan hewan buas, kok," kelakarnya masih dengan posisi sama. Aku berdehem pelan, lalu melangkah ragu. Duduk di tepi ranjang dengan jantung berdebar-debar. Kutatap wajah tenang Karin sambil menelan ludah, tapi dia malah balas menatapku lembut dengan senyumannya. "Mas udah wangi dan segar, ya," celetuknya yang membuatku spontan meremas sprei saat merasakan sesuatu berdenyut nyeri di dalam d**a. "Ganti pakaian dulu, Mas. Habis itu sarapan." Karin menyodorkan pakaian kerjaku yang sudah rapi disetrikanya. Aku mengangguk pelan, lalu dengan lesu berjalan menuju kamar mandi. Sesaat sebelum pintu ditutup, aku melirik kembali pada Karin. Dia tengah bersenandung selawat sambil menyibak tirai. Aroma kopi menguar tercium di indera penciuman saat aku membuka pintu kamar mandi. Karin tersenyum, lalu menuntunku ke kursi meja rias dan memberikan secangkir kopi kesukaan. "Terima kasih," ucapku dengan senyum canggung. Karin mengangguk. Dia hendak pergi, tapi langsung kucekal pergelangan tangannya. "Bantu aku pasang dasi, ya," pintaku beralasan. Karin sempat terdiam sejenak, tapi akhirnya tetap menuruti permintaan itu. Kutatap lekat wajah tenangnya yang menyunggingkan seulas senyum tipis. Karin tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan, dia seperti menghindari kontak mata denganku. "Maaf," ucapku pada akhirnya. Gerakan tangan Karin terhenti sesaat. "Maaf untuk apa?" "Aku sudah ingkar janji lagi padamu. Aku sudah bilang tidak akan lama tapi ...." Aku tak mampu melanjutkan ucapan. "Apa Ayu benar-benar sakit?" Tatapan mata kami bertemu sesaat. Sebelum akhirnya, dia kembali fokus menatap dasi. "Iya." Sejujurnya, ada sedikit rasa curiga dengan alasan itu. Aku baru menyadari kalau bisa saja itu hanya akal-akalan Mama dan Ayu. Sialnya, aku malah percaya begitu saja dan terjebak semalaman. "Kalau begitu, tidak ada yang perlu Mas katakan lagi apalagi minta maaf. Mas di sana untuk merawat Ayu, 'kan?" Tatapan teduhnya membidik tepat di kedua bola mataku. "Iya. Aku ketiduran sewaktu menjaganya. Maaf," ucapku sembari meraih dagunya lembut. "Tidak apa-apa. Yang penting obat dari Mas itu manjur untuk Ayu, bukan? Tidak. Bukan hanya untuk Ayu, tapi manjur juga untuk Mas sendiri. Mas terlihat lebih segar setelah bersamanya semalaman." Hati ini seperti tercubit atas perkataan Karin tersebut. Entah dia bermaksud sengaja menyindir, atau mengatakannya tanpa maksud apa-apa. "Kamu marah?" Karin menggeleng. "Ayo kita sarapan!" Karin berjalan mendahuluiku. Namun, belum jauh ria pergi, langkahnya terhenti saat aku memeluknya erat dari belakang. "Menangislah, Karin. Marah dan caci makilah aku," lirihku dengan mata terpejam seraya menumpukan dagu di puncak kepalanya. "Kenapa aku harus melakukan itu?" "Karena aku sudah bersalah padamu. Aku justru merasa tertekan kalau kamu terus bersikap tenang seperti ini. Aku ingin kamu marah dan memakiku supaya hati ini bisa sedikit lega. Keluarkan semua rasa sakit dan kecewamu, Karin. Jangan memendamnya sendiri atau kamu akan sakit!" "Kata siapa aku memendamnya sendiri? Di setiap sujud, aku selalu mengadukan apa pun yang terjadi dalam hidup. Aku hanya manusia lemah yang tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa berdoa kepada-Nya agar memberiku petunjuk. Buruk menurut kita, belum tentu buruk menurut Allah. Pasti ada rencana indah dari-Nya di balik semua rasa sakit yang kurasakan sekarang." "Kalau begitu, bantu aku mengurangi perasaan bersalah ini. Marahlah padaku, Karin. Pukul aku!" pintaku penuh penekanan. "Aku tidak akan pernah meninggikan suara, memukul, apalagi mengeluarkan kata-kata kotor hanya untuk meluapkan amarahku padamu, Mas. Kecuali jika Mas berbuat maksiat. Tapi kumohon ... berbuat adillah atau lepaskan aku. Sudah pernah kukatakan padamu, bukan? Tidak akan ada manusia yang bisa berbuat adil seadil-adilnya meskipun sangat ingin karena itu sulit. Sangat sulit!" "Tidak, Karin. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku minta maaf." Aku semakin mengeratkan pelukan saat dia hendak melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya. "Aku sudah memaafkanmu sebelum kamu meminta maaf, Mas." "Aku janji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, Karin," ucapku sembari mengurai pelukan. Memutar tubuhnya agar menghadapku. "Jangan berjanji kalau hanya untuk dilanggar. Cukup buktikan saja semuanya padaku," ucapnya dengan lembut. "Ayo kita sarapan! Aku sudah buatkan Mas nasi uduk," ujarnya, lalu berjalan keluar mendahuluiku yang masih tertegun di tempat. Aku menyambar tas kerja dari atas meja rias, kemudian berlari keluar mengejarnya. Karin menoleh, tersenyum manis saat kuraih jemari lentik itu dan menggenggamnya lembut. Senyumku pun ikut mengembang saat merasakan Karin membalas genggaman tangan ini. Ketika Karin tengah menyendokkan nasi untukku, Ayu keluar. Seperti biasa, dia menolak makan masakan Karin. Namun, dengan suara tegas dan tatapan tajamku, akhirnya dia duduk dengan pasrah. Menyantap sarapan buatan Karin dengan wajah cemberutnya. Aku bagaikan sang raja yang diapit dua permaisuri cantik. Sayang, semuanya tak berjalan sesuai harapan. Menyatukan dua wanita dalam satu mahligai rumah tangga ternyata sangat sulit. Apalagi jika hanya salah satunya saja yang bersifat 'welcome'. Apa aku harus membelikan rumah baru untuk Ayu? Bukankah memang sebaiknya mereka tidak dibiarkan satu rumah agar tidak saling tersakiti? ??? Di kantor, aku tidak bisa fokus dengan pekerjaan. Semua kata-kata Karin tadi pagi terus terngiang-ngiang di telinga. Hubunganku dengan Anthony pun belum membaik sejak pertengkaran itu. Kami tidak saling bertegur sapa. Hanya berbicara seperlunya saat ada masalah pekerjaan yang mengharuskan kami komunikasi. Malam ini, kami akan pergi mengunjungi rumah kerabat yang mengadakan acara syukuran. Aku dan Karin sudah rapi dengan setelan gamis dan koko warna senada. Karin sempat ragu karena selama ini dia memang tidak pernah diperbolehkan ikut ke acara keluarga kami. Namun, aku berhasil meyakinkannya kalau kali ini Mama pasti setuju. "Kamu sangat cantik," pujiku sembari mengusap kepalanya lembut. Karin tersipu malu. Dia menerima uluran tanganku, lalu berjalan bersama keluar kamar. Di bawah sana, Ayu sudah menunggu bersama Papa dan Mama. "Kenapa dia ikut?" Mama menatap sinis pada Karin. "Karin juga istriku, Ma. Ke mana pun aku pergi, aku akan bawa dia," tegasku sembari terus menggenggam erat tangannya. "Tidak mau! Mama tidak setuju dia ikut ke rumah Budemu, Malik. Sejak kapan mama sudi bawa dia di acara keluarga kita?" "Baik. Kalau Mama keberatan, silakan Mama berangkat bersama Ayu dan Papa. Biar aku di sini saja menemani Karin," tolakku dengan tatapan tajam. Aku tidak ingin Mama terus-terusan memandang rendah wanita yang kucintai. "Mas!" Ayu yang kesal pun langsung melepas paksa tautan jemari kami. Menggeser tubuh Karin, lalu mengambil alih posisinya dan merangkul erat lenganku. "Kamu apa-apaan, sih?" kataku sembari menatapnya kesal. "Pokoknya aku tidak mau pergi kalau Mas tidak ikut," ucapnya dengan memanyunkan bibir. "Ya sudah. Kita bertiga tidak usah ada yang pergi. Biar saja Mama dan Papa yang ke sana," sahutku yakin. "Tidak bisa begitu, dong, Mas!" protes Ayu. "Mama sudah janji akan mengenalkanku pada semua kerabatnya di sana." "Kamu berani melawan mama sekarang, Malik? Kamu mau jadi anak durhaka hanya karena perempuan ini?" hardiknya sembari menunjuk Karin yang terdiam dengan raut wajah tenangnya. "Bukan begitu, Ma. Aku tidak pernah ingin menjadi anak durhaka. Tapi bukan berarti juga semua permintaan Mama harus kuturuti," debatku dengan sebisa mungkin menahan emosi. "Pokoknya mama tidak mau tahu! Kamu harus ikut, tapi dia tidak boleh!" "Ma, tolonglah. Aku—" "Mas," panggil Karin memotong ucapanku. "Tidak apa-apa. Pergilah. Aku tunggu di rumah saja." "Tapi Karin ...." Karin hanya menggeleng dan tersenyum. "Pergilah," ucapnya lembut, lalu meraih tanganku dan menciumnya. Aku sempat ragu, tapi Karin terus meyakinkanku agar tidak perlu mengkhawatirkannya. Dengan berat hati, akhirnya aku pun pergi. Karin melambaikan tangan sambil tersenyum dari depan gerbang ketika mobil ini mulai melaju meninggalkannya. Tunggu aku pulang, Karin. ???
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN