Dilema 1

859 Kata
Di Antara Dua Pilihan - Dilema "Aksara, Hafsah itu gadis yang baik, Nak. Kita juga sudah kenal baik dengan keluarganya." Bu Arum masih mencoba meluluhkan hati putranya saat mereka tengah makan malam berdua. "Karena terlalu baik itulah makanya nggak cocok sama aku, Ma. Kasihan dia." Bu Arum menarik napas dalam-dalam. Entah sudah berapa kali dia membujuk Aksara, tapi pria muda itu tetap pada pendiriannya. Terus sampai kapan siap untuk menikah. Usianya sudah menginjak angka tiga puluh empat tahun. Pekerjaan juga mapan. Apa kurangnya Hafsah di mata Aksara. Gadis berhijab dan rajin ibadah itu juga cantik dan sopan. Ketika pria lain berlomba untuk mendapatkannya, Aksara justru mundur meski jelas sudah mendapatkan restu. Apa yang ditakutkan Aksara? Masalah finansial dia sudah mapan. Soal ibadah, bukankah mereka bisa belajar bersama-sama. Usia Hafsah sudah cukup matang, dua puluh delapan tahun. Hanya saja dia gadis yang jarang keluar rumah, kecuali mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan mengajar mengaji anak-anak tiap sore di TPQ. "Mama jadi sungkan sama Bu Abdul, Sa. Mereka juga sangat berjasa pada kita." Ucapan Bu Arum membuat Aksara kehilangan selera makan. Nasi yang telah dikunyah, serasa tersekat di tenggorokan. "Mereka orang-orang baik." Aksara diam sampai habis makanan di piringnya. Tak dipungkiri kalau keluarga Kyai Haji Abdul Qodir memang sangat berjasa pada keluarganya. Terlebih saat sang kakak terjerat kasus hukum. Teman baik papanya itu yang memberikan support disaat satu per satu tetangga, sahabat, bahkan kerabat menjauh. Namun kenapa harus dia yang dipilih. Kenapa tidak menjodohkan Hafsah dengan sesama guru, penghapal Al Qur'an, anak pondokan, anak kyai yang sudah jelas ilmu agamanya. Kenapa harus dirinya yang salat pun terkadang hampir telat. "Pikirankanlah, Nak. Apa yang kamu cari dan kamu tunggu. Hafsah gadis yang sempurna," ucap sang mama sebelum Aksara masuk ke dalam kamarnya. Bertahan sendirian sekian lama bukan karena Aksara mencari yang sempurna. Kalau kesempurnaan yang ditunggu, maka sampai dia menutup mata pun tidak akan pernah menemukannya. Sebab pada dasarnya, pernikahan adalah menyatunya dia jiwa untuk saling menyempurnakan kekurangan dan kelebihan pasangan. Setelah patah hati demikian dalam, Aksara hanya fokus pada keluarganya, pada kasus sang kakak, dan mendedikasikan diri pada pekerjaan. Terlebih sekarang dia menjabat sebagai site engineering. Waktunya banyak tersita di lapangan untuk mengatur tim yang bekerja. Kalau ada waktu disempatkan nongkrong minum kopi bersama rekan-rekannya atau mengajak Ubaidillah, sang keponakan jalan-jalan di mall. Minum es krim berdua dan membeli mainan. Terkadang juga mengurusi yayasan yang dikelola bersama beberapa temannya. ***LS*** Marisa meletakkan barang belanjaannya di meja dapur. Ulfa, adiknya yang pertama membantunya membongkar barang-barang dari kantung plastik dan menyimpannya di tempat biasa. "Ibu mana?" tanya Marisa. "Nganterin bolu ke rumahnya Bu Tirta, Mbak. Najwa yang bantuin," jawab Ulfa sambil memindahkan buah-buahan ke dalam kulkas. Najwa adik bungsu Marisa yang baru berumur sepuluh tahun. "Budhe Lasmi jadi pulang hari ini?" "Besok, Mbak. Tadi masih bantuin ibu nyiapin pesanan. Sekarang budhe ada di kamar, salat isya," jawab Ulfa tentang budhenya yang sambang ke rumah mereka sudah tiga hari ini. "Ya sudah, aku mau mandi dulu." Marisa beranjak ke arah kamarnya untuk mengambil baju ganti. "Mbak Risa, sudah makan?" tanya Ulfa setengah berteriak. Dijawab Marisa dengan mengacungkan jempolnya. Rumah itu hanya terdiri dari tiga kamar yang sempit. Satu kamar untuk ibunya dan si bungsu Najwa. Satu kamar untuk Marisa dan Ulfa, satu kamar lagi untuk Ziyan. Satu-satunya anak lelaki di rumah itu. Ziyan umur enam belas tahun dan duduk di bangku SMA. Kalau Ziyan memilih tidur di sofa atau di musholla. Kamarnya akan di tempati oleh Ulfa. "Kok kamu malem banget pulangnya, Nduk?" tanya Budhe Lasmi pada Marisa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya menyatu dengan dapur. "Iya, Budhe. Tadi sekalian mampir belanja." Marisa duduk di depan wanita sepuh itu. Di kursi meja makan. Budhe Lasmi menatap lekat sang keponakan. "Usiamu sudah dua puluh enam, Ris. Sudah waktunya kamu memikirkan hidupmu sendiri. Pikirkanlah pernikahanmu." Marisa tersenyum samar. Kalau boleh jujur, dia pun punya keinginan untuk segera menikah seperti teman-teman lainnya. Bahkan si tembem Ari juga akan menikah tak lama lagi. Dia yang gendut saja akan bersuami, sedangkan dirinya yang cantik dan langsing entah kapan akan menikah. Kekasih pun sekarang juga tidak punya. "Nantilah, Budhe. Kalau aku menikah sekarang bagaimana adik-adik. Setidaknya biar Ulfa bekerja dulu. Supaya ada yang bantu ibu membiayai Ziyan dan Najwa." Wanita itu terharu menatap sang keponakan. Semenjak bapaknya meninggal tiga tahun yang lalu, Marisa yang ganti memikul tanggung jawab pada keluarganya. Membiayai sekolah adik-adiknya juga untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hasil dari menerima pesanan kue tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokok mereka. Bayar listrik, iuran warga, biaya kuliah Ulfa, dan uang SPP Ziyan. Kalau Najwa tidak membayar SPP karena masih SD dan sekolah di negeri. Sesekali adiknya itu mendapatkan santunan anak yatim. Bisa membantu untuk membeli perlengkapan sekolah. Pengeluaran yang tak terduga kalau ada kondangan. Hidup bermasyarakat, hal demikian harus tetap diperhatikan. Berapapun sumbangan yang sanggup diberikan oleh orang kecil seperti mereka. "Tapi kalau nunggu Ulfa selesai kuliah, umurmu dah berapa?" "Nggak apa-apa, Budhe," jawab Marisa sambil menatap permukaan meja. Bahkan kalau dia tidak menikah demi keluarga, Marisa rela. Sudah sepasrah itu pemikirannya. Apalagi setelah patah hati karena putus dari Dimas. Laki-laki mana yang mau menikahinya sekaligus menerima seluruh keluarganya. Terlebih mau mengerti bahwa Marisa masih harus membantu adik-adiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN